Share

Bab 6. Anak Salah tetap di bela.

Tak berapa lama setelah Mas Iqbal ke luar rumah. Aku bergegas bangun berniat untuk mengikutinya ke rumah Ibu.

Aku ingin lihat bagaimana reaksi mertuaku. Kalau sudah lihat kelakuan anaknya begini apa ibu masih mau membela anaknya?

*

"Iqbal! Kamu baru pulang kerja? Haduh, anak ibu sekarang jadi orang sibuk. Alhamdulillah, kerja keras ibu membesarkan kamu tidak sia-sia kamu bisa jadi orang sukses sekarang, punya jabatan. Ibu bangga sama kamu Bal!"

Baru saja aku memasuki pintu depan, terdengar suara renyah ibu dari dalam. Aku mencibir mendengar ibu membanggakan anaknya. Sebentar lagi ibu pasti akan kaget, anak yang ia banggakan itu tak lebih dari seseorang yang bej4t kelakuannya.

"Oh ya, kamu kasih tau Tyas untuk hati-hati dalam membelanjakan uang. Kamu yang capek-capek kerja dia buang-buang duit. Dasar dia jadi istri tak pandai bersyukur!"

"Bu, Iqbal kesini karena ada yang ingin Iqbal sampaikan."

Mas Iqbal sepertinya tidak terlalu mendengarkan ocehan Ibu yang melulu soal itu lagi, itu lagi.

"Ada apa?" tanya Ibu, seraya menarik kursi dan duduk di depan Mas Iqbal. Mereka berada di meja makan.

"Ibu masih ingat Amanda?" Aku mengintip pada celah antara pintu dengan kusen pintu, berdiri diantara ruang tengah dan ruang makan yang sekaligus menyatu dengan dapur.

"Oh Amanda pacar kamu dulu waktu sekolah itu? Ada apa? Kenapa sama dia?"

"Dia ... Dia, hamil anakku, Bu."

"Apa?!"

"Astaghfirullah Iqbal! Kamu–"

"Aku sudah menikah dengannya secara siri seminggu yang lalu, Bu. Dia sudah jadi istriku sekarang!"

Ibu terlihat kaget sekali, sampai menutup mulutnya yang ternganga dengan telapak tangannya.

"La–lalu Tyas?! Kamu ini ceroboh sekali sih Iqbal!"

"Tyas sudah tau semuanya Bu. Dia memergokiku ketika kemarin menginap di hotel dengan Amanda."

Lagi-lagi ibu ternganga mendengar penuturan Mas Iqbal. Ya, siapapun pasti akan kaget mendengar ini. Tentu saja akan merasa miris dengan nasibku sekarang ini.

"Sekarang Amanda sedang hamil jalan dua bulan. Dan aku akan bawa dia tinggal bersamaku dan Tyas di rumah."

"Siapa maksudmu yang sedang hamil, Iqbal!" Tiba-tiba saja Bapak mertuaku muncul dari pintu belakang.

"Bapak."

"Ehm ... Anu, Itu Pak–"

"Istri keduanya Iqbal. Amanda, Bapak masih ingat kan Amanda yang dulu sering kesini waktu Iqbal masih SMA," papar Ibu.

"Jadi maksudnya kamu berpoligami?!" tanya Bapak dengan suara lantang.

"Ya nggak apa-apa! Toh Iqbal sekarang sudah mapan, dia mampu menafkahi dua istri. Iqbal tak akan kekurangan walau punya istri dua."

"Bu! Diam dulu, biarkan Bapak bicara sama anakmu ini!" sentak Bapak.

"Benar begitu Iqbal?" Mas Iqbal diam.

"Lalu bagaimana dengan Tyas istrimu?"

"Tyas sudah tahu Pak. Jadi ya ndak ada masalah. Lagi pula Amanda ini sudah hamil, kita mau punya cucu Pak!" Suara ibu terdengar girang.

"Ibu bisa diam tidak! Biarkan Bapak bicara sama Iqbal!"

"I–iya Pak. Tyas sudah tahu." Mas Iqbal menjawab.

"Astaghfirullah! Iqbal! Kamu ini benar-benar keterlaluan! Bapak yakin Tyas sangat terluka dengan kelakuan kamu!"

"Lho kok Bapak malah ngomong gitu! Iqbal kan nggak salah, salah Tyas sendiri sampai sekarang belum juga hamil, buktinya sama Amanda langsung jadi. Itu artinya kan Tyas nggak becus jadi istri!"

Hatiku seperti di remas kuat mendengar perkataan ibu.

"Iya, tapi bukan seperti ini caranya Bu! Dengan cara selingkuh terus hamil, baru kemudian dinikahi! Cuma laki-laki brengsek yang punya kelakuan seperti itu!"

"Halah, itu Ndak jadi soal! Mau hamil duluan mau enggak! Toh sama saja, anak itu tetap anaknya Iqbal, cucu kita, toh Iqbal juga bertanggung jawab dengan menikahi Amanda."

Aku menggeleng tak percaya, ternyata pemikiran ibu mertuaku sepicik itu. Padahal dia adalah seorang perempuan. Apa dia tidak takut kondisi seperti ini berbalik menimpa anak perempuannya. Hasna.

"Ibu! Bicara apa kamu, ngawur!"

"Yang ngawur itu siapa Pak! Memang kenyataannya seperti itu kok! Jaman sekarang hal seperti itu sudah jadi hal lumrah!"

"Tetap saja bagi Bapak cara itu salah, dan tidak dibenarkan!"

"Itu sih terserah Bapak, yang jelas Ibu senang karena akan punya cucu!"

"Cucu dari hasil zina, apa yang patut dibanggakan! Kamu Iqbal, Bapak nggak nyangka punya anak laki-laki yang otaknya hanya otak mesum sepertimu! Padahal Tyas itu anak yang baik, dia juga cantik, kurang apa? dia juga sangat menghormati Bapak."

"Halah! Di sanjung-sanjung terus sampai setinggi langit pun, tapi dia nggak bisa kasih keturunan buat apa? Sudahlah Iqbal, kamu nggak usah dengerin omongan Bapak! Ibu setuju kamu membawa Amanda tinggal di rumahmu, biar Ibu juga bisa sering-sering nengokin dia."

"Mbak Tyas! Ngapain berdiri di situ Mbak!"

Aku terperanjat kaget saat tiba-tiba ada Hasna masuk.

"Hah, Tyas?" ucap Ibu sepertinya mendengar suara Hasna menegurku.

"Kamu ngintip di situ?" teriak Ibu.

"Hah, ngintip? Mbak Tyas ngintip?" tanya Hasna bingung.

"Eh, Hasna. Kamu, baru pulang?" tanyaku basa basi. Hasna mengangguk sambil menatapku dengan tatapan menelisik.

"Nggak sopan kamu Tyas! Tapi, ya, biarlah. Biar denger sekalian apa yang kami bicarakan!"

"Memang lagi membicarakan apa Bu?" tanya Hasna pada ibunya.

"Tyas sini masuk Nak, Bapak mau bicara." Bapak memanggil, mau tak mau aku pun mengekor dibelakang Hasna memasuki ruangan dapur yang sekaligus menjadi ruang makan.

"Bapak sudah dengar semuanya. Jujur Bapak juga kecewa sama Iqbal. Kesalahannya kali ini sangat fatal!" Bapak menatap tajam Mas Iqbal yang masih tertunduk.

Bapak mertuaku adalah orang yang bijaksana. Tapi kerap kali dia kalah dengan ibu, dan pada akhirnya beliau memilih diam.

"Sekarang apa keputusan kamu, Yas?" tanya Bapak.

"Tyas akan tetap menjadi istriku. Aku tak akan melepaskannya." Mas Iqbal yang menjawab.

"Laki-laki egois!" Bapak berdecih.

"Tyas akan mencoba untuk bertahan Pak. Semoga ini menjadi ladang pahala bagi Tyas," ucapku sendu.

Aku harus berakting di depan mereka semua. Pura-pura menuruti apa yang diinginkan Mas Iqbal. Akan aku ikuti permainanmu Mas, kita akan lihat, siapa yang akan keluar jadi pemenangnya, aku atau kamu. Dengan tinggal satu atap dengan istri mudamu, maka akan lebih mudah bagiku mempermainkan kamu dan dia.

"Tyas, ibu yakin kamu akan bahagia, karena sebentar lagi Amanda akan melahirkan bayi, kamu bisa ikut merawatnya, ya walaupun bukan anak kandungmu. Tapi itu lebih baik, daripada seumur hidup kamu tidak bisa tahu rasanya menggendong bayi. Ya kan!"

Aku tercekat. Sungguh kata-kata ibu semakin kesini semakin panas terdengar di telingaku.

"Ibu! Jangan bicara begitu, Tyas juga punya perasaan!" sergah Bapak.

"Sudahlah! Bapak lebih baik diam! Yang ibu katakan juga ada benarnya. Perempuan mandul ya sampai kapanpun tidak bisa punya anak!"

Astaghfirullah, Astaghfirullah! Sabar Tyas, sabar! Ingin sekali rasanya memasukkan sambal dengan cabai rawit sekilo ke mulut ibu.

Bapak hanya menggelengkan kepala melihat istirnya. Itu sudah biasa.

"Tunggu, maksudnya ada apa sih ini? Amanda? Hamil? Amanda siapa?" tanya Hasna.

"Istri kedua Mas-mu."

"Hah!"

Netra Hasna terbelalak mendengarnya.

"Astaghfirullah Mas! Yang benar Mas? Kamu kok tega banget sih, kasihan Mbak Tyas dong!"

"Aish, Heh Hasna! kasihan gimana sih, Tyasnya aja udah legowo, lagi pula sama Amanda, dia langsung isi. Itu artinya kan Tyas yang bermasalah. Sudah lah, kamu anak kecil nggak usah ikut-ikutan komentar! Dah diem!"

"Ih Ibu! Hasna juga kan perempuan, nggak mau deh kalau sampai di duakan, ih, amit-amit!"

"Ya enggak mungkin lah! Anak ibu sampai di duakan, kamu ini kan cantik, dan yang pastinya kamu itu subur, nggak ada keturunan mandul di keluarga kita, semuanya subur, bisa punya anak banyak."

Mendengar ibu bicara yang ada kepalaku jadi pusing.

"Apa Ibu tahu apa itu karma? Suatu hal keburukan yang kita lakukan pada orang lain, bisa saja berbalik pada diri kita. Jadi nggak menutup kemungkinan keluarga kalian juga akan merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan." Aku berkata sambil menatap lekat wajah ibu.

Seketika Hasna ternganga.

"Heh! Jadi maksud kamu, kamu nyumpahin Hasna di poligami gitu? Iya?!"

"Saya nggak ngomong gitu."

"Iya tapi maksud omongan kamu itu tadi mengarah kesana. Dasar menantu nggak ada sopan-sopannya!"

Aku hanya memutar bola mataku. Jengah. Lalu berlalu meninggalkan ruang makan untuk pulang ke rumah.

"Tyas! Heh! Ibu belum selesai bicara! Main ngeluyur gitu aja! Benar-benar nggak sopan kamu sama orang tua!"

"Sudah Bu, sudah! Biarkan Tyas pulang, dia perlu menenangkan diri. Semua yang Dilakukan Iqbal padanya tentu sangat menyakiti hatinya.

Aku masih mendengar Ibu terus saja mengomel. Memang kerjaannya setiap hari ya gitu, ngomel! Lihat saja nanti, akan aku bungkam mulutnya, begitu dia lihat siapa aku.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status