Ia merogoh sakunya dan mengangkat telepon."Iya, hallo Pak."Abian melirikku sekilas."Bu Tyas baik-baik saja Pak. Dia aman. Aku ... Aku juga baik-baik saja."Rupanya yang telepon Papa."Alhamdulillah polisi datang tepat waktu sebelum para komplotan itu kabur."Tak berapa lama, Abian menyerahkan ponselnya padaku."Pak Aditama."Aku pun meraihnya untuk berbicara sama Papa."Tyas! Sayang, kamu nggak apa-apa?""Aku nggak apa-apa Pa, beruntung tadi Abian datang cepat, kalau tidak, entahlah aku tidak tahu apa yang terjadi padaku," ucapku, dengan suara bergetar, dan benar saja detik berikutnya air mataku lolos begitu saja mengingat kejadian yang baru saja menimpaku."Alhamdulillah kalau begitu, Papa sudah khawatir sekali, tadi begitu Abi jalan ke sana, Papa langsung telpon polisi."Oh, rupanya Papa yang menghubungi polisi."Iya Pa, tapi Abian ada luka dan banyak memar Pa, sekarang kami ada di rumah sakit.""Ya sudah Papa kesana sekarang."Panggilan selesai, aku kembalikan ponsel itu pada Ab
"Mereka? Mereka siapa?"Papa terdiam."Pa! Mereka siapa?" Aku mengulangi pertanyaan."Papa dan Abian merasa ini ada yang janggal, sepertinya ada seseorang yang sengaja melakukan ini, ada dalang di balik kejadian itu."Aku tersentak kaget, mendengar ucapan Papa. Siapa? Siapa orang yang berniat jahat padaku?"Siapa orang yang Papa curigai?"Papa kembali diam. Kemudian menggeleng."Papa nggak bisa asal nuduh, karena memang belum ada bukti, jadi Papa mohon kamu di dampingi bodyguard, biar Papa tenang, oke!"Aku pun tak mampu menolak. Aku menatap jalanan ibu kota yang di hiasi kelap kelip lampu kecil yang melilit di pepohonan yang ada di bahu jalan. Sinar lampu kuning dan merah berjejer seperti semut menyala yang berjalan berbaris. Dalam otakku sedang membayangkan bagaimana repotnya nanti kemana-mana ada orang yang mengikutiku.Hah, pasti itu sangat mengganggu sekali.Tapi apa yang Papa khawatirkan ada benarnya juga, bisa jadi orang yang berniat jahat itu bisa mencelakaiku.Masih banyak m
"Selamat pagi semuanya, seperti biasa kita meeting pagi untuk breafing mengenai hasil kerja hari kemarin, sekaligus mempersiapkan apa-apa saja perencanaan kerja hari ini."Aku mulai bicara di depan semua jajaran management. Netra ini memindai wajah-wajah mereka yang sudah mengabdi di perusahaan ini.Semuanya tampak tenang dan terlihat sangat bersemangat menyongsong hari ini. Kecuali Iqbal, wajahnya tampak murung ia juga lebih sering menunduk."Oh ya, dan satu hal lagi, saya juga akan sampaikan hasil keputusan saya dan Pak Abian mengenai salah seorang dari Bapak ibu sekalian di sini, mungkin ada yang akan di pindahkan ke posisi yang lain. Mengingat hasil kerja, dan profesionalitas kerjanya jauh di bawah dari yang diharapkan."Seketika Iqbal mengangkat kepalanya, menatapku penuh arti. Aku hanya mengulum senyum.Suasana mendadak riuh, para peserta yang lain pun saling pandang, juga saling berbisik."Siapa?""Nggak tahu.""Untuk itu, nanti saya akan sampaikan langsung pada yang bersangku
Bab 1. Berkhianat.[Tyas, ini Iqbal suamimu kan?]Sebuah pesan masuk dari Amel sahabatku, di susul satu pesan berikutnya sebuah foto.Aku langsung mengunduh foto yang dikirimkan Amel.Netra ini membeliak sempurna menatap foto yang Amel kirimkan, reflek aku membekap mulutku sendiri dengan telapak tangan karena terkejut.Sebuah foto yang menunjukkan Mas Iqbal tengah merangkul pundak seorang wanita di pelataran sebuah gedung.Gawaiku kembali berdering. Amelia menelpon."Sudah lihat? Itu aku lihat mereka di depan hotel Cempaka kemarin sore. Tadinya aku pikir itu kamu, udah siap mau kupanggil lho! Eh, ternyata pas aku perhatikan itu bukan kamu, jadi aku nggak jadi manggil." Amel menjelaskan. Sedangkan aku masih terdiam, otakku sibuk mencerna, siapa wanita itu? Mas Iqbal jalan sama wanita lain? Ya Tuhan, apa suamiku selingkuh?"Yas! Kamu denger aku kan?!" "Hah, iya aku denger kok. Kamu tahu wanita itu siapa? Saudara atau kerabat Iqbal mungkin?"Aku menggeleng. Aku belum pernah melihat wan
Bab 2. Keributan."Tyas! Tunggu dulu, tunggu! Kamu nggak bisa asal langsung masuk gini dong! Tyas!"Aku memilih diam tak menggubris Mas Iqbal. Lagi pula kenapa pula dia melarangku untuk masuk, aku ini kan istrinya. Kenapa tidak boleh masuk. Jelas sekali ada yang disembunyikan."Tyas! Kamu apa-apaan sih!" Mas Iqbal berusaha menghalangiku yang terus melangkah."Diam kamu Mas!" bentakku.Sampai akhirnya kaki ini sampai di depan ranjang berukuran king. Aku terperangah melihat seorang wanita tengah bergelung selimut di atas ranjang.Bagai di tusuk belati tajam. Hatiku remuk redam. Koyak tak berbentuk, laki-laki yang selama ini begitu aku perjuangkan, ternyata tak lebih dari seorang b4jing4n! Dia bertukar peluh dengan wanita lain.Air mataku lolos begitu saja. Lidahku kelu, tiba-tiba saja lututku teras lemas sekali. Tapi aku harus kuat, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan dua manusia lakn4t ini. Duniaku seakan runtuh seketika melihat kenyataan di depan mataku. Perempuan itu memegang er
Bab 3. Ibu mertua "Aaauuuu!" Amanda berteriak kesakitan. Aku menarik kuat-kuat rambut hitamnya yang tergerai itu. Lalu mendorongnya dengan sekuat tenaga. Jadilah dia terhuyung jatuh ke lantai. "Dasar pelakor!" umpatku padanya. Teriakan wanita itu sukses mencuri perhatian Mas Iqbal yang sejak tadi sibuk mengincar ponsel milik Amel. Tapi tak juga mendapatkannya. Pintar juga Amel berkelit. Di saat posisi Amel kian terdesak karena Mas Iqbal berhasil mengunci pergerakan tangan Amel, dan hampir saja ia mendapatkan ponsel Amel tapi karena teriakan Amanda, Mas Iqbal jadi menoleh, fokusnya terbagi, dan ini menjadi kesempatan bagi Amel untuk lolos darinya. "Amanda, kamu nggak apa-apa?" Mas Iqbal terlihat khawatir dan buru-buru membantu gundiknya untuk bangun. Dengan cepat Mas Iqbal mengambilkan baju-baju perempuan itu yang tercecer dan memberikan padanya. Membuat perutku terasa mual. Menjijikan. "Amel, ayo kita pulang. Lama-lama di sini aku bisa muntah karena menyaksikan pasangan mesum."
"Tyas!" Ibu kembali memanggil kali ini suaranya sangat nyaring terdengar. Jika biasanya aku akan langsung menyusul ke dapur dan melakukan apapun supaya beliau berhenti mengomel, mendengarkan semua nasihat darinya untuk hidup hemat supaya bisa punya banyak tabungan. Tapi sekarang aku enggan menyusulnya ke dalam. Biarkan saja dia mengomel sampai puas. Aku sedang tidak ingin berdebat, sudah cukup kelakuan anaknya yang membuatku sakit, tak ingin aku bertambah pusing karena ocehannya. Ibu mertuaku sebenarnya baik, hanya saja beliau sedikit pelit. Terutama soal makan. Beliau rela makan hanya pakai ikan asin asal bisa nabung. Uangnya sebenarnya banyak, tapi dia jarang membelanjakan untuk urusan perut. Terkadang untuk makan sendiri saja dia sangat irit sekali dengan dalih berhemat. Dia lebih suka menyimpan uangnya untuk membeli tanah atau emas, daripada menggunakannya untuk makan enak apalagi jalan-jalan. Terbukti prinsipnya itu berhasil, ibu mertuaku punya beberapa tanah, dan rumah. Rumah
Bab 5. Mulai mengambil langkah. "Oke, kalau gitu kamu pilih aku atau dia Mas?" tanyaku dengan suara bergetar, menahan sesak yang menghimpit dada ini. Sebisa mungkin aku menahan tangis agar tak sampai tumpah sekarang. "Aku nggak mungkin ninggalin dia, Yas!" "Segitu berartinya dia untuk kamu Mas?! Lalu selama ini pernikahan kita kamu anggap apa?!" sentakku tajam. "Sebenarnya kami ... Ka.i sudah menikah siri seminggu yang lalu. Bagai tersambar petir di siang bolong. Ternyata sudah sejauh itu hubungan mereka. Aku menatapnya dengan pandangan mulai berkabut. "Dan sekarang, dia sedang hamil anakku." Lagi-lagi tubuhku seperti di timpa godam yang teramat berat. Aku menggeleng tak percaya dengan apa yang kudengar. "Aku laki-laki. Apanya yang salah? Laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu. Bukankah itu Sunnah, dan bagimu jaminannya syurga." Aku menggeleng tak terima. Sunnah yang di maksud dalam berpoligami tentu bukan seperti ini. Posisi Mas Iqbal jelas dia menikahi Amanda karena