Share

Bab 3. Ibu Mertua .

Bab 3. Ibu mertua

"Aaauuuu!" Amanda berteriak kesakitan.

Aku menarik kuat-kuat rambut hitamnya yang tergerai itu. Lalu mendorongnya dengan sekuat tenaga. Jadilah dia terhuyung jatuh ke lantai.

"Dasar pelakor!" umpatku padanya.

Teriakan wanita itu sukses mencuri perhatian Mas Iqbal yang sejak tadi sibuk mengincar ponsel milik Amel. Tapi tak juga mendapatkannya. Pintar juga Amel berkelit.

Di saat posisi Amel kian terdesak karena Mas Iqbal berhasil mengunci pergerakan tangan Amel, dan hampir saja ia mendapatkan ponsel Amel tapi karena teriakan Amanda, Mas Iqbal jadi menoleh, fokusnya terbagi, dan ini menjadi kesempatan bagi Amel untuk lolos darinya.

"Amanda, kamu nggak apa-apa?" Mas Iqbal terlihat khawatir dan buru-buru membantu gundiknya untuk bangun. Dengan cepat Mas Iqbal mengambilkan baju-baju perempuan itu yang tercecer dan memberikan padanya.

Membuat perutku terasa mual. Menjijikan.

"Amel, ayo kita pulang. Lama-lama di sini aku bisa muntah karena menyaksikan pasangan mesum."

Aku sengaja berkata demikian agar mereka dengar.

"Dan Iqbal. Urusan kita belum selesai," ucapku lagi pada laki-laki yang masih bergelar suami. Hilang sudah rasa hormatku padanya, hingga aku tak lagi aku menyematkan kata 'Mas' untuknya.

Beruntung tadi ketika masuk ke dalam kamar ini, Amel turut serta menutup pintunya, jadi semua keributan yang terjadi di dalam tidak sampai keluar.

"Tyas, kamu nggak apa-apa?" Amel bertanya ketika kami sudah berada di dalam mobilku.

Aku hanya mengangguk samar, sambil menyandarkan kepalaku. Kupejamkan mata ini beberapa saat, berusaha untuk tenang setelah melihat semuanya tadi.

Semua yang terjadi tadi di dalam sangat menguras emosi, tenaga, juga energi. Sekarang aku rasakan tubuhku terasa lemas sekali.

Aku tarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Astaghfirullah. Aku masih tak percaya ini, suami yang selama ini aku banggakan di depan Papa ternyata brengs3k.

Bahkan sudah susah payah aku merayu Papa untuk menyetujui usulanku. Namun ketika aku sudah berhasil membuat Papa setuju dengan rencanaku, ternyata dia justru berkhianat.

"Biar aku yang bawa, mobilku gampang nanti biar jadi urusan Om Rudi," ucap Amel lagi.

Aku menutup wajahku dengan dua telapak tangan. Terasa mobil mulai melaju pelan. Amel tidak bertanya apapun lagi, ia seakan memberi waktu padaku untuk menenangkan diri.

Satu sisi aku sangat kecewa, hatiku hancur tak terkira. Tapi di sisi lain, aku merasa ini adalah cara Tuhan menunjukkan kasih sayang-NYA padaku. Disaat aku hendak memberikan sesuatu yang sangat besar dan sangat berharga padanya, Allah tunjukkan seperti apa dia sebenarnya. Dan aku masih bisa menyelamatkan semuanya. Bahkan aku sudah akan mengatakannya tadi malam padanya.

Andai saja semalam dia pulang dan aku tak mencium bau-bau perselingkuhan dirinya, mungkin aku sudah kehilangan semuanya. Dan mungkin juga aku tak pernah tahu sebejat apa sebenarnya suamiku.

Karena ketika dia tahu siapa aku sebenarnya, sudah pasti dia akan bermain rapi menyembunyikan perselingkuhannya.

"Yas, are you Okey?" tanya Amel lagi.

Sekarang kami sudah berada di rumahku. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam.

"Aku nggak apa-apa Mel. Aku cuma– masih syok aja. Aku nggak nyangka Mas Iqbal sejahat ini padaku."

Amel menatapku prihatin.

"Kamu tenangin diri kamu dulu, sebentar aku ambilkan kamu air minum." Amel masuk ke dalam rumah, tak berapa lama ia kembali dengan membawa dua gelas kosong dan satu botol air dari kulkas.

"Yas, itu di belakang, ada banyak makanan, jadi yang kamu katakan tadi sama Iqbal itu beneran? Kamu–"

Aku mengangguk.

Amel tertegun, lalu menggeleng.

"Astaga, Iqbal benar-benar sudah keterlaluan! Aku pikir kamu bilang gitu cuma untuk membuat Iqbal simpati, tapi ternyata kamu benar-benar sudah menyiapkan semuanya semalam."

"Aku bukan tipe orang yang suka mencari simpati seseorang untuk mendapatkan perhatian darinya. Apalagi dengan berbohong. Kau tahu itu kan!"

"Ya, ya. Aku sangat paham watakmu."

"Sekarang apa rencanamu? Ini minumlah!"

Amel menuang air putih dingin ke dalam gelas, dan menyerahkan padaku. Aku langsung meneguk habis.

Air dingin ini cukup mendinginkan kerongkongan dan kepalaku yang sejak tadi sepertinya ingin meledak.

"Aku akan buat perhitungan dengan Iqbal. Tak kan aku biarkan mereka bahagia di atas penderitaanku." ucapku dengan tatapan lurus ke depan.

Bayangan ketika tadi aku memasuki kamar hotel, dan mendapati wanita itu tengah tak berbusana kembali berkelebat di kepalaku. Rasa cinta yang ada di dalam hati seolah berganti dengan rasa benci pada laki-laki itu.

"Ya. Kamu harus tegar, tunjukkan siapa dirimu sebenarnya. Tanpa kamu, Iqbal bukanlah siapa-siapa," ucap Amel.

Aku mengangguk. Benar apa yang dikatakan Tyas. Akan kukembalikan Iqbal ke tempatnya semula. Akan kubuat dia menyesal telah berani menyia-nyiakan aku dan lebih memilih jal4ng itu.

"Assalamualaikum! Tyas!" Suara salam terdengar di halaman rumah ini. Suara Ibu mertuaku.

"Wa'alaikumussalam!" Aku menyahut hampir bersamaan dengan Amel.

"Eh ada tamu toh." kata Ibu saat sudah memasuki rumah dan melihat ada Amel. Amel bangkit berdiri dan menyalami ibu. Rumah ibu mertuaku hanya selisih tiga rumah dari sini, jadi beliau memang sering bertandang kemari.

"Iya Bu. Ada apa?" tanyaku.

"Nggak ada apa-apa, biasa, cuma pengin main aja, di rumah sepi, Hasna berangkat kuliah. Iqbal mana? Masih tidur ya? Kebiasaan anak itu kalau hari Sabtu gini libur ya kerjanya tiduuur aja terus," cetusnya.

Aku dan Amel hanya saling tatap sejenak.

"Ehm, Mas Iqbal nggak di rumah Bu. Dia ...." Aku tak melanjutkan ucapanku. Tak mungkin juga aku mengatakan padanya anak lanangnya sedang berselingkuh di hotel.

"Oh Dia ada kerjaan di hari libur gini? Duh, beruntungnya kamu Yas, punya suami yang kerjanya sudah mapan. Iqbal harus rela kerja di hari libur, itu semua buat kamu. Kamu itu harus bersyukur. Sekarang hidup kamu enak, rumah sudah ada, bagus dan mewah begini. Kalau bukan sama anakku, belum tentu kamu bisa seperti sekarang ini, iya toh!"

Kembali aku dan Amel saling tatap. Tak tahu dia kalau anaknya lagi main gil4 dengan perempuan murahan itu.

"Kamu masak apa hari ini Yas?" Ibu bertanya sambil berlalu ke dapur. Aku hanya melirik Amel, sambil memijat pelan pelipisku.

Tak berapa lama terdengar teriakan.

"Ya ampun Tyas! Kamu ini masak sebanyak ini buat siapa? Mana makanannya sudah pada basi! Pemborosan! Kalau masak mbok ya sewajarnya! Sudah masak sebanyak ini kenapa nggak di makan? Malah dibiarkan di luar begini, jadi basi kan Mundzir! Tyas! Tyas! Mentang-mentang punya suami cari duitnya gampang, kamu seenaknya buang-buang makanan!"

Terdengar suara heboh ibu dari dalam rumah. Siap-siap tutup telinga mendengar ceramahnya setelah ini.

"Tyas! Kamu denger Ibu nggak sih! Iqbal kerja siang malam, kamu malah menghamburkan uang begini! Memasak makanan seperti ini. Pasti habis banyak ini!"

Ibu masih saja mengomel di dalam. Tak peduli aku sedang ada tamu. Untung saja tamunya Amel, jadi aku tak perlu risau ataupun malu.

Tak tahukah dia sebab ulah anaknya itu, membuat semua makanan itu jadi mubadzir.

"Tyas!" Kini suara Ibu melengking memanggilku.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status