"Ma, Lanang mau makan nasi goreng buatan Uti," rengek Lanang sedari tadi.Lintang yang mendengar anak sulungnya terus meminta hal yang sama, lama kelamaan jadi geram juga. Pikirannya sedang kacau. Begitu pula dengan hatinya yang berantakan. Dan sekarang ia harus menghadapi keras kepalanya sang anak."Di rumah sudah ada makanan, Lanang," katanya dengan membendung kesabaran sebisanya.Tapi Lanang yang sama persisi sifatnya dengan Lintang, tidak mau menyerah. Anak itu justru semakin mengeraskan nada rengekannya disertai gerakan menarik-narik baju Lintang yang saat itu tengah menyusun bunga pada vas yang dipecahkan oleh Linggar."Lanang maunya nasi goreng, Ma."Panggilan-panggilan yang mulai membuat telinganya pengang dan begitu berisik, menjadikan emosi Lintang semakin tidak stabil. Ia naik pitam."Kalau Mama bilang sudah ada makanan, ya sudah makan itu!" bentaknya sambil mendelik.Lanang yang mendapatkan sentakan seperti itu berhenti merengek. Lalu sedetik kemudian bibirnya turun dan be
Hakam tersentum sumringah saat melihat saldo di rekeningnya bertambah. Nominalnya sangat jauh di bawah gaji pekerjaan pertamanya. Anehnya ia justru merasakan kesenangan yang berlebihan. Seolah ia baru saja memenangkan perlombaan setelah bersaingan dengan ratusan orang.Padahal ini hanya tanggal gajiannya."Haha," Hakam tertawa sendiri di ruangannya.Gaji para karyawan juga sudah di transfer. Pekerjaaannya juga sudah hampir selesai. Akhir bulan begini, restoran memang lumayan lebih ramai. Tapi, Hakam tidak akan mengambil lembur malam ini.Hakam bersiul, mesenandungkan keriangan hatinya. Entah sudah berapa lama ia tidak merasakan perasaan semenyenangkan ini. Dalam benaknya penuh skenario palsu antara dirinya dan Faryn malam ini.Akhirnya, malam yang dinantinya datang juga.Suara ketukan di pintu kerjanya, mengalihkan perhatian. Ia memberikan ijin bagi karyawannya yang mengetuk di luar sana untuk masuk."Pak, ada Bu Davina. Beliau menunggu di ruang VIP," kata karyawannya."Kenapa nggak l
"Hakam?"Pria yang dipanggil itu menoleh ke belakang. Tampak sosok Lintang yang dtengah berdiri di ambang pintu tengah menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan oleh Hakam."Iya, Kak?"Hakam bangkit dari posisi tiduran di atas ranjang di kamar Lanang dengan hati-hati. Setelah lelah bermain, keponakannya berulang kali menguap. Tentu bocah itu mrnolak ketika dirinya menyuruh untuk tidur. Terlebih lagi pamannya sudah semakin jarang berkunjung.Lanang hanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi dengan Hakam."Dia masih ingin bermain sepertinya," kata Lintang sembari mengedikan dagu ke arah anak sulungnya.Hakam menunduk sebentar lalu ikut tersenyum saat menanggapi. "Katanya tugas anak-anak otu bermain. Bukan tidur," ucap Hakam menirukan kalimat Lanang sebelum bocah itu terlelap pulas.Lintang tersenyum geli, "Dia makin pintar membantah."Hakam mencebikan bibir sambil mengangguk setuju, "Seperti mamanya, kan?" candanya.Lintang menonjok pelan lengan Hakam yang dibalas dengan elus d
"Kamu lucu banget waktu kecil," kata Lintang dengan terus memperhatikan foto di album kenangan di atas pangkuannya.Saat ini mereka tengah membuka album foto lama yang dibawa oleh Lintang setelah menikah. Foto masa-masa kecil mereka. Alasannya membawa album itu agar saat bisa membandingkan wajah Lanang dengan wajahnya saat masih kecil."Sekarang juga masih lucu kok," sahut Hakam dengan kedua telapak tangan di bawah dagu membentuk huruf V besar. Wajahnya dibuat seimut mungkin hingga Lintang yang melihatnya tertawa terbahak."Kalau sekarang sudah nggak ada kelucuan yang tersisa," ujarnya.Hakam tersenyum geli. Kedekatan mereka terus terjaga meski salah satu di antara mereka berdua sempat terpisah jauh dari rumah dan sekarang keduanya sudah sama-sama memiliki pasangan."Dulu waktu SD kamu cengeng banget. Sedikit-sedikit menangis." Mata Lintang masih menatap foto Hakam saat memakai seragam merah putih. Sedangkan isi kepalanya menerawang kembali ingatan yang telah berlalu.Hakam ikut menat
Begitu selesai sarapan dan bermain sebentar dengan Lanang, ia berpamitan pulang. Meski Lanang terus merengek agar ia tetap tinggal. Tapi Hakam rasanya sangat ingin segera sampai di rumah. Hakam berjalan memasuki teras rumah dengan perasaan tak menentu. Ada yang membuatnya merasa ganjal dengan mimpinya semalam. Seharusnya ia sudah melupakannya, kan?Batinnya masih terus mempertanyakan siapa gerangan bocah itu? Setelah dipikir agak lama dengan sedikit melamun, akhirnya dia mengingat sesuatu. Hakam memang memiliki seorang teman lelaki yang selalu menemaninya. Hanya saja ia tidak bisa mengingat nama ataupun wajahnya.Saat tangannya meraih kenop pintu dan membukanya pelan, aroma sedap langsung menyeruak ke dalam hidungnya.Faryn tengah memasak!Hakam mengikuti aroma itu sambil terus mengendusnya. Tidak ingin menyia-nyiakan sedikitpun aroma yang menyenangkan indera penciumannya ini."Hakam!" sentak Faryn dengan tangan yang menyentuh dadanya. Ia terkejut setengah mati saat mendapati suaminy
Bahari benar-benar memenuhi janjinya. Setelah seluruh karyawan menerima upah kerja yang sesuai, Pemimpin Jatayu Grup itu memecat Dedi dengan alasan jika dia tidak lagi menunjukan performa yang distandarkan perusahaan.Begitu kembali dari ruang kerja Bahari, pria itu mengamuk dan memaki sang atasan. Faryn tidak ambil pusing. Ia sudah berhasil mengusir salah satu pengganggu."Akhirnya dia dipecat juga," ujar salah satu karyawan dengan nada penuh kelegaan."Iya. Kurang ajar banget jadi pria," kata yang lain menanggapi."Dia pernah loh diam-diam pasang kamera di kamar mandi perempuan di kantor lamanya. Terus ketahuan. Sempat dilaporkan ke polisi. Tapi bebas.""Hah? Yang benar? Sampai sekarang masih nggak?""Kalau di kantor ini sepertinya dia nggak berani.""Kenapa?""Soalnya dia lebih sibuk cari muka ke Pak Bahari. Mana ada waktu untuk mesum seperti itu."Lalu dua karyawati itu tertawa. Faryn yang masih berada di bilik kamar mandi mendengarkan dengan seksama percakapan tersebut.Cari muka
"Kamu belum masak untuk makan siang dan malam, kan?"Hakam menyanggah dagunya dengan sebelah tangan. Setelah mendapatakn porsi ganda untuk sarapan, ia merasa sedikit mengantuk. Padahal matahari masih terik. Matanya yang sayu menatap punggung Faryn yang sedang menyiram tanaman dalam pot di teras rumah.Angin sepoi-sepoi menambah rasa kantuk Hakam. Berulang kali ia menguap. Rasanya dulu ia tidak pernah merasa semalas sekarang. Jika terus mengalami rasa malas begini, bisa-bisa perutnya membucit.dia tidak mau sampai itu terjadi. Dia pun akhirnya bangkit untuk melawan rasa kantuk dan malasnya. Tangannya mengambil gunting tanaman dan mulai memangkas daun-daun yang sudah menguning."Belum. Kenapa memangnya?""Makan di luar saja hari ini. Karena ... ehem ... aku baru saja mendapatkan gaji pertamaku," katanya dengan nada menekan pada kata gaji.Secara tersirat dia ingin mengingatkan sang istri akan perjanjian mereka. Hakam bisa saja sih menagihnya secara langsung. Hanya saja ia ingin memastik
Bulu kuduk Hakam meremang. Bagi seorang pria yang sudah pernah tidur bersama seorang wanita beberapa kali, godaan seperti yang dilakukan Faryn seharusnya tidak begitu mempengaruhi dirinya.Memang kecupan seringan bulu itu bisa membangkitkan hasratnya, hanya saja tidak sampai membuatnya terpengaruh dan mengikuti arahan 'lawan mainnya'.Kali ini semua berbeda. Semua berubah malam ini. Jika dengan perempuan lain, ia yang akan memimpin. Sekarang, Faryn-lah yang mengatur arahnya 'permainan' mereka."Hm," gumam Hakam pelan. Ia bisa merasakan kecupan hangat dari bibir tipis Faryn yang begitu membakar gairahnya.Ditambah lagi dengan gerakan mengelus pada perut ratanya. Hasratnya kian tidak tertahan. Perlahan ia membalik punggungnya. Kedua maniknya langsung bersitatap dengan bola mata yang melengkung tersenyum."Aku tahu kamu bisa saja memaksa. Tapi aku nggak tahu kenapa kamu mengalah," ucap Faryn lirih.Dalam benak Faryn, Hakam adalah seorang pria pemaksa. Dia menganggapnya wajar. Karena seti