"Menjaga parkir?" Aku mengulangi ucapannya. Adit mengangguk. Jadi Ren memberikannya pekerjaan sebagai tukang parkir? Bukan kurir pengantar barang haram yang aku sangkakan selama ini?Aku menghela napas dengan lega. Setidaknya adikku sedang tidak dalam masalah, atau menjadi salah satu DPO yang diincar oleh polisi. Ternyata Ren masih punya otak untuk tidak menjerumuskan adikku dalam bisnisnya."Memangnya apa yang kakak khawatirkan?" Adit menaruh curiga. Menuduhnya yang bukan-bukan tanpa bertanya terlebih dahulu."Aku hanya tak menyukai pria itu. Kau jangan lagi bertemu dengannya.""Bang Ren orang baik, Kak. Kakak tidak perlu curiga padanya. Hanya gayanya saja yang seperti itu." Adit tampak bersemangat membicarkan orang itu."Bang Ren?" Dahiku mengernyit. Kenapa Adit bisa ikut memanggilnya seperti itu. Bukankah itu hanya sebutanku saja agar dia sadar, kalau dia tak lebih hanya seorang rentenir di kehidupanku."Aku menanyakan namanya. Tapi dia bilang, kakak memanggilnya Ren. Dia menyuruh
Usai berdamai dan mengalah pada Adit, aku kembali membereskan rumah. Adit sudah berangkat ke restoran tempatnya bekerja. Sepertinya dia sudah melakukannya saat melapor padaku waktu itu. Padahal jelas-jelas aku sudah melarangnya.Namun sepertinya kali ini adikku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.Tak lama mobil Daryan muncul, setelah aku mengirimkan google maps alamat rumahku padanya. Begitu banyak bahan makanan yang dia bawakan. Semua sesuai pesananku."Aku beruntung, punya pacar anak orang kaya sepertimu." Aku terkikik geli, sambil menyusun rapi semuanya."Dan aku seperti duda yang ditinggal istrinya." Aku tertawa."Harusnya kau membelinya di pasar. Harga sayuran dan bumbu dapur jauh lebih murah di sana." Aku mengamati harga-harga yang menempel di tiap bahan."Jangan protes! Kartu ajaibku tidak akan berlaku di sana." Aku semakin tertawa.Awalnya aku hanya berniat meminta Daryan datang saat ingin menjemputku saja. Tapi karena tak Adit yang mengantarku pergi berbelanja, kuminta saja
Daryan merogoh saku celananya. Mengambil benda pipih yang tengah berdering. Aku tersenyum melihat ekspresinya yang kembali merasa terganggu."Ibumu?" tanyaku."Ya. Siapa lagi." Aku kembali tertawa."Kau ingin aku yang menjawabnya?" Aku menggoda. "Aku ingin memberitahunya, bahwa anak kesayangannya sedang bersamaku malam ini.""Jangan nekat, May. Ibuku tidak akan membiarkanmu begitu saja." Daryan sedikit menjauh, menerima panggilan itu.Mendengar nada bicara Daryan, sepertinya mereka terlibat perdebatan. Lalu diakhiri ucapan Daryan yang mengatakan dia akan segera pulang."Hati-hati di jalan. Ini sudah larut malam," pesanku saat mengantarnya ke depan pintu.Dia tersenyum mengangguk. Lalu pamit menuju mobil.*Udara begitu terik. Aku baru saja selesai melayani segerombolan mahasiswa yang antri untuk membeli minuman. Ada lebih dari sepuluh orang sekaligus yang memesan. Membuatku merasa puas, dan semakin bersemangat. Aku duduk di atas kursi tinggi yang aku letakkan di dalam booth container
Daryan hari ini sama sekali tak datang. Dia bilang kakak perempuannya sedang merayakan ulang tahun anaknya. Jujur aku merasa kecewa, nyatanya dia tidak mengajakku ikut serta. Aku tidak dianggap sama sekali.Padahal saat di hotel kakaknya terlihat ramah padaku. Berbeda sekali dengan perlakuan ibu mereka. Selain perangai, wajah mereka juga sangat berbeda. Meski kak Erin_ kakaknya_ begitu mirip dengan Daryan. Apa mereka berdua hanya mirip dengan ayahnya saja?Aku terlonjak kaget saat melihat siapa yang tiba-tiba muncul di depan pintu booth container. Ren datang lagi. Mungkin dari tadi mengawasi dan tak melihat Daryan ada di sini.Wajah itu kembali menatapku, semakin berani."Mau apa lagi, kau? Aku sudah tutup." Aku kembali bersikap ketus, sembari membereskan dan menyusun perlengkapan."Kau galak sekali. Kupikir hubungan kita sudah membaik sejak malam itu." Dia masuk tanpa kupersilakan."Apa yang kau lakukan?" Mataku membesar melihat dia yang semakin lancang."Membantumu.""Kau tidak perl
"Kau tak membalas pesanku sejak semalam." Daryan tampak cemas saat datang. Aku menyeruput "brown sugar milk tea" tanpa boba. Tak mengindahkan ucapannya."Hei, kau pasti marah karena aku tak mengajakmu kemarin, kan?" Dia kembali meyakinkan.Dia benar. Aku merasa kesal karena sudah larut malam dia baru mengabariku. Mengatakan kalau dia baru saja sampai di rumah setelah acara selesai.Padahal dia bilang hanya acara ulang tahun keponakannya. Tidak mungkin selesai sampai larut malam.Aku meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke arah ponsel. Duduk manis di atas kursi dengan meletakkan dagu di atas meja."Sudah kuduga, kau pasti marah," bujuknya."Untuk apa aku marah. Aku menerima kembali uang yang diberikan ibumu untuk melunasi hutangku. Aku tak punya hak lagi mengambil anaknya," balasku, tanpa melihat wajahnya."Hei, apa-apaan kau!" Giginya merapat dengan geram. Aku tersenyum. "Aku sudah menjualmu. Jadi sebaiknya kau kembali saja. Atau ibumu akan datang dan marah-marah lagi padak
Aku menatap Daryan penuh tanya. Lalu kulihat dia menyunggingkan sebuah senyum, seperti sebuah kekecewaan."Aku tidak ingin terus menyakitinya. Seburuk apa pun perangainya, dia tetap ibuku," sahutnya."Berhenti menghukum dirimu sendiri, Daryan. Jangan lagi bertingkah gila. Berhenti menghukum diri sendiri. Semua bukan salahmu."Aku masih terperanjat heran. Hanya bisa diam menyaksikan dua kakak beradik itu saling bersahutan.Ada apa dengan keluarga mereka? Adakah skandal yang terjadi hingga orang luar sepertiku tak boleh tahu? Inikah yang dimaksud Ren dengan keluarga Daryan yang tak wajar itu?Keluarga macam apa ini? ~~~~Jadi seperti itu kehidupan Daryan sebenarnya. Menolak posisi dan jabatan yang diberikan oleh Ayahnya demi menghargai perasaan ibunya. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Terlebih Daryan yang hanya sebagai korban, meski seluruh keluarga bersedia menerima kehadirannya.Aku menangis sendiri di kamar sempit ini setelah Daryan mengantarku pulang dan menceritakan s
"May Boba?" Seorang pemuda tiba-tiba muncul dan menegurku dengan menunjuk standing banner di depan booth container. "Sepertinya kau salah menuliskannya. Harusnya tidak pakai huruf A."Aku tersenyum mendengar kritikan darinya. Pembeli yang satu ini pasti berpikir bahwa kata 'May' yang aku pakai, megandung arti kepemilikan dalam bahasa Inggris."May itu, diambil dari namaku. Ma-ya." Aku seperti guru SD yang sedang mengajari muridnya membaca."Maya? Namamu Maya?" Dia mengulangi ucapanku. Aku mengangguk. Kemudian pria berwajah rupawan itu tersenyum, mengulurkan tangannya. "Aku Daryan." Itulah pertama kali aku dan Daryan bertemu. Pria ramah tamah yang selalu bertanya banyak hal padaku. "Usaha ini milikmu? Aku pikir kau hanya pekerja.""Berapa usiamu? Harusnya kau bekerja dengan gaji tetap saja. Bagaimana jika dalam satu hari tak ada satu pun pembeli.""Kau kuliah jurusan apa? Bagaimana kau bisa tahu untung dan rugi usahamu ini?""Seharian sampai malam kau sendiri yang menjaga. Kenapa
"Kau mendengar semuanya?" Napasku bagai terengah saat bertanya. Dia masih melongo, kemudian mengangguk. Aku memejamkan mata.Oh, shit!Kekesalanku bertambah mana kala Anyelir menagih nomor ponsel yang dia minta. Merasa tidak sabaran ingin berurusan dengan si pria mata keranjang itu."Aku tidak punya," sahutku."Kalau begitu kau bisa berikan alamatnya?"Oh, ya ampun. Andai aku punya alasan untuk tak memberi tahunya. Tak adakah orang-orang di sekitarku yang waras walau hanya sebentar saja?*Aku kembali pulang dengan berjalan kaki. Seperti biasa, kembali merasa seseorang sedang mengikuti. Aku menarik senyum di lengkungan bibir. Merasa tak ada yang perlu kutakutkan lagi. Ren hanya mengantarku pulang saat sedang tak bersama Daryan. Dia pasti mengawasi dari kejauhan. Pasti itulah yang dia lakukan selama ini. Aku sengaja memperlambat langkah, berharap dia datang dan menghampiri. Tapi sepertinya dia tak berniat melakukannya. Aku tetap jalan sendiri hingga sampai ke kamar. Aku kembali mengi