Siang ini aku diantar Ren ke rumah ayah. Setelah itu dia pergi lagi, dan akan kembali saat urusannya sudah selesai. Seperti biasa aku mengantar keperluan rumah untuk adikku. Padahal Adit sudah melarang, karena kini dia sudah punya penghasilan sendiri untuk mencukupi kebutuhannya.Namun aku bersikeras, karena merasa masih bertanggung jawab dengan remaja kesayanganku itu. Tak ingin membuatnya merasa terbebani dengan tanggung jawab yang belum mampu dia pikul. Sama seperti yang aku rasakan dulu. Dewasa sebelum waktunya."Berhenti bekerja, Dit! Apa masih kurang uang yang kuberikan padamu?" Aku bersungut, saat menjemur pakaiannya."Kakak simpan saja. Sudah bertahun-tahun aku dan ayah seperti lintah yang menempel pada kakak," ucapnya, membantuku mengeluarkan sisa pakaian dari mesin pengering."Kau bicara apa? Kau sudah berani melawanku sekarang. Apa karena sekarang kau sudah bisa menghasilkan uang, dan tidak butuh aku lagi?""Aku hanya ingin merasa berguna, kak. Aku seorang laki-laki. Selam
Mataku mengerjab melihat Daryan. Tak menyangka kalau dia masih akan datang setelah kejadian waktu itu. Apalagi jelas-jelas aku sudah mengakhiri hubungan kami. Dan dia pun menerimanya, meski berujung penghinaan bernada emosi.Jujur, aku tak pernah membencinya. Hanya saja merasa kesal dengan kejadian yang menimpaku saat itu, hingga membuat rasa yang dulu pernah ada, perlahan memudar.Kemudian menghilang.Kulirik Ren menatapnya dengan pandangan sinis. Membuatku bergidik ngeri, mengingat perangainya yang selalu menyelesaikan segala urusan dengan tindak kekerasan. Aku bangkit, berdiri untuk menyapa pria yang sekarang berstatus hanya sebagai mantan."Ada apa ke sini?" tanyaku heran."Mencarimu," ucapnya sinis. Namun mata itu tertuju pada pria yang kini sedang duduk di sampingku."Ada perlu apa?"Dia menoleh, menyipit memandangku."Sedang apa dia di sini? Kau masih berhutang padanya?" Daryan menunjuk Ren dengan dagunya.Ren yang merasa terpanggil, meremas batang nikotin yang belum sempat h
"Iya... itu... aku...." Aku berucap ragu."Kau mendapatkannya dari dia?" Ren akhirnya tahu, dan aku tak pernah berniat menyembunyikannya. Aku mengangguk.Ren berjongkok, mensejajarkan tubuh pada Daryan, lalu menarik kembali kerah kemejanya."Berikan nomor rekeningmu, sialan! Aku tak sudi menerima uang dari bajingan sepertimu."Daryan tertawa mengejek, tentu saja dengan suara rintihan dan batuk akibat ulah kekasihku itu."Untuk apa kau melakukan itu? Kau ingin mengambil simpati Maya? Ha!" Daryan tetap menantang, tak merasa takut meski berulang kali tersakiti."Kau kecewa?" Ren tak mau kalah.Daryan kembali tertawa. Membuatku merasa semakin miris. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Meski dia tak tahu bahwa aku dan Ren berpacaran, setidaknya dia harus menyadari kalau dia bukan siapa-siapaku lagi."Sudah kuduga. Kau menyukai Maya, kan?" Daryan terus mengoceh. "Sayang sekali, karena kenyataannya Maya begitu membencimu.""Tutup mulutmu, sialan!" Ren kembali menarik kerahnya, mengay
"Kita harus segera pindah dari rumah ini!" ucap ayah tanpa rasa bersalah.Aku baru saja sampai, saat Adit panik dan memintaku segera pulang."Ini rumah ibu. Kenapa ayah tega menjualnya?" ucapku berang."Ayah juga tidak bermaksud menjualnya. Nanti kalau ayah punya uang banyak, ayah belikan rumah yang lebih bagus dari ini."Omong kosong!Ayah masih saja berkhayal menjadi orang kaya dengan situs-situs judi online itu. Membuatnya mengorbankan segala yang ada di rumah ini. Termasuk sepeda motornya sendiri yang sekarang sudah menghilang entah kemana.Tentu saja aku tak bisa tinggal diam. Adikku yang lemah, tampak memucat. Memikirkan bagaimana nasib kami ke depannya tanpa rumah ini. Satu-satunya harta berharga yang harus kami lindungi."Katakan padanya kalau aku akan mencicil kembali hutang ayah. Dan ini untuk terakhir kalinya!" Aku berteriak dengan kesal."Sudahlah, jangan buang-buang uang. Kau tak akan sanggup membayarnya. Jumlahnya bisa sepuluh kali lipat dari hutang ayah yang lalu. Pak
Aku bersikap seperti ini saja dia masih merendahkanku. Bagaimana jika aku merendahkan diri dan memelas di hadapannya. Dia pasti akan semakin menginjak-injak harga diriku."Kau jangan sepele padaku, ya. Aku punya usaha untuk bisa membayarmu setiap bulan." Aku berusaha tidak terlihat lemah."Setiap bulan?" Suara tawanya terdengar merendahkan. "Kau pikir aku punya waktu menunggui uang recehmu selama sebulan?"Ah, shit!Sombong sekali rentenir yang satu ini. Dia memajukan sedikit wajahnya ke hadapanku, dengan kedua siku bertumpu pada meja, memegang dagu."Aku akan menagih setiap hari," ujarnya."Mana bisa begitu. Itu membunuh namanya.""Kalau begitu negosiasi batal. Angkat kaki dari rumahku!""Jangan!" sanggahku dengan cepat.Aku mulai merasa cemas. Dia bilang itu rumahnya? Mengesalkan!"Dua minggu sekali aku akan datang mengantar uang padamu." Aku kembali menawar. "Jangan mendatangiku."Dia berdecih! Mungkin muak dengan sikapku yang tak tahu diri. Tentu saja aku tak ingin dia datang.
Aku menyunggingkan senyum, melihat dia yang kini berdiri menungguku usai menutup kedai. Berjalan bersama, sambil bergandengan tangan layaknya pasangan pada umumnya. Sesekali saling menoleh sambil tersenyum malu. Ren menemaniku pulang."Tanganmu sangat kecil. Tapi kalau memukul, sakit sekali," keluhnya, lalu mengapit genggaman tanganku ke dadanya.Aku tertawa kecil, sambil mendorong bahunya dengan bahuku. Kami mengobrol sepanjang jalan, tentang apa saja yang terkadang membuatku merengut mendengarnya. Dia hanya tertawa, seolah wajah cemberut dan marahku jadi hiburan tersendiri dalam hidupnya."Andai sejak awal kau jujur, kejadian di karaoke tak akan mungkin terjadi," sesalku, sambil berdecak. Kembali merasa rendah diri."Tak perlu malu. Apa pun yang terjadi saat itu, aku masih akan terus menyukaimu."Aku mengulum senyum, dengan mata yang menghangat pastinya. Selain umpatan dan kata-kata kasar, ternyata dia juga bisa mengeluarkan kata-kata manis yang membuatku hampir menangis.Kami sam
"Apa maksudmu?" Aku mengernyit.Daryan kembali menatap Ren dengan nyalang. Seolah tak sabar ingin segera mencabik-cabiknya untuk membalas rasa sakit yang dirasakannya."Aku akan membuat laporan tindakan penganiayaan. Dua kali kau menyerangku. Dan aku sudah punya bukti foto dan juga visum," ucapnya penuh percaya diri. "Lepaskan Maya, atau kau akan berurusan dengan hukum!"Deg!Jantungku hampir berhenti seketika. Membuat tungkai kakiku kini gemetaran. Aku sedikit mendongak memandang wajah Ren. Membayangkan kalau kekasihku ini akan meninggalkanku, karena tak ingin masuk penjara."Jangan lakukan itu, Yan. Kau tahu Ren hanya ingin membelaku. Kau jangan berlebihan!" Aku berucap penuh penekanan."Kenapa kau terkejut? Preman seperti dia pasti sudah sering keluar masuk penjara." Daryan tampak penuh percaya diri. Merasa menang.Ren masih diam terpaku. Tak bereaksi. Membuatku semakin frustasi. Apa kini dia merasa terpojok? Atau takut? "Ren, minta maaflah!" perintahku. "Katakan kalau kau hanya
Percuma saja aku menghujani Ren dengan ciuman liar malam itu, nyatanya dia tetap bungkam tentang apa yang dia ucapkan pada Daryan. "Itu urusan lelaki," bisiknya di sela-sela napas yang memburu."Tahu begitu, kubiarkan saja kau pulang lebih cepat." Aku kembali merengut."Sudah terlambat. Terima saja hukumanmu."*Hampir seminggu sudah sejak kejadian itu. Daryan memang tak berani lagi untuk datang menemuiku. Atau mungkin memang sudah menyerah, dan melupakanku.Aku tersenyum getir. Tak menyangka hubungan kami yang singkat, harus berakhir dengan cara seperti ini. Entah aku harus menyalahkan diri sendiri, atau mungkin memang takdir yang berkehendak. Ditambah lagi status sosial yang mau tak mau akan memisahkan kami seperti yang selalu diucapkan oleh ibunya.Namun tak bisa dipungkiri, banyak hal baik dan menyenangkan yang selalu kuingat saat bersamanya. Dia pun pernah membuatku bahagia dan begitu menggilainya. Tapi lagi-lagi ini yang terbaik. Aku dan dia tak lagi saling berhubungan. Yang