"Aku kira kamu masih single. Ternyata sudah punya tunangan."Hakam yang temgah membaca laporan di ruang kerjanya, mengangkat kepala. Sosok Davina sudah berdiri di ambang pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.Hakam tersenyum tipis, lalu berkata, "Ya, begitulah." Ia kira setelah menjawab seadanya, pemilik restoran itu akan berlalu meninggalkannya. Rupanya malah Davina masuk dengan langkah anggunnya dan duduk di kursi di depan meja Hakam."Linggar nggak pernah bilang kalau kamu sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah," ucap Davina sedikit kecewa.Hakam masih tersenyum tipis saat menjawabnya. "Mungkin Linggar kira itu bukan suatu informasi yang penting."Davina menggeleng. Punggungnya bersandar santai di punggung kursi. "Justru itu adalah informasi paling penting untuk aku."Sebelah alis tebal Hakam terangkat. Ia mencoba menerka maksud perkataan Davina. Akhirnya ia memahaminya. Mungkin maksud sang pemilik, jika orang yang dipekerjakannya akan menikah, Davina tidak a
Suara ketukan di pintu depan, mengambil alih perhatian Faryn dari televisi yang sedang menayangka sebuah film. Matanya melirik sekilas pada jam dinding. Mungkin Hakam sudah pulang. Hanya saja ia tidak mendengar suara mobil kantornya.Faryn mengelap tangannya dengan tisu setelah menelan kue nastar dan berjalan menuju pintu. Ketukan kembali terdengar saat kakinya sudah hampir sampai di ambang."Iya, sebentar," sahutnya meski tidak ada yang memanggil.Tangannya memutar kuci lalu membuka pintu. Ia kira suaminya yang datang. Namun, ternyata Linggar yang berdiri di depan pintu rumah dengan wajah lesu dan dasi yang sudah mengendur."Linggar," panggil Faryn kaget. Kepalanya celingukan ke balik punggung suami dari Lintang. Barangkali pria ini datang bersama anak dan istrinya.Nihil.Linggar datang seorang diri di jam yang hampir larut seperti ini. Meski lingkungan rumahnya mulai sepi saat sore, tetap saja rasanya khawatir jika ada yang melihat Linggar bertamu ketika sang suami tidak ada atau b
Hakam terlihat begitu menikmati makan malamnya bersama Davina. Bukan karena perempuan cantik itu yang menemaninya, melainkan karena makanan yang disajikan begitu memanjakan lidahnya.'Lain kali, ajak Faryn, ah,' batin Hakam senang.Jika tahu tempat enak seperti ini semasa masih bekerja di perusahaan ayahnya, tentu ia akan lebih sering mampir. Sayangnya, untuk sekarang ia hanya bisa makan di restoran kecil ini sebulan sekali saja setiap setelah menerima upah kerjanya. Selain karena dirasa lumayan mahal untuk keuangannya saat ini, lokasinya juga lumayan jauh dari rumahnya.Faryn masih sering lembur. Kalau langsung ia ajak ke sini setelah pulang bekerja, wanita itu akan sangat kelelahan. Hakam tidak setega itu.'Ketika weekend setelah menerima gaji saja lah aku ajak Faryn,' batinnya lagi setelah memikirkan situasi dan kondisi. Kepalanya memgangguk hanya dengan memikirkannya."Makanannya enak?" tanya Davina.Ia salah mengira dengan menganggap kalau Hakam menganggukan kepala karena rasa ma
Beberapa hari berlalu sejak terakhir kali Linggar datang menemuinya. Meski ia adalah selingkuhannya, pria itu memanh jarang menghubungi. Terlebih lagi semenjak rencana yang mereka susun berantakan karena 'ulah' Hakam.Dan selama tidak dihubungi oleh Linggar, Faryn juga tidak merasa keberatan. Karena memang sedari awal ketika mengiyakan permintaan suami Lintang itu, dia tidak menggunakan perasaan. Alias tidak jatuh cinta sama sekali pada pria beristri.Lalu bagaimana dengan sekarang?Setelah malam itu ia menjanjikan sesuatu yang ia sendiri ragu, kenapa hatinya justru dilingkupin rasa gundah?Kenapa Faryn malah terasa semakin terikat oleh pria itu."Faryn, data karyawan baru yang masuk sudah kamu perbaharui?" tanya Dedi, salah satu senior yang sering melimpahkan tugas padanya.Faryn yang sempat melamun, sedikit terkesiap. Tapi karena pandangannya masih tertuju pada layar komputer, Dedi pun tidak bisa menangkap gerakan samar itu."Sudah, Mas. Tadi karyawannya baru selesai melengkapi berk
Hakam mematikan komputer dan menutup layar laptop. Ia masukan laptop pribadinya itu ke dalam tas kerja jining yang biasa ia bawa. Jika dulu asistennya yang membawakan tas jinjing itu, sekarang ia harus membawanya sendiri.Terkadang memang ingatan 'manja' itu masih sering mampir. Tapi, bukan berarti Hakam dimampu hidup mandiri dengan mengandalkan dirinya sendiri. Hanya saja, kenangan itu seringkali membuatnya tertawa saat terlintas di kepalanya."Hidup seperti ini juga nggak buruk, rupanya. Lebih simple juga ternyata," gumam Hakam pada dirinya sendiri.Ia memasukan beberapa berkas laporan yang belum ia baca dan setujui untuk dibawa ke rumah. Rencananya, sambil menunggu Faryn pulang, ia akan menyelesaikannya.Hakam sudah sering mengajak Faryn untuk pulang bersama. Namun, selalu ditolak. Hakam tidak terkejut lagi. Malahan kalau diterima, mungkin ia akan langsung pingsan.Berlebihan memang. Untuk ukuran orang yang sering ditolak oleh Faryn, sebuah kalimat persetujuan dari wanita itu bisa
"Kamu habis dari mana?" todong Lintang begitu melihat Linggar baru saja menutup pintu rumah.Seolah sudah menduga hal ini akan terjadi, Linggar berbalik badan tanpa ada sedikit pun raut wajah gusar sama sekali. "Menurut kamu habis dari mana?" tanyanya balik dengan nada acuh.Lintang yang saat itu memasuki trimester akhir, berjalan mendekat dengan sedikit kesulitan. Bukan hanya perut yang mengganjal, rasa sakit di sekitar perut bawahnya juga menjadi salah satu kesulitan baginya dalam beraktifitas akhir-akhir ini. Sebelah tangannya menahan perut untuk mengurangi sakitnya saat berjalan."Kamu nggak pernah pulang selarut ini sebelumnya," sahitnya begitu jarak mereka memendek.Linggar berdecak keras, menandakan betapa kesalnya ia dengan ucapan sang istri. "Maksud kamu apa? Aku keluyuran begitu?"Mendengar nada bicara Linggar yang semakin dingin dari hari ke gari, membuat Lintang jadi terpancing emosi. Bukan hanya karena emosinya yang tidak stabil saat hamil anak kedua, melainkan juga karen
"Ma, Lanang mau makan nasi goreng buatan Uti," rengek Lanang sedari tadi.Lintang yang mendengar anak sulungnya terus meminta hal yang sama, lama kelamaan jadi geram juga. Pikirannya sedang kacau. Begitu pula dengan hatinya yang berantakan. Dan sekarang ia harus menghadapi keras kepalanya sang anak."Di rumah sudah ada makanan, Lanang," katanya dengan membendung kesabaran sebisanya.Tapi Lanang yang sama persisi sifatnya dengan Lintang, tidak mau menyerah. Anak itu justru semakin mengeraskan nada rengekannya disertai gerakan menarik-narik baju Lintang yang saat itu tengah menyusun bunga pada vas yang dipecahkan oleh Linggar."Lanang maunya nasi goreng, Ma."Panggilan-panggilan yang mulai membuat telinganya pengang dan begitu berisik, menjadikan emosi Lintang semakin tidak stabil. Ia naik pitam."Kalau Mama bilang sudah ada makanan, ya sudah makan itu!" bentaknya sambil mendelik.Lanang yang mendapatkan sentakan seperti itu berhenti merengek. Lalu sedetik kemudian bibirnya turun dan be
Hakam tersentum sumringah saat melihat saldo di rekeningnya bertambah. Nominalnya sangat jauh di bawah gaji pekerjaan pertamanya. Anehnya ia justru merasakan kesenangan yang berlebihan. Seolah ia baru saja memenangkan perlombaan setelah bersaingan dengan ratusan orang.Padahal ini hanya tanggal gajiannya."Haha," Hakam tertawa sendiri di ruangannya.Gaji para karyawan juga sudah di transfer. Pekerjaaannya juga sudah hampir selesai. Akhir bulan begini, restoran memang lumayan lebih ramai. Tapi, Hakam tidak akan mengambil lembur malam ini.Hakam bersiul, mesenandungkan keriangan hatinya. Entah sudah berapa lama ia tidak merasakan perasaan semenyenangkan ini. Dalam benaknya penuh skenario palsu antara dirinya dan Faryn malam ini.Akhirnya, malam yang dinantinya datang juga.Suara ketukan di pintu kerjanya, mengalihkan perhatian. Ia memberikan ijin bagi karyawannya yang mengetuk di luar sana untuk masuk."Pak, ada Bu Davina. Beliau menunggu di ruang VIP," kata karyawannya."Kenapa nggak l