Share

3. Kekacauan Pradnya

"Nya?"

"ANYA!"

Suara teguran Lyra sontak membuat Pradnya yang sejak tadi sibuk melamun, lantas mengerjap.

Perempuan itu lantas menoleh, lalu terkejut saat mendapati seorang pelanggan sudah berdiri di hadapannya.

"Eh, maaf, Mas. Mau pesan apa?" tanya Pradnya diiringi dengan senyuman.

"Saya mau pesan hot americano satu."

"Ada tambahan lagi, Mas? Kali aja mau ditambah croissant-nya? Ada rasa keju atau rasa coklat. Mumpung lagi promo?"

"Nggak, Mbak. Itu saja."

"Oke. Jadi totalnya lima puluh ribu."

Pria itu lantas menjulurkan selembar seratus ribuan ke arah Pradnya. "Mohon ditunggu, ya Mas. Pesanannya nanti saya antar."

"Thank you, Anya," ujarnya sembari mengedipkan satu matanya ke arah Pradnya, yang dibalasnya dengan senyuman.

Pradnya bergerak mendekati mesin kopi, lalu mulai membuatkan pesanan dari pelanggannya itu.

"Lagi mikirin apa, sih Nya?"

"Tau, nih Ra." Pradnya menekan tombol pada mesin kopinya sambil bersungut-sungut. "Bentar, aku anterin pesanan ini dulu, ya."

Lyra mengangguk, membiarkan Pradnya mengantarkan pesanan pelanggannya ke meja. Entah nasibnya yang lagi sial, atau pikiran Pradnya yang saat ini tengah kacau. Perempuan itu tak sengaja menyandung kaki kursi, hingga kopi yang dibawanya menumpahi tangan orang lain.

"Aww!"

Pradnya sontak membelalak. "Astaga, Mas! Maaf, saya nggak sengaja."

Mengabaikan rasa panas yang menjalar di tangannya, perempuan itu lantas meraih tissue yang ada di hadapannya, lalu mengelap tangan pria itu dengan cepat.

"Nggak apa-apa, kok Mbak. Saya—"

Namun belum pria itu menyelesaikan ucapannya. Pradnya sudah kembali bersuara. "Aduh, Mas. Maaf banget, ya? Sumpah, saya nggak sengaja. Mas ikut saya sebentar, ya?"

"Ke mana, Mbak?"

Belum Pradnya menjawab ucapannya, perempuan itu sudah menarik pria itu untuk mendekati wastafel. Di bawah pancuran air kran, Pradnya membasuh tangan pria itu di sana.

"Kata ayah saya, kalau kulit kita ketumpahan air panas, harus dibasuh pakai air yang mengalir biar nggak melepuh. Maaf banget, Mas. Saya benar-benar nggak sengaja. Entah saya lagi mikirin apa, sih. Bisa kacau gini. Ceroboh banget saya!"

Tak mendapatkan jawaban apapun dari pria itu, Pradnya lantas mengangkat wajahnya dan menatap pria itu.

"Eh, Mas udah beristri, ya? Atau nggak nyaman saya pegang tangannya? Maaf, Mas." Pradnya menarik tangannya, membiarkan tangan pria itu tetap berada di bawah kran air yang mengalir.

"Saya nggak apa-apa, Nona Cappuccino?"

"Eh, kok tahu julukan saya?"

Pria itu terkekeh, lalu mengedikkan name tag yang ada di dadanya. "Oh julukan? Ada di sana."

"Astaga, kenapa saya oon banget, sih? Aduh!" Pradnya mengerucutkan bibirnya. "Mas namanya siapa? Kapan ke sini lagi?"

"Kenapa memangnya?"

"Saya mau kasih voucher ngopi gratis buat Mas sebagai gantinya atas kecerobohan saya. Saya benar-benar minta maaf, Mas. Beneran saya nggak sengaja. Saya lalai banget hari ini padahal biasa juga nggak."

Pria itu lantas terkekeh. "Tergantung berapa banyak voucher yang diberikan ke saya."

"ASTAGA! Mas mau memeras saya!"

Pria itu kembali tergelak. "Saya Satya," ujarnya sembari menjulurkan tangannya ke arah Pradnya. "Sekarang saya boleh duduk, dan menikmati kopi pesanan saya tadi?"

Pradnya mengangguk cepat. "Gimme five minutes. Saya buatkan americano yang nggak bakalan bisa Mas Satya lupain selama-lamanya!"

Pradnya lantas berlari meninggalkan Satya untuk menuju konter bar. Di depan mesin kopinya, perempuan itu dengan cekatan membuatkan secangkir americano untuk Satya.

Tak berselang lama, perempuan itu sudah kembali menghampiri Satya yang sudah duduk di bangkunya. Pradnya mengangsurkan secangkir kopi yang aromanya menguar menyerbu indera penciumannya.

"Silakan Mas Satya untuk kopinya dicicipin dulu."

"Beneran enak?" tanya Satya agak sangsi.

"Cicip dulu, dong."

"Jaminannya apa kalau nggak enak?" tanya Satya kemudian.

"Tadi kan udah dikasih voucher gratis, masa Mas Satya mau memeras saya dengan hal lain, sih?"

Dan detik itu juga Satya tergelak. Dengan gerakan pelan, pria itu lantas menyesap americano-nya. Dan benar saja, kopi buatan Pradnya memang rasanya berbeda dari yang lainnya.

"Gimana?" tanya Pradnya penasaran.

"Lumayan."

"Yah, kok cuma lumayan doang, sih?"

"Kamu butuh pengakuan kalau kopi kamu ini enak?" tanya Satya setelah menaruh secangkir kopinya.

"Ya… nggak juga, sih. Cuma kalau americano buatan saya enak, minimal voucher yang saya kasih buat Mas Satya nggak akan sia-sia."

"Tapi voucher ngopi gratisnya nggak dibatalkan, kan?"

"Nggak lah! Mana mungkin saya ingkar janji, kan?"

Satya mengedikkan bahu. "Ya mana saya tahu, Nona Cappuccino. Tapi, americano buatan kamu… juara!" ujar Satya sembari mengacungkan ibu jarinya ke arah Pradnya, yang langsung dibalasnya dengan senyuman oleh perempuan itu.

"Makasih banyak, Mas Satya. Maaf kalau hari ini saya lalai ya, Mas. Tolong saya jangan diviralkan kayak ibu-ibu arisan yang sempat saya usir gara-gara ke sini cuma pesan satu cangkir kopi, tapi fotonya berkali-kali."

"Kamu usir beneran?"

"Ya nggak beneran juga, sih Mas. Cuma saya suruh tambah minum aja. Eh, taunya dia marah-marah sambil saya diviralkan."

"Tapi saya nggak bakalan kamu usir dari sini, kan?"

"Tergantung!" Pradnya dengan cepat, lalu terkekeh. "Nggak, kok. Saya yang salah sejak awal, jadi anggap saja itu kompensasi buat Mas Satya."

"Oke, thanks kalau gitu."

"Terima kasih kembali. Kalau gitu saya balik kerja dulu, ya Mas Satya. Sekali lagi, saya minta maaf."

Setelah mengatakan hal itu, Pradnya kembali ke konter barnya. Di sana sudah ada Lyra yang menunggunya dengan tangan bersedekap, membutuhkan penjelasan dari perempuan itu.

"Apa?" tanya Pradnya tahu jika sahabatnya itu menunggu penjelasan darinya.

"Kamu kenapa, sih Nya? Lagi ada masalah?"

Pradnya menggeleng. "Nggak ada, Nya."

"Nggak ada tapi kamu kacau gini. Ayah kamu sakit?"

Pradnya mengembungkan pipinya, lalu menghela napas panjang. "Aku belum cerita soal yang satu ini sama kamu. Agak rumit memang, tapi aku nggak punya pilihan lain."

Lyra bergerak mendekati Pradnya yang tampak murung sekarang. "Ada masalah apa emangnya, Nya?"

Pradnya menghela napas pendek, lalu melirik ke arah jam yang melingkar di tangannya. Satu jam lagi jam kerjanya akan berakhir, yang itu artinya setelah itu Pradnya akan bertemu dengan pria yang akan menjadi suami pura-puranya.

"Aku mau nikah, Ra."

Lyra terhenyak selama beberapa saat. "HAH? NIKAH? Gimana maksudnya?"

"Nggak usah lebay, deh Ra."

"Nggak lebay. Ini kamu serius ngomongnya?"

"Ya terus menurut kamu, aku bercanda?" Pradnya menghela napas. "Cuma nikahnya pura-pura, Ra."

"Nikah pura-pura?" Lyra semakin membelalak.

Pradnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajar jika Lyra terkejut dengan apa yang baru saja dilontarkan sahabatnya itu.

Pradnya memang tidak pernah merahasiakan apapun kepada Lyra. Karena selama ini hanya sahabatnya itu lah yang selalu ada untuknya.

"Coba cubit lengan aku, deh Nya."

Pradnya menuruti permintaan Lyra, lalu tak berselang lama suara teriakan perempuan itu terdengar.

"Aw! Sakit Anya!"

"Salah siapa nyuruh nyubit tadi?"

Lyra mengusap lengannya dengan pelan sembari mendengus pelan. "Kamu kayaknya udah mulai nggak waras, deh Nya."

Pradnya menghela napas. "Kayaknya iya deh, Ra."

"Tapi kamu serius soal ini? Cuma bercanda, kan?"

Pradnya menggeleng. "Aku nggak punya pilihan lain, Ra. Aku membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ayahku dan biaya sekolah Pramitha. Dan kamu tahu sendiri, biaya pengobatan ayahku nggak sedikit. Ditambah lagi, semenjak ayah sakit-sakitan, utang-utangnya jadi ketunda buat dibayar. Mana nggak jarang disamperin debt collector pula. Aku bingung, Ra."

"Lalu apa hubungannya sama nikah pura-pura, Anya?"

"Ada seseorang yang berbaik hati untuk membantuku membiayai pengobatan ayah. Dan syaratnya adalah aku harus jadi istri pura-puranya."

"Kamu yakin mau melakukan semua ini?"

Pradnya mengangguk kecil. "Iya."

Lyra berjalan mendekati Pradnya, lalu memeluk perempuan itu dari samping. "Coba aku anak konglomerat, Nya. Sekarang juga, aku pasti akan membantu kamu.”

Pradnya tersenyum. "It's okay, Ra. Aku udah menemukan solusi, kok. Jadi kamu nggak perlu khawatirin aku."

"Dengan jadi istri pura-pura itu tadi? Kamu yakin, Nya? Yakin, udah dipikirin sampai resikonya nanti?"

Pradnya mengangguk. "Bahkan beberapa utang-utang ayah sudah dilunasi, Ra. Hari ini aku bakalan ketemu sama cowok yang bakalan nikah sama aku."

"Kamu… nggak dijual, kan Nya?" bisik Lyra curiga.

"Nggak lah, Ra. Apa coba yang mau dijual dari aku? Bahkan Mbak Priya melarang keras dengan adanya kontak fisik. Aku cuma disuruh jadi pendamping dia sebagai peran istri pura-pura, bukan istri beneran."

"Berapa lama, Nya?"

"Cuma satu tahun, kok Ra. Habis itu aku terbebas dari kontrak gitu."

"Tolong dipastikan itu bukan penipuan, Nya!" ujar Lyra waspada. "Aku nggak mau kamu kenapa-napa."

"Nggak, kok Ra. Percaya, deh." Pradnya mencoba menenangkan Lyra. "Lagipula apa yang menarik dari aku, hm? Harta aja nggak punya, kan?"

"Jangan salah, Anya. Anak perawan laku keras di pasaran! Apalagi kamu manis gini!"

"Nggak usah berlebihan, Ra." Pradnya lantas melepaskan apron yang menggantung di lehernya. "Aku balik dulu, ya Ra? Aku udah ada janji."

"Iya, Nya. Hati-hati, ya?"

Pradnya mengangguk kecil, lalu meninggalkan konter bar untuk menuju lokernya dan mulai bersiap-siap.

Setelah membersihkan diri, Pradnya keluar dari lokernya. Perempuan itu menyempatkan diri untuk mandi, dan juga merias wajahnya meskipun hanya dengan polesan sederhana.

Dengan balutan dress setinggi lututnya, Pradnya sudah duduk di salah satu bangku, tempat di mana dia sudah janjian dengan pria yang akan ditemuinya kali ini.

Jantung Pradnya mendadak berdebar kencang. Perempuan itu belum pernah memiliki pengalaman apapun soal berhubungan dengan lawan jenis. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya, dan Pradnya benar-benar gugup sekarang.

"Selamat malam, Mbak. Apakah sudah siap untuk pesan?" tanya salah seorang waiter yang ada di restoran itu.

Pradnya menoleh, lalu tersenyum. "Saya masih menunggu teman, Mbak. Tapi boleh saya pesan mineral water dingin dulu?"

"Baik, Mbak. Saya siapkan, mohon ditunggu."

"Makasih."

Sepeninggalnya waiter dari mejanya, Pradnya kembali melirik ke arah layar yang menampilkan pesannya kepada pria yang ingin ditemuinya malam ini.

[Pradnya Sahira: Selamat malam, Mas. Benar ini nomornya Mas Antasena? Saya Anya.]

[Pradnya Sahira: Em, maksud saya, Pradnya Sahira. Saya sudah ada di restoran tempat di mana kita janjian, Mas. Saya pakai dress merah maroon setinggi lutut, rambut saya sebahu, dan saya duduk di meja paling ujung dekat jendela.]

[Pradnya Sahira: Saya sudah menunggu dua jam lebih. Lima menit lagi saya pergi dan saya anggap Mas Antasena nggak datang ke mari. Maaf sudah mengganggu.]

Sudah dua jam berlalu dan pesan itu benar-benar diabaikan pria itu. Perempuan itu juga sudah menghubungi Priya, tapi tidak ada jawaban di sana.

Sampai akhirnya Pradnya lelah menunggu. Perempuan itu lantas bangkit dari duduknya, berniat untuk meninggalkan restoran itu. Bersamaan dengan suara seseorang yang memanggil namanya, membuat langkah Pradnya terhenti.

"Pradnya?" Pradnya membalikkan badan. Dengan mulut setengah terbuka, tiba-tiba saja jantung perempuan itu berdebar kencang. "Pradnya Sahira, kan?"

Pradnya lantas mengerjap. Sosok pria dengan wajah lelah namun tidak mengurangi ketampanannya, berdiri tak jauh darinya.

"Iy-ya. Mas Antasena?"

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status