Aku berjalan pulang ke rumah, saatnya aku mulai menyusun rencana.
* "Assalamualaikum, Papa. Gimana kabar Papa?" Aku menghubungi Papa. Tiba-tiba saja aku kangen Papa. Melihat kenyataan Mas Iqbal mengkhianatiku, aku merasa bersalah sama Papa. Dulu beliau orang pertama yang menentang keras keputusanku saat hendak menerima Mas Iqbal dan menikah dengannya. Tapi karena aku tetap kekeuh, bersikeras pada keyakinanku, akhirnya Papa terpaksa merestui. Meski aku tahu, hatinya berat, hatinya tak rela melepasku bersama laki-laki yang tidak sreg di hatinya. "Papa Baik. Seperti biasa, baik-baik saja. Kamu apa kabar, Sayang?" Terdengar suara khas Papa di seberang sana. "Tyas juga baik, sehat, Pa." "Alhamdulillah kalau gitu. Gimana? sudah kamu sampaikan sama Iqbal soal rencana itu? Bagaimana beraksi dia? Papa yakin dia akan senang sekali dengan berita ini. Ya kan?" Entah mengapa suara Papa terdengar seperti ... Seperti tak ikhlas. Apa mungkin hanya perasaanku saja? "Ehm, soal itu ... Belum. Tyas belum sampaikan Pa." Aku menjawab lesu. "Lho kenapa? Bukannya kemarin-kemarin kamu sudah sangat ngotot dan bersemangat sekali untuk secepatnya melimpahkan pada Iqbal?" Suara Papa terdengar kaget. Aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Iya Pa. Keadaannya sekarang sudah berbeda. Tyas pikir, benar apa yang Papa katakan. Untuk tidak perlu melakukan semua itu, apalagi ...." "Apa?" kejar Papa. "Apalagi pernikahan Tyas dan Mas Iqbal belum dikaruniai anak." Salah satu alasan Papa tak setuju dengan rencana melimpahkan kepemimpinan perusahaannya pada Iqbal karena menurut Papa itu berlebihan, apalagi kondisinya kami berdua belum ada anak. Papa hanya takut jika Iqbal tidak sesuai dengan harapannya, dan berbuat hal yang di luar dugaan, dan jika itu terjadi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena posisinya kami belum punya anak bisa saja justru aku yang akan tersingkir. "Alhamdulillah akhirnya kamu paham apa yang Papa maksud Nak, kamu percaya sama Papa. Semua yang Papa lakukan semua tentu demi kebaikan kamu. Papa hanya ingin melindungi kamu." Laki-laki cinta pertamaku ini memang luar biasa. Cintanya padaku tak berbatas. Maafkan aku Pa, aku yang sering membantah Papa. Aku sering membuat Papa kecewa karena kerasnya sifatku. Setelah ini aku janji, untuk lebih menurut apa kata Papa. Tanpa sadar air mataku menetes. Aku yakin ketika Papa tahu semuanya, sudah pasti ia akan sangat kecewa. Anak semata wayangnya, yang sangat ia cintai, ternyata di sakiti oleh laki-laki yang bahkan kehadirannya tidak di restui. Apa ini bentuk karma dari Tuhan karena aku lancang, mengabaikan restu Papa? "Iya Pa. Satu lagi, sepertinya untuk ke depannya Tyas mau aktif lagi di kantor." Namun terdengar Papa tergelak tawa mendengar aku ingin aktif lagi di kantor. "Papa! Kok malah ketawa memang ada yang lucu? Memang nggak boleh aku ikut mengurusi perusahaan milik papaku sendiri?" Aku mengerucutkan bibirku, merajuk. Meskipun di sana Papa tidak melihatnya. "Bukan begitu, Sayang! Papa justru sangat senang mendengar ini. Papa hanya heran aja, kenapa kamu tiba-tiba berubah, ada apa Sayang? Apa ada sesuatu terjadi?" Aku terdiam beberapa saat. Tak mungkin aku mengatakan pada Ayah kalau Mas Iqbal telah mengkhianatiku. Pasti Papa akan sangat marah sekali dan langsung akan turun tangan. Aku ingin menyelesaikan masalahku sendiri dengan caraku sendiri. Biar nanti saja aku ceritakan pada Papa saat waktunya tepat. Sedekat itu memang aku sama Papa, semenjak Mama pergi lebih dulu menghadap sang Pencipta, saat aku masih SMA. Aku tinggal berdua sama Papa. Papa kerja keras membangun perusahaan. Hingga kini perusahaan Aditama berdiri kokoh dan menjadi satu dari sepuluh jajaran perusahaan berpengaruh di negeri ini. Tapi Papa tak ada niatan untuk menikah lagi, meski ada banyak wanita-wanita yang berusaha menarik perhatiannya. Tapi Papa memilih untuk tetap setia pada Mama. Terkadang aku kasihan lihat Papa yang melamun sendiri di taman belakang. Beberapa kali aku menyuruh Papa untuk menikah lagi saja, aku tak melarang. Tapi Papa selalu berkata, tak ada wanita lain yang bisa menggantikan posisi mama di hatinya. Keteguhan hatinya membuatku bangga, dan memiliki impian kelak bisa punya suami seperti Papa. Yang sangat sayang keluarga dan setia sama Mama sampai maut memisahkan. Tapi apa mau di kata, takdir berkata lain, suami yang kubanggakan, dan kuperjuangkan di depan Papa. Ternyata tak lebih dari seorang pengkhianat! "Tyas! Apa kamu baik-baik saja? kamu masih di sana 'kan?" Aku tersentak kaget, suara Papa memanggil, menarikku dari lamunan. "Eh, Iya Pa, aku nggak apa-apa. Papa setuju 'kan aku kembali aktif di kantor?" tanyaku lagi untuk memastikan "Tentu saja Sayang. Papa setuju sekali. Di kantor kamu bisa belajar banyak dari Abian, dia yang sudah lebih dulu membantu Papa selama ini. Kalian akan jadi tim yang solid." "Iya Pa. Terimakasih ya Pa. Papa jaga kesehatan, jangan terlalu banyak pikiran," pesanku sebelum menutup panggilan. "Iya, Sayang. Kamu juga baik-baik di sana ya. Assalamualaikum." Panggilan selesai. Papa tinggal sendiri, hanya di temani oleh beberapa pekerja di rumah. Kesibukkannya hanya bermain golf, bertemu dengan teman sejawatnya. Sudah terhitung lima tahun terakhir ini kondisi kesehatan Papa sering terganggu, membuatnya memilih untuk pensiun lebih awal, semua urusan kantor ia percayakan pada Abian, orang kepercayaannya. Ketika aku berhasil menyelesaikan kuliah di luar negeri, rencananya aku akan mengambil alih kepemimpinan perusahaan. Namun gagal. Karena aku mengalami patah hati. Patah hati lantaran di tinggal nikah oleh kekasihku. Zidan. Padahal aku dan dia sudah berencana akan menikah, namun siapa sangka, Zidan malah menikahi sahabatku. Ketika aku pulang ke Indonesia, Erin sahabatku itu sudah hamil lima bulan. Dunia seakan runtuh seketika mendapati kenyataan yang menyakitkan, kala itu. Aku menatap langit-langit kamar ini, sekarang aku harus merasakan kembali sakitnya di khianati. Terkadang aku merasa dunia seperti tak adil padaku. Ketika aku sudah benar-benar mencintai seseorang, mengapa harus berakhir menyakitkan? Tiba-tiba saja suara langkah kaki memasuki rumah ini. Seperti langkah kaki lebih dari satu orang. Aku bangkit untuk melihat siapa yang datang. Betapa terkejutnya aku melihat seseorang yang datang ke rumah ini. Bersambung. Siapa ya kira-kira yang datang ke rumah Tyas?"Ayo masuk Sayang! Sini biar aku saja yang bawa, kamu duduklah dulu," ucap Mas Iqbal pada seseorang.Setelah diperhatikan baik-baik. Yang datang bersama Mas Iqbal ternyata adalah Amanda.Si4lan! Ternyata secepat ini dia membawa gundiknya ke rumah ini untuk tinggal bersamaku.Aku masih merasa ini seperti mimpi. Mimpi paling buruk sepanjang hidupku. "Apa istrimu tak apa-apa aku tinggal di sini?" tanya perempuan membuatku muak."Tyas, maksud kamu? Aman pokoknya! Toh rumah ini juga 'kan rumahku. Dia nggak ada hak, apa lagi ngelarang kamu untuk tinggal di sini. Dengar, kamu juga 'kan istriku. Kamu juga punya hak yang sama sama dia untuk tinggal di rumah ini. Aku mau kita melewati hari bersama-sama. Menunggu dia lahir ke dunia ini." Mas Iqbal merapikan anak rambut perempuan itu, lalu mengelus perutnya yang terlihat masih rata.Tak kupungkri sakit rasanya melihat pemandangan ini di depan mataku. Jika memang rasa cinta di dalam hati ini mulai pudar karena sebuah pengkhianatan, tapi luka peng
Aku tercekat membaca laporan dari Nando. Ternyata Mas Iqbal selama ini banyak membohongiku. Tercatat performa kerjanya sangat buruk! Dia sering datang terlambat, dan juga beberapa kali tak masuk kantor padahal dari rumah dia selalu pamit ke kantor, bahkan sampai pulang malam dengan alasan ada meeting mendadak. Ck! Si4lan! Dasar laki-laki tak tahu di untung! Pembohong! Aku merutuki kebodohanku sendiri, bisa-bisanya aku tak menaruh curiga pada Mas Iqbal. Apa dia yang terlalu lihai dalam mengelabuiku? Salahku juga terlalu percaya padanya, sampai-sampai aku tak pernah terpikir untuk sesekali mengecek bagaimana sepak terjangnya di kantor. Aku langsung menghubungi Nando. "Nando, dua Minggu lalu ada proyek di Bandung, yang datang ke sana siapa?" tanyaku yang melihat kejanggalan pada data absensi Mas Iqbal sekitar dua Minggu. Di sini terlihat dua Minggu lalu, Mas Iqbal tetap masuk kerja seperti biasa, tapi dia mengambil ijin pulang cepat. Padahal aku ingat sekali pada tanggal itu, Mas Iq
"Tyas! Astaghfirullah! Kamu abis belanja sebanyak ini? Kamu benar-benar istri boros!" ucap ibu mertuaku menatap sengit ke arah barang-barang belanjaanku."Ya. Memangnya kenapa? ada yang salah?" tanyaku santai.Ibu hanya menggelengkan kepala seraya meraih paperbag yang kubawa."Eiittss! Maaf. Ini belanjaan saya Bu.""Iya, ibu tahu! Ibu cuma mau lihat! Kamu menghambur-hamburkan uang Iqbal saja!" Ibu merebut belanjaanku dari tangan dan membukanya satu per satu"Ish, siapa bilang pakai duit Mas Iqbal? Aku belanja pakai uangku sendiri kok," tukasku."Halah! Uang sendiri darimana kamu?! Memangnya kamu kerja?! Kamu kan nggak kerja, dari mana kamu dapat uang yang untuk belanja sebanyak ini! Mana yang kamu beli semuanya barang-barang mewah begini, ya ampun Tyas! Ini semua belanjaan kamu kalau dibelikan emas udah dapat berapa ratus gram ini Tyas! Kalau kamu simpan dalam bentuk emas itu bisa jadi investasi! Kalau kamu belanjakan untuk barang-barang seperti ini ya berakhir jadi sampah! Ngerti kam
Kemeja biru muda polos yang ia kenakan terlihat sangat kusut. Dari beberapa hari yang lalu memang aku belum sempat menyetrika. Dan biasanya hari Minggu aku menyetrika semua baju-baju.Karena sejak hari Sabtu dia sudah ketahuan buat ulah, maka aku tak memegang satu pun pekerjaan itu.Dan sekarang dia harus berangkat dengan baju baju yang kusut. Pasti perempuan itu nggak mau menyiapkan semua keperluan Mas Iqbal. Wanita seperti itu yang kamu bilang sangat berarti bagimu Mas?Aku benar-benar tak habis pikir. Dibandingkan denganku tentu dia tak ada apa-apanya. Secara fisik, aku lebih cantik darinya, aku lebih bisa mengerti dia, aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, melayani semua keperluannya.Ini yang membuatku tak terima. Dan bertekad untuk membalas rasa sakit hatiku. Sampai matanya benar-benar terbuka lebar, dan mampu membedakan mana berlian dan mana batu kali. Aku hanya tersenyum simpul melihat suamiku memasuki mobil, kemudian berlalu berangkat ke kantor. Aku membuat roti pangga
"Papa akan buat perhitungan dengannya!" ucapnya kemudian.Aku menggeleng cepat."Enggak Pa. Tyas akan selesaikan sendiri masalah ini." Papa menatapku penuh arti."Kamu masih mencintai laki-laki itu?" tanya Ayah dengan tatapan tak suka."Bukan itu Pa. Tyas–""Lalu apa? Cuma orang bo doh yang masih mau bertahan dengan seorang pengkhianat!" ucapnya tegas."Tyas paham itu Pa. Tyas hanya ingin kasih dia pelajaran. Tyas nggak rela mereka bahagia setelah mencampakkan Tyas. Kalau Tyas langsung meminta cerai, mereka akan merasa menang," jelasku.Papa hanya membuang muka mendengar penjelasanku."Pa, Tyas paham, Papa nggak rela. Tapi Tyas yakin, Tyas kuat menjalani ini Pa. Papa percaya 'kan sama Tyas?"Papa menolehku sebentar lalu kembali membuang pandangan ke arah lain."Orang tua mana yang rela melihat anaknya di madu, bahkan tinggal satu atap dengan madunya.""Papa." Aku meraih jemari tangannya. Menggenggamnya erat-erat."Pa ... Maafin Tyas Pa. Ini semua memang salah Tyas, salah Tyas dulu ng
Cepat-cepat aku keluar kamar, dan masuk ke kamar tamu. Mengunci pintunya. Di balik pintu aku menangis tergugu.Andaikan hubungan kita masih baik-baik saja Mas, tentu aku akan menyambut hangat ajakanmu itu. Maafkan aku Tuhan, jika aku menjadi istri yang berdosa, tapi rasa sakit hatiku seakan menutupi akal sehatku. Aku luruh hingga terduduk sendiri di lantai, rasanya hati ini seperti di remas kuat. Sakit sekali. Adzan Maghrib dari masjid yang tak jauh dari rumah terdengar. Aku bangkit untuk mengambil wudhu dan menunaikan ibadah tiga raka'atku. Di atas sajadah yang terbentang. Aku menengadahkan tangan, memohon ampun pada sang pemilik hidup.Kepada-Nya aku langitkan doa, meminta kekuatan, agar aku kuat menghadapi ujian ini. Jika ini adalah bentuk kasih sayangMU padaku, maka genggamlah aku agar aku kuat. Jika ini bentuk teguran dariMu akan kesalahan dan dosa-dosaku yang lalu, maka aku mohon untuk lapangkan hati ini menerima semua suratan takdir yang telah kau berikan.Selesai bermunajat
"Sayang, Mas buru-buru sudah telat ini. Daaahhh!" seru Mas Iqbal pada Amanda, dari dalam mobil, kemudian segera berlalu meninggalkan halaman rumah ini. Aku tertawa melihat ekspresi Amanda cemberut. "Kamu interview di kantor mana?" tanya Mas Iqbal. "Turunin aku di depan kantor agensinya Amel aja Mas." "Kamu mau ngelamar jadi model? Nggak salah? Mana ada model penampilannya seperti kamu gini, memakai hijab," cibirnya. "Bukan. Aku bukan ngelamar sebagai model. Aku hanya ada perlu sebentar sama Amel, nanti biar dari sana aku sendiri ke kantor tempatku interview." "Kenapa sih harus sedekat itu sama Amel?" Mas Iqbal bertanya dengan raut tak suka. "Memangnya kenapa? Kamu 'kan tahu sejak dulu aku sama Amel memang teman dekat. Atau jangan-jangan kamu takut? Takut video kamu ketahuan selingkuh di hotel itu tersebar?" tebakku. "Aku bukan selingkuh, Tyas! Aku menginap menginap di hotel itu dengan istriku," ketusnya tak terima. "Iya, bermalam dengan istri siri, sampai mengabaikan aku istr
"Aku nggak nyangka kamu setega ini sama aku, Manda. Kurang apa aku sama kamu?!" tukas laki-laki itu.Aku yang tadinya hendak beranjak, kembali duduk dan memilih untuk mendengarkan percakapan mereka, menggali informasi siapa sebenarnya laki-laki itu.Laki-laki itu terbilang cukup tampan, dengan perawakan tinggi, kulitnya putih."Kurangnya kamu apa? Banyak! Kamu itu nggak bisa kasih aku uang Mas! Sedangkan hidup ini butuh uang!" ucap Amanda."Baik, kalau memang itu sudah keputusanmu, aku terima, walau sebenarnya hatiku sakit sekali.""Mau sakit hati, mau enggak, sudah bukan urusanku Mas! Aku sekarang sudah menjadi istri seorang Iqbal Bramasta. Aku tak 'kan kekurangan suatu apapun," ucap Amanda dengan sombongnya."Kamu benar-benar sudah berubah, Manda, tiga tahun kita menjalani hubungan ini, kamu berpaling hanya demi harta dan pesona mantanmu itu!""Kalau iya memang kenapa? Menyesal aku meninggalkan dia dulu, kalau saja dulu aku masih sama-sama dia, mungkin aku sudah jadi kaya raya, dan