"Nya…""ANYA!" Baru panggilan keduanya, Pradnya mengerjapkan matanya lalu menoleh ke arah Lyra yang rupanya sejak tadi sudah berdiri di sampingnya."Eh, apaan? Kamu ngomong apa tadi, Ra?"Lyra mengembuskan napas dengan kesal. Perempuan itu berdiri bersedekap di dekat mesin kopi, heran dengan tingkah sahabatnya itu."Kamu ngapain dari tadi ngelamun? Bukannya happy sekarang udah punya suami?""Happy apanya? Yang ada galau, Ra.""Galau kenapa?" tanya Lyra penasaran.Pradnya menghela napas panjang. Semenjak adegan ciuman semalam, dan ketika mereka bertemu pagi tadi saat sarapan. Melihat sikap Antasena terlihat biasa-biasa saja, sejenak membuat hati perempuan itu jadi gamang. Berbeda dengan Pradnya yang merasa tak karuan, oleh sebab yang tidak jelas."Ra, memungkinkan nggak, sih kalau aku—" Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam, ragu untuk mengatakannya."Aku apa?""Aku jatuh cinta sama Mas Sena?"Lyra tertegun selama beberapa saat. Tatapan perempuan itu sejenak membuat Pradnya sedikit m
[Mas Sena: Nya?][Mas Sena: Udah mau jalan?][Mas Sena: Mau makan siang apa? Biar sekalian saya pesankan.]Pradnya yang tadinya sibuk berganti pakaian, lantas menoleh begitu menyadari ponselnya sejak tadi menyala-nyala. Perempuan itu duduk di tepi ranjang, membuka ponselnya. Yang rupanya ada pesan dari Antasena.Keningnya mengerut saat melihat pesan yang dikirimkan Antasena."Apaan sih ini?" Pradnya mulai mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan Antasena, bersamaan dengan pesan dari pria itu muncul di bawahnya.[Mas Sena: Nya?][Astaga, Mas! Kamu gabut banget, ya sampai-sampai ngirim pesan beginian?][Mas Sena: Pesan saya nggak kamu balas. Kali aja kamu balik tidur lagi.]Pradnya mendengus pelan. Perempuan itu memang pernah menceritakan kegiatannya sehari-hari kepada Antasena. Termasuk jika dia mendapatkan jatah shift siang, jam-jam seperti ini biasanya digunakan Pradnya untuk tidur.[Mana mungkin saya tidur. Mas udah sejak pagi ngingetin saya buat ke kantor. Saya nggak mungkin lupa
SETELAH berdebat panjang lebar dengan Pradnya terkait isi perjanjian pernikahan kontrak mereka tadi, akhirnya rencana makan siang mereka gagal total.Pradnya harus terburu-buru berangkat bekerja karena sudah memasuki jamnya. Sementara Antasena dikejar deadline laporan sialan akhir bulannya.Antasena menghela napas panjang. Sampai akhirnya pria itu hanya duduk termenung di depan layar monitornya, sambil sesekali melirik ponselnya yang tak kunjung menyala. Baru beberapa menit yang lalu, Antasena mengirimkan pesan kesekiannya kepada Pradnya. Terdengar konyol memang, tapi anehnya pria itu ingin sekali bertemu dengan perempuan itu. Padahal jelas-jelas baru beberapa jam yang lalu Pradnya duduk di hadapannya.[Nya… lagi apa?]Jika seandainya keempat sahabatnya itu melihat tingkah kekanak-kanakannya kali ini, mereka pasti sudah tertawa terpingkal-pingkal karenanya.[Nya, saya pengen americano buatan kamu. Bisa nggak, sih kamu anterin ke sini?]Dan pesan itu lagi-lagi diabaikan.Menghela napa
"Nya?""Ya, Ra?""Kamu… masih kadang-kadang berhubungan sama Mbak Priya?" tanya Lyra penasaran.Pradnya mengernyit. Sebelum kembali menoleh ke depan. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?""Aku penasaran aja. Kali aja, kan?""Kali aja kenapa?"Lyra mengedikkan bahu. "Secara kalian kan partner kerja, Nya. Dari mana dulu kamu bisa kenal sama Mbak Priya, sih? Dia artis, kan Nya? Dan nggak mungkin semudah itu berhubungan sama rakyat jelata macam kita gini.""Em, dari Mbak Laura. Kebetulan dulu aku sering banget nganterin pesanan kopi buat mereka, kan? Nah, semakin ke sini aku kenal akrab sama Mbak Laura. Termasuk dikenalin sama Mbak Priya saat itu.""Terus mereka tahu soal kondisi ayah kamu. Kamu cerita soal kondisinya atau gimana?""Beberapa tahun yang lalu, aku nggak sengaja ketemu sama Mbak Laura di rumah sakit, Ra. Waktu itu aku lagi nganter ayah periksa. Nah, terus katanya waktu itu Mbak Priya juga dirawat di sana. Cuma akunya nggak mau tanya lebih banyak, sih. Sampai akhirnya aku cerita s
"More faster, Sen," desis Priya saat berada di bawah sana. Antasena semakin mempercepat gerakannya, mendesakkan tubuhnya semakin dalam. Membuat Priya menjeritkan namanya berulang-ulang. "I love you, Ya. I love you." Lalu dalam sekali sentakan, Antasena sudah meledak di dalam sana. Masih dengan napasnya yang terengah-engah, Antasena menarik diri. Dia turun dari tempat tidurnya untuk melepaskan pengaman yang sempat dikenakannya tadi, lalu membuangnya ke tempat sampah. Tak berselang lama pria itu sudah kembali. Naik ke atas ranjang, lalu menarik Priya ke dalam pelukannya. Untuk selama beberapa saat, ada keheningan yang mengambil alih. Bukankah seharusnya Antasena merasa lega? Namun saat pikirannya sibuk memikirkan banyak hal, pria itu justru terlihat kalut. “Kamu harus segera menikah, Sen. Kamu tahu beban yang Kakek Sandiaga limpahkan ke Papa kamu, bukan tanggung jawab yang bisa digampangkan.” “Ma…” “Kamu tahu kalau Kakekmu nggak pernah main-main, kan? Kakek hanya ingin ada orang
ANTASENA mengayunkan langkahnya melewati ruang tamu kediaman orang tuanya. Tidak ada tanda-tanda orang yang ada di sana, lalu pria itu melangkah ke dalam dan melihat ibunya tengah termenung di taman belakang."Ma…"Shinta yang tadinya sibuk tenggelam dalam lamunannya, lantas menoleh. Perempuan itu menerbitkan senyumannya, lalu bangkit saat melihat Antasena. Tangannya meletakkan secangkir teh yang tadinya ada di atas pangkuannya, kemudian mendekati putra sulungnya."Mama lagi ngapain sendirian di sini?"Shinta tak langsung menjawab. Perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain kepada Antasena. "Kamu baru pulang dari kantor?""Iya, Ma.""Udah makan belum? Mau temenin Mama makan malam, Sayang?"Antasena tidak menjawab. Shinta lantas menggandeng putra sulungnya itu, mengajak pria itu menuju ruang makan. Ada beberapa hidangan yang sudah tersaji di atas meja."Satya sama Papa ke mana, Ma?""Mereka pergi ke acara gala dinner kolega bisnisnya Papa," jawab Shinta sembari mengangsurkan piri
"Nya?""ANYA!"Suara teguran Lyra sontak membuat Pradnya yang sejak tadi sibuk melamun, lantas mengerjap.Perempuan itu lantas menoleh, lalu terkejut saat mendapati seorang pelanggan sudah berdiri di hadapannya."Eh, maaf, Mas. Mau pesan apa?" tanya Pradnya diiringi dengan senyuman."Saya mau pesan hot americano satu.""Ada tambahan lagi, Mas? Kali aja mau ditambah croissant-nya? Ada rasa keju atau rasa coklat. Mumpung lagi promo?""Nggak, Mbak. Itu saja.""Oke. Jadi totalnya lima puluh ribu."Pria itu lantas menjulurkan selembar seratus ribuan ke arah Pradnya. "Mohon ditunggu, ya Mas. Pesanannya nanti saya antar.""Thank you, Anya," ujarnya sembari mengedipkan satu matanya ke arah Pradnya, yang dibalasnya dengan senyuman.Pradnya bergerak mendekati mesin kopi, lalu mulai membuatkan pesanan dari pelanggannya itu."Lagi mikirin apa, sih Nya?""Tau, nih Ra." Pradnya menekan tombol pada mesin kopinya sambil bersungut-sungut. "Bentar, aku anterin pesanan ini dulu, ya."Lyra mengangguk, me
"Lo kencan sama cewek siapa lagi, Sen? Udah putus sama Priya?"Suara Yudhistira sontak membuat Antasena yang hampir saja menjangkau mobilnya, lantas menghentikan langkahnya, lalu menoleh."Rumit, D. Nyokap gue udah ngejar-ngejar gue buat nikah, sementara Priya nggak mau diajak nikah.""Alasannya?"Antasena mengedikkan bahu. "Kayak nggak tahu dia gimana aja, sih D? Gue bertahun-tahun backstreet sama dia, udah hafal gimana kelakuannya. Apalagi dia supermodel yang baru naik daun sekarang, dia nggak mau pernikahan ini menghancurkan karirnya.""Terus cewek yang mau lo temuin ini? Bukan Priya?" tanya Yudhistira memastikan.Antasena menggeleng. "Cewek yang diminta Priya untuk menggantikan posisinya di sisi gue, selagi dia fokus sama karirnya.""Fuck! Priya sejak dulu emang gila, ya? Tapi lo lebih gila karena jatuh cinta sama cewek ajaib macam dia.""Udah males gue, D. Sayangnya aja gue cinta sama dia. Gue jalan dulu." Antasena menoleh ke arah Julia. "Jul, duluan.""Hati-hati, Pak."Antasena