"Bulan depan, gue nikah sama Anya."Suara Antasena kontan membuat membuat keempat sahabatnya menoleh. Sore itu, mereka tengah berkumpul di kediaman Mahesa. Hari ini adalah acara aqiqahannya Kanaka dan Kanaya, dan mereka baru sempat datang sore itu."ANJAY! Gercep amat lo, Babi!""Lo udah yakin, Sen?""Emang bangsat, gue yang udah pengen kawin, dia duluan dong, yang nikah!" sambar Yudhistira tak terima.Antasena mengangguk dengan tenang. Tatapannya kini tertuju pada secangkir kopi yang ada di tangannya, lalu mengembuskan napasnya dengan perlahan."Gue nggak tahu ke mana arah hubungan gue dengan Anya setelah ini. Tapi yang jelas… setidaknya gue bisa memanfaatkan Anya untuk bisa menjauh dari Priya.""Gue setuju kalau lo mau menjauhkan diri dari si Nenek Lampir. Tapi kalau soal lo yang mau memanfaatkan Anya, gue nggak setuju, Nyet. Terlepas dari uang, Anya terlalu baik nggak, sih kalau cuma dimanfaatkan gitu saja? Mending lo sewa jalang sekalian.""Udah telanjur basah, B. Gue sama sekali
"Cantik banget, Mbak. Mau ke mana?" tanya Pramitha yang saat ini tengah duduk di ruang tamu, sibuk mengerjakan tugas sekolahnya."Mau pergi nonton sama Mas Sena, Ta. Ayah di mana?""Ada di teras belakang tadi. Barusan aku bikinin teh, terus aku balik ke sini.""Ya udah, aku nemuin Ayah dulu, ya."Perempuan itu melangkah menuju teras belakang rumah untuk menemui Donny. Sang ayah yang tengah duduk termenung di atas kursi roda itu, tiba-tiba saja membuat langkah Pradnya terhenti.Ada perasaan khawatir yang mendadak menghantam dadanya. Perasaan takut sekaligus penasaran dengan apa yang saat ini tengah dipikirkan Donny di sana."Yah…"Suara teguran Pradnya kontan membuat pria paruh baya itu menoleh. Meskipun usianya masih terbilang belum memasuki usia senja, tapi kondisi kesehatannya yang kurang baik membuat pria itu terlihat lemah."Nya…""Ayah lagi mikirin apa?" tanya perempuan itu tiba-tiba.Perempuan itu melangkah mendekati Donny, lalu duduk di salah kursi di sebelah ayahnya."Nggak ad
"SAH!""Alhamdulillah."Semua orang merasakan haru begitu kalimat sakral itu diucapkan Antasena di hadapan penghulu dan beberapa saksi.Ada Kakek Sandiaga, Ayah, Papa, Mama, Pramitha, dan anggota keluarga lainnya. Tak lupa juga sahabat-sahabat mereka. Tepat hari ini Antasena dan Pradnya resmi menjadi suami istri.Dengan balutan kebaya putih yang menjuntai ke bawah sampai menyentuh lantai, dan riasan sederhana di wajahnya, Pradnya terlihat begitu cantik dan memesona."Titip Anya, ya Nak Sena. Ayah nggak tahu harus mengatakan apa untuk kalian berdua. Tapi doa terbaik untuk kehidupan kalian di masa mendatang. Bahagia selama-lamanya ya, Nya. Baktimu sekarang ada pada suami. Jangan jadi istri yang pembangkang, dan mesti nurut sama apa kata suami.""Iya, Yah." Pradnya mengusap sudut matanya yang hampir saja kembali menangis. Meskipun hanya sandiwara, nyatanya perempuan itu tidak mampu menutupi perasaan harunya."Anya…""Tan—em, maksudnya, Mama…"Shinta berhambur memeluk Pradnya. "Selamat d
PRADNYA menggeliat di atas tempat tidurnya. Alarm ponselnya yang menyala-nyala membuat perempuan itu lantas mengerjapkan mata.Pradnya lantas membalikkan badan, meraih ponselnya yang berada di atas nakas, kemudian mematikannya. Dia kemudian menoleh ke samping. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Antasena di sana.Seharusnya Pradnya menuruti ucapan pria itu. Tidak menghabiskan waktu semalaman hanya untuk mengharapkan tiba-tiba Antasena kembali ke kamar mereka.Bukankah Antasena sudah memintanya untuk tidak menunggu? Yang bodohnya perempuan itu tetap menunggunya.Menghela napas panjang, Pradnya mengubah posisinya menjadi duduk. Dia melirik ke arah ponselnya, bahkan tidak ada pesan apapun dari pria itu."Astaga, Nya. Kamu berharap apa, sih?" Bukankah perempuan itu tidak seharusnya bersikap seolah-olah semua ini nyata? Seharusnya Pradnya tahu jika semua ini sandiwara. Anehnya, dia merasa tak senang saat mendengar pria itu pergi bersama kekasihnya."Wajar, kan kalau Mas Sena ketemu sama Mbak
TIDAK ada percakapan apapun sepanjang mobil yang dikendarai mereka melaju membelah jalanan ibu kota.Pradnya memilih untuk melemparkan tatapannya ke samping jendela, membiarkan Antasena fokus dengan kemudinya.Perempuan itu tidak tahu ke mana Antasena akan membawanya. Setahunya pria itu akan mengajaknya menuju tempat tinggal yang akan dihuni oleh mereka selama keduanya menyandang status sebagai suami istri.Setelah berbelok, tatapan Pradnya mengedar ke sekitar. Sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas, ada pepohonan yang menjulang tinggi, membuat suasana rumah itu terlihat nyaman dan menenangkan."Yuk, turun!" ajak Antasena saat itu.Pradnya hanya mengangguk, lalu berjalan beriringan dengan pria itu. Begitu masuk ke dalam rumah, seorang pria dan perempuan paruh baya berjalan mendekat, lalu menyambutnya dengan hangat."Selamat sore, Mas Sena. Selamat sore, Neng Anya. Selamat datang di rumah.""Nya, kenalkan mereka. Ini Bi Ummi, dan ini Pak Amin. Mereka yang bakalan nemenin kita ting
TIDAK ada yang berani bersuara setelah mendengar pertengkaran Antasena tadi. Pun begitu ketika mereka berada di dalam satu meja untuk menikmati makan malam.Pradnya bahkan kehilangan nyalinya untuk sekadar bersuara. Meskipun dia tahu bagaimana kacaunya Antasena saat ini, perempuan itu tidak ingin mencampuri urusannya. Kecuali jika pria itu yang meminta."Nya…"Pradnya lantas mengangkat wajah. "Ya Mas?""Maaf."Pradnya mulai bosan mendengar ucapan 'maaf' dari bibir Antasena. Tapi dia juga sama sekali tidak berhak melarangnya. Perempuan itu tahu jika kini pria itu benar-benar kacau sekarang."Mas mau saya buatkan sesuatu… teh mungkin?"Antasena menatap datar Pradnya, sebelum akhirnya dia mengangguk. "Boleh.""Sebentar, ya."Pradnya bangkit berdiri sembari membereskan sisa piring di meja makan, lalu melangkah menuju ke dapur untuk membuat teh di sana.Saat perempuan itu sibuk di dapur, Bi Ummi datang menghampirinya."Neng, biar Bibi saja yang beresin. Neng Anya mau bikin apa?""Saya mau
"Nya…""ANYA!" Baru panggilan keduanya, Pradnya mengerjapkan matanya lalu menoleh ke arah Lyra yang rupanya sejak tadi sudah berdiri di sampingnya."Eh, apaan? Kamu ngomong apa tadi, Ra?"Lyra mengembuskan napas dengan kesal. Perempuan itu berdiri bersedekap di dekat mesin kopi, heran dengan tingkah sahabatnya itu."Kamu ngapain dari tadi ngelamun? Bukannya happy sekarang udah punya suami?""Happy apanya? Yang ada galau, Ra.""Galau kenapa?" tanya Lyra penasaran.Pradnya menghela napas panjang. Semenjak adegan ciuman semalam, dan ketika mereka bertemu pagi tadi saat sarapan. Melihat sikap Antasena terlihat biasa-biasa saja, sejenak membuat hati perempuan itu jadi gamang. Berbeda dengan Pradnya yang merasa tak karuan, oleh sebab yang tidak jelas."Ra, memungkinkan nggak, sih kalau aku—" Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam, ragu untuk mengatakannya."Aku apa?""Aku jatuh cinta sama Mas Sena?"Lyra tertegun selama beberapa saat. Tatapan perempuan itu sejenak membuat Pradnya sedikit m
[Mas Sena: Nya?][Mas Sena: Udah mau jalan?][Mas Sena: Mau makan siang apa? Biar sekalian saya pesankan.]Pradnya yang tadinya sibuk berganti pakaian, lantas menoleh begitu menyadari ponselnya sejak tadi menyala-nyala. Perempuan itu duduk di tepi ranjang, membuka ponselnya. Yang rupanya ada pesan dari Antasena.Keningnya mengerut saat melihat pesan yang dikirimkan Antasena."Apaan sih ini?" Pradnya mulai mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan Antasena, bersamaan dengan pesan dari pria itu muncul di bawahnya.[Mas Sena: Nya?][Astaga, Mas! Kamu gabut banget, ya sampai-sampai ngirim pesan beginian?][Mas Sena: Pesan saya nggak kamu balas. Kali aja kamu balik tidur lagi.]Pradnya mendengus pelan. Perempuan itu memang pernah menceritakan kegiatannya sehari-hari kepada Antasena. Termasuk jika dia mendapatkan jatah shift siang, jam-jam seperti ini biasanya digunakan Pradnya untuk tidur.[Mana mungkin saya tidur. Mas udah sejak pagi ngingetin saya buat ke kantor. Saya nggak mungkin lupa