"Iya... itu... aku...." Aku berucap ragu."Kau mendapatkannya dari dia?" Ren akhirnya tahu, dan aku tak pernah berniat menyembunyikannya. Aku mengangguk.Ren berjongkok, mensejajarkan tubuh pada Daryan, lalu menarik kembali kerah kemejanya."Berikan nomor rekeningmu, sialan! Aku tak sudi menerima uang dari bajingan sepertimu."Daryan tertawa mengejek, tentu saja dengan suara rintihan dan batuk akibat ulah kekasihku itu."Untuk apa kau melakukan itu? Kau ingin mengambil simpati Maya? Ha!" Daryan tetap menantang, tak merasa takut meski berulang kali tersakiti."Kau kecewa?" Ren tak mau kalah.Daryan kembali tertawa. Membuatku merasa semakin miris. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Meski dia tak tahu bahwa aku dan Ren berpacaran, setidaknya dia harus menyadari kalau dia bukan siapa-siapaku lagi."Sudah kuduga. Kau menyukai Maya, kan?" Daryan terus mengoceh. "Sayang sekali, karena kenyataannya Maya begitu membencimu.""Tutup mulutmu, sialan!" Ren kembali menarik kerahnya, mengay
"Kita harus segera pindah dari rumah ini!" ucap ayah tanpa rasa bersalah.Aku baru saja sampai, saat Adit panik dan memintaku segera pulang."Ini rumah ibu. Kenapa ayah tega menjualnya?" ucapku berang."Ayah juga tidak bermaksud menjualnya. Nanti kalau ayah punya uang banyak, ayah belikan rumah yang lebih bagus dari ini."Omong kosong!Ayah masih saja berkhayal menjadi orang kaya dengan situs-situs judi online itu. Membuatnya mengorbankan segala yang ada di rumah ini. Termasuk sepeda motornya sendiri yang sekarang sudah menghilang entah kemana.Tentu saja aku tak bisa tinggal diam. Adikku yang lemah, tampak memucat. Memikirkan bagaimana nasib kami ke depannya tanpa rumah ini. Satu-satunya harta berharga yang harus kami lindungi."Katakan padanya kalau aku akan mencicil kembali hutang ayah. Dan ini untuk terakhir kalinya!" Aku berteriak dengan kesal."Sudahlah, jangan buang-buang uang. Kau tak akan sanggup membayarnya. Jumlahnya bisa sepuluh kali lipat dari hutang ayah yang lalu. Pak
Aku bersikap seperti ini saja dia masih merendahkanku. Bagaimana jika aku merendahkan diri dan memelas di hadapannya. Dia pasti akan semakin menginjak-injak harga diriku."Kau jangan sepele padaku, ya. Aku punya usaha untuk bisa membayarmu setiap bulan." Aku berusaha tidak terlihat lemah."Setiap bulan?" Suara tawanya terdengar merendahkan. "Kau pikir aku punya waktu menunggui uang recehmu selama sebulan?"Ah, shit!Sombong sekali rentenir yang satu ini. Dia memajukan sedikit wajahnya ke hadapanku, dengan kedua siku bertumpu pada meja, memegang dagu."Aku akan menagih setiap hari," ujarnya."Mana bisa begitu. Itu membunuh namanya.""Kalau begitu negosiasi batal. Angkat kaki dari rumahku!""Jangan!" sanggahku dengan cepat.Aku mulai merasa cemas. Dia bilang itu rumahnya? Mengesalkan!"Dua minggu sekali aku akan datang mengantar uang padamu." Aku kembali menawar. "Jangan mendatangiku."Dia berdecih! Mungkin muak dengan sikapku yang tak tahu diri. Tentu saja aku tak ingin dia datang.
Aku menyunggingkan senyum, melihat dia yang kini berdiri menungguku usai menutup kedai. Berjalan bersama, sambil bergandengan tangan layaknya pasangan pada umumnya. Sesekali saling menoleh sambil tersenyum malu. Ren menemaniku pulang."Tanganmu sangat kecil. Tapi kalau memukul, sakit sekali," keluhnya, lalu mengapit genggaman tanganku ke dadanya.Aku tertawa kecil, sambil mendorong bahunya dengan bahuku. Kami mengobrol sepanjang jalan, tentang apa saja yang terkadang membuatku merengut mendengarnya. Dia hanya tertawa, seolah wajah cemberut dan marahku jadi hiburan tersendiri dalam hidupnya."Andai sejak awal kau jujur, kejadian di karaoke tak akan mungkin terjadi," sesalku, sambil berdecak. Kembali merasa rendah diri."Tak perlu malu. Apa pun yang terjadi saat itu, aku masih akan terus menyukaimu."Aku mengulum senyum, dengan mata yang menghangat pastinya. Selain umpatan dan kata-kata kasar, ternyata dia juga bisa mengeluarkan kata-kata manis yang membuatku hampir menangis.Kami sam
"Apa maksudmu?" Aku mengernyit.Daryan kembali menatap Ren dengan nyalang. Seolah tak sabar ingin segera mencabik-cabiknya untuk membalas rasa sakit yang dirasakannya."Aku akan membuat laporan tindakan penganiayaan. Dua kali kau menyerangku. Dan aku sudah punya bukti foto dan juga visum," ucapnya penuh percaya diri. "Lepaskan Maya, atau kau akan berurusan dengan hukum!"Deg!Jantungku hampir berhenti seketika. Membuat tungkai kakiku kini gemetaran. Aku sedikit mendongak memandang wajah Ren. Membayangkan kalau kekasihku ini akan meninggalkanku, karena tak ingin masuk penjara."Jangan lakukan itu, Yan. Kau tahu Ren hanya ingin membelaku. Kau jangan berlebihan!" Aku berucap penuh penekanan."Kenapa kau terkejut? Preman seperti dia pasti sudah sering keluar masuk penjara." Daryan tampak penuh percaya diri. Merasa menang.Ren masih diam terpaku. Tak bereaksi. Membuatku semakin frustasi. Apa kini dia merasa terpojok? Atau takut? "Ren, minta maaflah!" perintahku. "Katakan kalau kau hanya
Percuma saja aku menghujani Ren dengan ciuman liar malam itu, nyatanya dia tetap bungkam tentang apa yang dia ucapkan pada Daryan. "Itu urusan lelaki," bisiknya di sela-sela napas yang memburu."Tahu begitu, kubiarkan saja kau pulang lebih cepat." Aku kembali merengut."Sudah terlambat. Terima saja hukumanmu."*Hampir seminggu sudah sejak kejadian itu. Daryan memang tak berani lagi untuk datang menemuiku. Atau mungkin memang sudah menyerah, dan melupakanku.Aku tersenyum getir. Tak menyangka hubungan kami yang singkat, harus berakhir dengan cara seperti ini. Entah aku harus menyalahkan diri sendiri, atau mungkin memang takdir yang berkehendak. Ditambah lagi status sosial yang mau tak mau akan memisahkan kami seperti yang selalu diucapkan oleh ibunya.Namun tak bisa dipungkiri, banyak hal baik dan menyenangkan yang selalu kuingat saat bersamanya. Dia pun pernah membuatku bahagia dan begitu menggilainya. Tapi lagi-lagi ini yang terbaik. Aku dan dia tak lagi saling berhubungan. Yang
Hari beranjak sore. Aku kembali duduk di singgasana kebesaranku. Meski hanya sebuah kursi plastik tempatku bersandar. Tak ingin larut dalam pikiran tentang Daryan. Dia baik-baik saja bersama keluarga ayahnya. Mungkin pun merasa sangat bahagia, hingga lupa pada ibunya, dan juga aku dulu saat masih menjadi kekasihnya.Dalam kesendirian, kulihat seseorang berpakaian rapi dengan setelan jas datang menghampiri. Berdiri sambil memperhatikan standing bannerku. Wajah itu tampak tak asing. Hanya saja aku lupa pernah melihatnya dimana."Pesan apa?" Aku menjulurkan daftar menu padanya.Dia melirik benda itu, lalu mengalihkan pandangan padaku."Kau yang bernama Maya?" Aku terkejut mendengar pertanyaannya. "Kau siapa?" "Aku Bara. Kakaknya Daryan."Bara? Aku langsung berjalan keluar, menghampirinya.Benar sekali. Pantas saja wajah itu seperti pernah kulihat. Aku menandai sesosok itu saat dia menjadi pengantin di pesta mewah itu. Mau apa dia kemari?"Mana Daryan? Apa sekarang kalian tinggal ber
Ren kembali mengantarku pulang dengan berjalan kaki, setelah sebelumnya memindahkan motor ke ruko yang tak berapa jauh dari tempatku berjualan. Dia bilang terasa lebih romantis. Tak perlu teriak-teriak jika ingin bicara, seperti saat berboncengan di atas motor. Lagi pula perjalanan terasa lebih jauh, jadi bisa lebih lama menggenggam tanganku."Awas saja kalau ada kasur ataupun kipas angin yang kau sebutkan kemarin, ya. Aku akan melemparnya keluar saat ini juga. Kau mengerti?" Aku memberi ancaman.Dia hanya berdehem, mengiyakan.Bukan apa-apa, kamar kos yang aku tempati sekarang sudah memiliki fasilitas kasur dan juga lemari kecil dengan dua pintu. Rasanya tak mungkin lagi aku memasukkan barang-barang seperti itu dengan luas wilayah kamar yang hanya tiga kali tiga saja.Belum lagi token listrik yang harus aku bayar di luar sewa bulanan. Membuatku berpikir berkali-kali jika ingin membeli barang elektronik, meski hanya sebuah hairdryer. Bisa menghidupkan dispenser dan setrikaan saja sud