Beberapa hari berlalu sejak terakhir kali Linggar datang menemuinya. Meski ia adalah selingkuhannya, pria itu memanh jarang menghubungi. Terlebih lagi semenjak rencana yang mereka susun berantakan karena 'ulah' Hakam.Dan selama tidak dihubungi oleh Linggar, Faryn juga tidak merasa keberatan. Karena memang sedari awal ketika mengiyakan permintaan suami Lintang itu, dia tidak menggunakan perasaan. Alias tidak jatuh cinta sama sekali pada pria beristri.Lalu bagaimana dengan sekarang?Setelah malam itu ia menjanjikan sesuatu yang ia sendiri ragu, kenapa hatinya justru dilingkupin rasa gundah?Kenapa Faryn malah terasa semakin terikat oleh pria itu."Faryn, data karyawan baru yang masuk sudah kamu perbaharui?" tanya Dedi, salah satu senior yang sering melimpahkan tugas padanya.Faryn yang sempat melamun, sedikit terkesiap. Tapi karena pandangannya masih tertuju pada layar komputer, Dedi pun tidak bisa menangkap gerakan samar itu."Sudah, Mas. Tadi karyawannya baru selesai melengkapi berk
Hakam mematikan komputer dan menutup layar laptop. Ia masukan laptop pribadinya itu ke dalam tas kerja jining yang biasa ia bawa. Jika dulu asistennya yang membawakan tas jinjing itu, sekarang ia harus membawanya sendiri.Terkadang memang ingatan 'manja' itu masih sering mampir. Tapi, bukan berarti Hakam dimampu hidup mandiri dengan mengandalkan dirinya sendiri. Hanya saja, kenangan itu seringkali membuatnya tertawa saat terlintas di kepalanya."Hidup seperti ini juga nggak buruk, rupanya. Lebih simple juga ternyata," gumam Hakam pada dirinya sendiri.Ia memasukan beberapa berkas laporan yang belum ia baca dan setujui untuk dibawa ke rumah. Rencananya, sambil menunggu Faryn pulang, ia akan menyelesaikannya.Hakam sudah sering mengajak Faryn untuk pulang bersama. Namun, selalu ditolak. Hakam tidak terkejut lagi. Malahan kalau diterima, mungkin ia akan langsung pingsan.Berlebihan memang. Untuk ukuran orang yang sering ditolak oleh Faryn, sebuah kalimat persetujuan dari wanita itu bisa
"Kamu habis dari mana?" todong Lintang begitu melihat Linggar baru saja menutup pintu rumah.Seolah sudah menduga hal ini akan terjadi, Linggar berbalik badan tanpa ada sedikit pun raut wajah gusar sama sekali. "Menurut kamu habis dari mana?" tanyanya balik dengan nada acuh.Lintang yang saat itu memasuki trimester akhir, berjalan mendekat dengan sedikit kesulitan. Bukan hanya perut yang mengganjal, rasa sakit di sekitar perut bawahnya juga menjadi salah satu kesulitan baginya dalam beraktifitas akhir-akhir ini. Sebelah tangannya menahan perut untuk mengurangi sakitnya saat berjalan."Kamu nggak pernah pulang selarut ini sebelumnya," sahitnya begitu jarak mereka memendek.Linggar berdecak keras, menandakan betapa kesalnya ia dengan ucapan sang istri. "Maksud kamu apa? Aku keluyuran begitu?"Mendengar nada bicara Linggar yang semakin dingin dari hari ke gari, membuat Lintang jadi terpancing emosi. Bukan hanya karena emosinya yang tidak stabil saat hamil anak kedua, melainkan juga karen
"Ma, Lanang mau makan nasi goreng buatan Uti," rengek Lanang sedari tadi.Lintang yang mendengar anak sulungnya terus meminta hal yang sama, lama kelamaan jadi geram juga. Pikirannya sedang kacau. Begitu pula dengan hatinya yang berantakan. Dan sekarang ia harus menghadapi keras kepalanya sang anak."Di rumah sudah ada makanan, Lanang," katanya dengan membendung kesabaran sebisanya.Tapi Lanang yang sama persisi sifatnya dengan Lintang, tidak mau menyerah. Anak itu justru semakin mengeraskan nada rengekannya disertai gerakan menarik-narik baju Lintang yang saat itu tengah menyusun bunga pada vas yang dipecahkan oleh Linggar."Lanang maunya nasi goreng, Ma."Panggilan-panggilan yang mulai membuat telinganya pengang dan begitu berisik, menjadikan emosi Lintang semakin tidak stabil. Ia naik pitam."Kalau Mama bilang sudah ada makanan, ya sudah makan itu!" bentaknya sambil mendelik.Lanang yang mendapatkan sentakan seperti itu berhenti merengek. Lalu sedetik kemudian bibirnya turun dan be
Hakam tersentum sumringah saat melihat saldo di rekeningnya bertambah. Nominalnya sangat jauh di bawah gaji pekerjaan pertamanya. Anehnya ia justru merasakan kesenangan yang berlebihan. Seolah ia baru saja memenangkan perlombaan setelah bersaingan dengan ratusan orang.Padahal ini hanya tanggal gajiannya."Haha," Hakam tertawa sendiri di ruangannya.Gaji para karyawan juga sudah di transfer. Pekerjaaannya juga sudah hampir selesai. Akhir bulan begini, restoran memang lumayan lebih ramai. Tapi, Hakam tidak akan mengambil lembur malam ini.Hakam bersiul, mesenandungkan keriangan hatinya. Entah sudah berapa lama ia tidak merasakan perasaan semenyenangkan ini. Dalam benaknya penuh skenario palsu antara dirinya dan Faryn malam ini.Akhirnya, malam yang dinantinya datang juga.Suara ketukan di pintu kerjanya, mengalihkan perhatian. Ia memberikan ijin bagi karyawannya yang mengetuk di luar sana untuk masuk."Pak, ada Bu Davina. Beliau menunggu di ruang VIP," kata karyawannya."Kenapa nggak l
"Hakam?"Pria yang dipanggil itu menoleh ke belakang. Tampak sosok Lintang yang dtengah berdiri di ambang pintu tengah menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan oleh Hakam."Iya, Kak?"Hakam bangkit dari posisi tiduran di atas ranjang di kamar Lanang dengan hati-hati. Setelah lelah bermain, keponakannya berulang kali menguap. Tentu bocah itu mrnolak ketika dirinya menyuruh untuk tidur. Terlebih lagi pamannya sudah semakin jarang berkunjung.Lanang hanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi dengan Hakam."Dia masih ingin bermain sepertinya," kata Lintang sembari mengedikan dagu ke arah anak sulungnya.Hakam menunduk sebentar lalu ikut tersenyum saat menanggapi. "Katanya tugas anak-anak otu bermain. Bukan tidur," ucap Hakam menirukan kalimat Lanang sebelum bocah itu terlelap pulas.Lintang tersenyum geli, "Dia makin pintar membantah."Hakam mencebikan bibir sambil mengangguk setuju, "Seperti mamanya, kan?" candanya.Lintang menonjok pelan lengan Hakam yang dibalas dengan elus d
"Kamu lucu banget waktu kecil," kata Lintang dengan terus memperhatikan foto di album kenangan di atas pangkuannya.Saat ini mereka tengah membuka album foto lama yang dibawa oleh Lintang setelah menikah. Foto masa-masa kecil mereka. Alasannya membawa album itu agar saat bisa membandingkan wajah Lanang dengan wajahnya saat masih kecil."Sekarang juga masih lucu kok," sahut Hakam dengan kedua telapak tangan di bawah dagu membentuk huruf V besar. Wajahnya dibuat seimut mungkin hingga Lintang yang melihatnya tertawa terbahak."Kalau sekarang sudah nggak ada kelucuan yang tersisa," ujarnya.Hakam tersenyum geli. Kedekatan mereka terus terjaga meski salah satu di antara mereka berdua sempat terpisah jauh dari rumah dan sekarang keduanya sudah sama-sama memiliki pasangan."Dulu waktu SD kamu cengeng banget. Sedikit-sedikit menangis." Mata Lintang masih menatap foto Hakam saat memakai seragam merah putih. Sedangkan isi kepalanya menerawang kembali ingatan yang telah berlalu.Hakam ikut menat
Begitu selesai sarapan dan bermain sebentar dengan Lanang, ia berpamitan pulang. Meski Lanang terus merengek agar ia tetap tinggal. Tapi Hakam rasanya sangat ingin segera sampai di rumah. Hakam berjalan memasuki teras rumah dengan perasaan tak menentu. Ada yang membuatnya merasa ganjal dengan mimpinya semalam. Seharusnya ia sudah melupakannya, kan?Batinnya masih terus mempertanyakan siapa gerangan bocah itu? Setelah dipikir agak lama dengan sedikit melamun, akhirnya dia mengingat sesuatu. Hakam memang memiliki seorang teman lelaki yang selalu menemaninya. Hanya saja ia tidak bisa mengingat nama ataupun wajahnya.Saat tangannya meraih kenop pintu dan membukanya pelan, aroma sedap langsung menyeruak ke dalam hidungnya.Faryn tengah memasak!Hakam mengikuti aroma itu sambil terus mengendusnya. Tidak ingin menyia-nyiakan sedikitpun aroma yang menyenangkan indera penciumannya ini."Hakam!" sentak Faryn dengan tangan yang menyentuh dadanya. Ia terkejut setengah mati saat mendapati suaminy