Memang benar apa yang Papa katakan, aku bisa saja memecat dia sekarang juga, tapi aku rasa tidak etis rasanya memecat seseorang tanpa alasan apapun.Bagaimana pun aku adalah pemimpin perusahaan, ke depan sepak terjangkau akan selalu jadi sorotan, di mata klien, juga di mata para karyawan lainnya."Iya Pa, nanti aku pikirkan caranya untuk bisa memecat dia dari kantor." Papa mengaguk paham."Kita bisa lihat, apa dia masih bisa tersenyum bangga tanpa pekerjaannya?" "Papa benar, dan Tyas pun ingin lihat bagaimana reaksi Bu Wina, apa dia masih bisa berbangga saat putranya tak punya apa-apa lagi."Aku teringat betapa ibu sangat bangga dengan pencapaian yang di raih Iqbal, padahal itu semua karena ada campur tanganku."Iqbal tanpa kamu, dia bukan siapa-siapa, ingat itu."Aku mengangguk paham."Sore ini Papa ingin ketemu sama Abi, ada hal yang ingin Papa bicarakan, kamu mau ikut?" tanya Papa. "Kayaknya nggak deh Pa, Tyas pengin istirahat, hari ini rasanya capek sekali." Aku menolak karena m
"Sayang kamu nggak apa-apa? Apanya yang sakit?" Tiba-tiba suara bariton seorang laki-laki, terdengar memecah keheningan. Suaranya seperti tak asing bagiku."Bapak!" Aku terpekik kaget melihat laki-laki itu datang menghampiri Bu Maryam. Seketika keduanya menoleh."Tyas!" Bu Maryam menatapku dan Bapak bergantian."Kalian saling kenal?""Dia menantuku, Sayang. Istrinya Iqbal."Bu Maryam terperangah. Ternyata Bu Maryam ini istri mudanya Bapak. Kenapa dunia ini sesempit ini."Jadi, Bu Maryam ini ....""Iya Yas, dia perempuan yang Bapak nikahi. Kamu lihat kan, bagaimana perbedaan Maryam dengan Wina? Mereka bagai langit dan bumi. Maryam adalah perempuan sabar, dan dia sangat menghormati Bapak. Bapak merasa lebih tenang di sini. Walau hadirnya sering di cap sebagai orang ketiga, tapi Bapak nggak peduli itu. Semua terjadi karena Wina tak kunjung berubah, di otak dia yang ada hanya uang, dan harta. Hingga mengabaikan kewajibannya terhadapku."Bapak berkata sambil menatap lurus ke depan. Padah
"Buka!"Dug! Dug! Dug! "Buka!" teriaknya.Keringat dingin sudah membanjiri sekujur tubuhku, jangankan untuk membuka pintu mobil, untuk napas saja rasanya ini sangat sulit, Ya Allah lindungilah hamba."Buka! Atau akan kami pecahkan kaca mobil ini!" teriaknya lagi.Aku segera membuka ponselku dengan tangan bergetar, dan menelpon siapa saja di sana, namun Si4l! ponselku justru terjatuh. Benar-benar Sial! Tanganku bergetar hebat, mengakibatkan ponsel jatuh dari genggaman.Aku menoleh laki-laki itu, dia melotot menatapku, mengisyaratkan untuk tidak melakukan panggilan telepon pada siapapun atau aku akan di bu nuh olehnya, Terlihat ia menggerakkan tangan di bawah dagu.Aku menelan Saliva dengan susah payah."Buka!" pintanya lagi.Ya Allah apa aku harus membukanya? Bukankah ini justru akan membahayakan nyawaku? Setelah aku pikir-pikir, mungkin lebih baik aku membukanya, berharap ada orang yang lewat, dan aku bisa berteriak meminta tolong.Klik.Pelan aku membuka pintu mobil, tapi laki-laki
Ia merogoh sakunya dan mengangkat telepon."Iya, hallo Pak."Abian melirikku sekilas."Bu Tyas baik-baik saja Pak. Dia aman. Aku ... Aku juga baik-baik saja."Rupanya yang telepon Papa."Alhamdulillah polisi datang tepat waktu sebelum para komplotan itu kabur."Tak berapa lama, Abian menyerahkan ponselnya padaku."Pak Aditama."Aku pun meraihnya untuk berbicara sama Papa."Tyas! Sayang, kamu nggak apa-apa?""Aku nggak apa-apa Pa, beruntung tadi Abian datang cepat, kalau tidak, entahlah aku tidak tahu apa yang terjadi padaku," ucapku, dengan suara bergetar, dan benar saja detik berikutnya air mataku lolos begitu saja mengingat kejadian yang baru saja menimpaku."Alhamdulillah kalau begitu, Papa sudah khawatir sekali, tadi begitu Abi jalan ke sana, Papa langsung telpon polisi."Oh, rupanya Papa yang menghubungi polisi."Iya Pa, tapi Abian ada luka dan banyak memar Pa, sekarang kami ada di rumah sakit.""Ya sudah Papa kesana sekarang."Panggilan selesai, aku kembalikan ponsel itu pada Ab
"Mereka? Mereka siapa?"Papa terdiam."Pa! Mereka siapa?" Aku mengulangi pertanyaan."Papa dan Abian merasa ini ada yang janggal, sepertinya ada seseorang yang sengaja melakukan ini, ada dalang di balik kejadian itu."Aku tersentak kaget, mendengar ucapan Papa. Siapa? Siapa orang yang berniat jahat padaku?"Siapa orang yang Papa curigai?"Papa kembali diam. Kemudian menggeleng."Papa nggak bisa asal nuduh, karena memang belum ada bukti, jadi Papa mohon kamu di dampingi bodyguard, biar Papa tenang, oke!"Aku pun tak mampu menolak. Aku menatap jalanan ibu kota yang di hiasi kelap kelip lampu kecil yang melilit di pepohonan yang ada di bahu jalan. Sinar lampu kuning dan merah berjejer seperti semut menyala yang berjalan berbaris. Dalam otakku sedang membayangkan bagaimana repotnya nanti kemana-mana ada orang yang mengikutiku.Hah, pasti itu sangat mengganggu sekali.Tapi apa yang Papa khawatirkan ada benarnya juga, bisa jadi orang yang berniat jahat itu bisa mencelakaiku.Masih banyak m
"Selamat pagi semuanya, seperti biasa kita meeting pagi untuk breafing mengenai hasil kerja hari kemarin, sekaligus mempersiapkan apa-apa saja perencanaan kerja hari ini."Aku mulai bicara di depan semua jajaran management. Netra ini memindai wajah-wajah mereka yang sudah mengabdi di perusahaan ini.Semuanya tampak tenang dan terlihat sangat bersemangat menyongsong hari ini. Kecuali Iqbal, wajahnya tampak murung ia juga lebih sering menunduk."Oh ya, dan satu hal lagi, saya juga akan sampaikan hasil keputusan saya dan Pak Abian mengenai salah seorang dari Bapak ibu sekalian di sini, mungkin ada yang akan di pindahkan ke posisi yang lain. Mengingat hasil kerja, dan profesionalitas kerjanya jauh di bawah dari yang diharapkan."Seketika Iqbal mengangkat kepalanya, menatapku penuh arti. Aku hanya mengulum senyum.Suasana mendadak riuh, para peserta yang lain pun saling pandang, juga saling berbisik."Siapa?""Nggak tahu.""Untuk itu, nanti saya akan sampaikan langsung pada yang bersangku
Bab 1. Berkhianat.[Tyas, ini Iqbal suamimu kan?]Sebuah pesan masuk dari Amel sahabatku, di susul satu pesan berikutnya sebuah foto.Aku langsung mengunduh foto yang dikirimkan Amel.Netra ini membeliak sempurna menatap foto yang Amel kirimkan, reflek aku membekap mulutku sendiri dengan telapak tangan karena terkejut.Sebuah foto yang menunjukkan Mas Iqbal tengah merangkul pundak seorang wanita di pelataran sebuah gedung.Gawaiku kembali berdering. Amelia menelpon."Sudah lihat? Itu aku lihat mereka di depan hotel Cempaka kemarin sore. Tadinya aku pikir itu kamu, udah siap mau kupanggil lho! Eh, ternyata pas aku perhatikan itu bukan kamu, jadi aku nggak jadi manggil." Amel menjelaskan. Sedangkan aku masih terdiam, otakku sibuk mencerna, siapa wanita itu? Mas Iqbal jalan sama wanita lain? Ya Tuhan, apa suamiku selingkuh?"Yas! Kamu denger aku kan?!" "Hah, iya aku denger kok. Kamu tahu wanita itu siapa? Saudara atau kerabat Iqbal mungkin?"Aku menggeleng. Aku belum pernah melihat wan
Bab 2. Keributan."Tyas! Tunggu dulu, tunggu! Kamu nggak bisa asal langsung masuk gini dong! Tyas!"Aku memilih diam tak menggubris Mas Iqbal. Lagi pula kenapa pula dia melarangku untuk masuk, aku ini kan istrinya. Kenapa tidak boleh masuk. Jelas sekali ada yang disembunyikan."Tyas! Kamu apa-apaan sih!" Mas Iqbal berusaha menghalangiku yang terus melangkah."Diam kamu Mas!" bentakku.Sampai akhirnya kaki ini sampai di depan ranjang berukuran king. Aku terperangah melihat seorang wanita tengah bergelung selimut di atas ranjang.Bagai di tusuk belati tajam. Hatiku remuk redam. Koyak tak berbentuk, laki-laki yang selama ini begitu aku perjuangkan, ternyata tak lebih dari seorang b4jing4n! Dia bertukar peluh dengan wanita lain.Air mataku lolos begitu saja. Lidahku kelu, tiba-tiba saja lututku teras lemas sekali. Tapi aku harus kuat, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan dua manusia lakn4t ini. Duniaku seakan runtuh seketika melihat kenyataan di depan mataku. Perempuan itu memegang er