"Nona Cappuccino?"
Pradnya membelalakkan matanya, lalu menoleh ke arah Antasena yang kini menatapnya. "Kamu… di sini?" tanyanya saat tak kunjung mendapatkan jawaban dari perempuan itu. "Hai, Mas Satya. Apa kabar?" tanya Pradnya dengan gugup. "Anya kenal sama Satya juga?" Pradnya menoleh ke arah Shinta, lalu mengangguk. "Iy-ya, Tante. Saya sempat ketemu sama Mas Satya sebelumnya." "Mama mau ke dalam nemuin Kakek sama Papa? Sekalian aku mau ngenalin Anya sama mereka," sahut Antasena dengan cepat. "Jadi… Nona Cappuccino ini cewek baru lo, Bang?" "Hm-mm. Lebih tepatnya calon istri gue," ujar Antasena meralat ucapan adiknya. "Wah, apa selama ini gue nggak ada di bumi, ya? Dari supermodel terkenal, kini selera lo menurun drastis. Bukan karena Nona Cappuccino ini nggak pantas buat lo, sih. Lebih tepatnya dia terlalu lugu untuk masuk dalam daftar cewek selera lo." "Lo nggak kenal dekat gue sayangnya, Sat. Jadi kalau lo nggak tahu apa-apa soal gue, mending lo nggak usah bicara." "Hebat sekali, Bang. Lo—" "Satya…" Desisan Shinta sontak membuat Satya menghentikan ucapannya. Perempuan paruh baya itu lantas menoleh ke arah Antasena dan Pradnya, lalu kembali bersuara. "Papa sama Kakek di sana, kita temui mereka dulu, ya?" Shinta dan Satya berjalan lebih dulu, sementara di belakang mereka ada Antasena yang menggandeng tangan Pradnya. Tangan perempuan itu terlihat berkeringat, Antasena tahu jika Pradnya tengah gugup sekarang. "Mas… aku takut," aku perempuan itu dengan jujur, dan hal itu membuat Antasena selalu takjub. "Mereka nggak makan manusia yang nggak ada dagingnya, Anya." Pradnya membelalak. "Jadi kalau ada dagingnya mereka bakalan makan manusia?" Pria itu menarik ujung bibirnya ke atas. "Stay calm. Saya cuma butuh kamu untuk jadi diri sendiri, dan terlihat mencintai saya," bisik Antasena lirih. "Lalu biar sisanya, itu menjadi urusan saya." Pradnya tertegun selama beberapa saat. Namun terlambat baginya untuk menanggapi ucapan pria itu. Mereka sudah tiba di salah satu sudut taman. Di mana ada beberapa orang yang tengah bercengkrama di sana. Mendadak rasa gugup kembali menyerbunya. Bisa dirasakan genggaman tangan Pradnya menguat di sana, Antasena menggantinya dengan melingkarkan tangannya di bahu perempuan itu untuk sekadar menenangkannya. "Kek…" Tidak hanya Kakek Sandiaga yang menoleh. Tapi Rama—ayahnya, dan Manda—adik perempuan Rama, yang tengah berdiri bersama suaminya di sana. Ada juga beberapa kolega bisnis Kakek Sandiaga yang ikut menoleh ke arah mereka. "Akhirnya… setelah sekian lama kamu menghindari Kakek. Masih ingat jalan ke sini juga kamu, Sen?" ujar Kakek Sandiaga sengaja menyindir. Antasena tersenyum kecil, lalu mencium punggung tangan sosok pria yang usianya sudah senja itu. "Aku nggak sendiri ke sini, Kek. Aku juga ingin mengenalkan Anya ke Kakek, Papa, Om, dan Tante." "Anya?" Satu alis Kakek Sandiaga terangkat ke atas. "Pacar kamu?" "Calon istriku," ralat Antasena dengan cepat. Kini semua mata tertuju ke arah Pradnya. Meskipun tidak ada yang menanggapi ucapan pria itu, perempuan itu membungkukkan badan sedikit untuk menghormati orang yang lebih tua, lalu menghampiri Kakek Sandiaga. "Saya Anya, Kek. Senang bisa bertemu sama Kakek," ujar perempuan itu dengan sopan. "Saya kakeknya Sena. Setelah sekian lama… akhirnya dia berani juga membawa calon istrinya ke sini." Antasena menerbitkan senyuman. Mengabaikan rasa penasaran Rama dan anggota keluarga lainnya. "Come on, Kek. Jangan berlebihan. Aku sibuk sama kerjaan, jadi memang belum sempat ngajak Anya untuk dikenalkan kakek dan keluarga besar." "Sepertinya ada banyak yang harus dibahas soal kamu, Sen. Tapi sebelum menginjak ke sana, lebih baik kita menikmati sajian dari koki terbaik kita dulu." Semua orang akhirnya memutuskan untuk mengikuti langkah Kakek Sandiaga. Mereka duduk di kursi masing-masing, bersamaan dengan makanan yang telah disiapkan oleh koki yang dipilih Kakek Sandiaga disajikan di atas meja. "Jadi Anya… kamu beneran pacarnya cucu saya?" tanya Kakek Sandiaga. "Iya, Kek. Meskipun belum lama menjalin hubungan dengan Mas Sena, tapi dia pria yang baik." Kakek Sandiaga tertawa, tentu saja ucapan Pradnya hanyalah bualan belaka. "Kamu udah diancam sama Sena biar ngomong yang baik-baik tentang dia, ya?" Lalu tatapan Kakek Sandiaga itu mengedar ke arah tamunya satu per satu. "Ayo silakan dinikmati sajian malam ini." Saat Kakek Sandiaga memulai acara makan malamnya, diselingi dengan obrolannya bersama Rama, Tomi, dan Manda. Pun Pradnya yang sesekali diajak bicara. "Sen, Mama mau bicara sebentar sama kamu," ujar Shinta sedikit berbisik. Antasena mengangguk kecil, lalu dia bangkit mengekori ibunya yang tengah membawa piring menuju area barbeque. "Ada apa, Ma?" tanya pria itu dengan cepat. "Kenapa kamu nggak bawa Priya? Siapa Anya sebenarnya?" tembak Shinta dengan cepat. Antasena melirik sekilas ke arah meja makan, sebelum kembali menatap ibunya yang tampak tenang berdiri di sampingnya. "Mama kecewa karena aku nggak bawa Priya?" Shinta mendesah pelan. "Mau Priya atau Anya, Mama nggak akan campur, Sen. Yang terpenting adalah dia jelas calon yang baik buat kamu, dan keluarga kita." "Aku mencintai Anya, Ma. Seperti yang sudah aku katakan ke Mama tadi. Kisahku dan Priya sudah berakhir lama," dusta pria itu semakin menambah daftar kebohongannya. "Kamu sudah tahu gimana asal-usul keluarganya?" "Apa Mama juga akan mempermasalahkan itu?" tembak Antasena kepada sang ibu. "Aku pikir bukannya Mama jauh lebih ingin aku segera menikah, tanpa peduli dengan pilihanku." "Bukan begitu, Sena. Mama cuma nggak mau—" "Kalau Mama penasaran, Anya bukan berasal dari keluarga yang berada, Ma. Dia cuma hidup sebatang kara di Jakarta, tapi karena tulus dan kesederhanaannya. Itu yang bikin aku jatuh cinta sama dia." Antasena menghela napas panjang. Lalu tatapannya lurus ke arah Pradnya dan Kakek Sandiaga yang tengah tertawa di sana. "Dan sepertinya, Kakek juga baru saja terpikat oleh pesonanya." Shinta mendengus pelan. Tatapannya ikut tertuju ke arah meja makan. Di mana Kakek Sandiaga, suaminya, dan keluarga lainnya sedang asyik mengobrol dengan Pradnya. "Atau Mama masih ingin mencarikan aku jodoh lainnya?" "Terserah kamu lah, Sen. Tapi kamu jangan senang dulu. Kakek kamu hanya senang sesaat. Kalau Kakekmu sudah tahu dari mana asal-usul Anya, dia pasti memikirkan ulang soal hal ini." Antasena mengangguk-anggukkan kepalanya. "Janji sama aku satu hal, Ma. Kalau aku bisa meyakinkan kakek untuk menikah dengan Anya, maka Mama juga harus merestui hubunganku." Sementara Shinta tidak menjawab. "Bagiku pernikahan bukanlah satu hal untuk main-main, Ma. Dan tentang Anya, aku serius sama dia." Ada rasa sesak yang kini menghantam dada Antasena ketika harus mengatakan hal itu kepada Shinta. Karena tidak hanya satu kebohongan yang telah diciptakannya, dia terpaksa membohongi semua orang. Seolah-olah hatinya sudah terpatri di hati sosok perempuan yang tengah tertawa di sana, kenyataannya dia hanya mencintai Priya. Antasena meninggalkan Shinta yang masih termenung di tempatnya. Pria itu mendekati Kakek Sandiaga yang tengah asyik mengobrol bersama Pradnya, sementara yang lainnya mulai berkeliling untuk menikmati makanan yang telah disiapkan. "Asyik banget ngobrolnya, sih? Kakek, nggak lagi bikin aku cemburu, kan?" Pradnya mengatupkan bibirnya rapat-rapat saat mendengar ucapan Antasena. Pria itu duduk di samping perempuan itu dengan satu tangannya yang melingkar di bahu. "Nggak bapak, nggak anak. Dasar posesif! Kamu nemu Anya di mana, sih Sen?" Antasena menolehkan wajah ke samping. "Kenapa memangnya, Kek?" "Ngobrol sama Anya seru. Padahal belum sejam kita ketemu." "Emang ngobrol soal apa?" tanya Antasena, kali ini pertanyaan itu ditujukan kepada Pradnya. Dengan susah payah, perempuan itu menelan ludahnya. Tatapan intens Antasena tentu saja seketika membuat hati Pradnya berdebar kencang. "Saya cerita sama kakek kalau saya kerja di kedai kopi, Mas. Lalu Kakek Sandiaga niatnya ngetes saya soal pengetahuan tentang kopi. Tahunya kakek dulu adalah petani kopi." "Jadi Kakek udah tahu pekerjaannya Anya?" "Sudah lah. Baru saja dia cerita panjang lebar. Lihat Anya begini, bikin kakek ingat mendiang nenek kamu, Sen. Kakek ingat gimana dulunya kakek kerja keras jadi petani kopi, agar bisa memikat hati nenek kamu." "Nenek mau sama kakek?" "Mana mungkin! Saingannya kelas berat. Mulai dari guru, dokter, sampai pilot. Dulunya kakek nggak sebanding sama mereka. Kakek cuma seorang petani kopi." "Lalu apa yang bikin hati nenek luluh, Kek?" tanya Pradnya. Lalu pria yang hampir semua rambutnya memutih itu, menggerakkan tangannya ke dada, kemudian mengusapnya dengan pelan. "Karena ketulusan kakek mencintainya." Pradnya tersentuh tentu saja. Matanya tiba-tiba saja berkaca-kaca, tidak menyangka jika kisah pria terkaya nomor tiga itu akan menyentuh hatinya. "Kek…" "Ada apa, Sen?" "Anya bukan berasal dari keluarga yang memiliki strata sosial yang sebanding dengan keluarga kita. Anya hanyalah anak yang terlahir dari keluarga yang sederhana, tapi aku mencintainya, Kek." Tangan pria itu menjulur ke depan, lalu menggenggam tangan perempuan itu dengan erat. "Entah kakek setuju atau tidak dengan pilihanku, aku akan tetap menikahinya. Untuk saat ini, bagiku harta dan tahta nggak akan mengubah perasaanku terhadap Anya," tandas Antasena dengan lugas. *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya."Jadi… kamu beneran pacarnya Abang saya, ya?"Suara vokal Satya kontan membuat Pradnya yang tadinya tengah sibuk melahap udang dan cuminya, lantas menoleh.Perempuan itu menarik tissue yang ada di atas meja untuk mengusap mulutnya, lalu mengerjap."Mas Satya…""Kamu terlihat sangat berbeda, Nona.""Panggil saya Anya saja, Mas," ujar Pradnya dengan sungkan."Well, Anya. Saya nggak nyangka kalau dunia akan sesempit ini. Saya nggak tahu kalau kamu bisa kenal sama Bang Sena."Pradnya yang tampak kebingungan menjawabnya, lantas mengangguk. "Saya juga nggak menyangka, Mas.""Sejak kapan kamu kenal Bang Sena, Nya? Setahu saya… dia dulu pacaran sama Priya?""Sekitar enam bulan belakangan ini, Mas. Tapi kalau soal Mas Sena dengan Mbak Priya, saya nggak tahu menahu."Satya mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menyantap sate udang yang baru saja selesai dipanggang di sana. "Padahal baru besok saya rencananya mampir ke kafe kamu, Nya. Saya pengen minum americano buatan kamu lagi," kata pria it
"Ayah, habis selesai cuci darah nanti Anya pengen ngomong?"Tatapan Donny tertoleh ke arah putri sulungnya. "Ada apa, Sayang?""Nanti saja. Sekarang Ayah aku antar ke dalam, ya. Aku tunggu di depan kayak biasanya."Donny tak lagi bertanya. Menuruti perkataan Pradnya, keduanya melangkah menuju ke sebuah ruangan di mana ada seorang perawat yang telah menunggu mereka di sana."Tolong ya, Sus.""Baik, Mbak Anya," balas sang suster yang telah mengenal baik Pradnya.Donny digandeng oleh seorang perawat memasuki sebuah ruangan, sementara Pradnya menunggu di taman seperti biasanya.Hemodialisis biasanya memakan waktu kurang lebih tiga sampai empat jam. Biasanya Pradnya menghabiskan waktunya di taman rumah sakit. Hanya duduk termenung, tanpa ingin melakukan apa-apa di sana. Atau sesekali perempuan itu menghabiskan waktunya dengan berbincang dengan pasien rumah sakit yang kebetulan berada di taman.Pradnya menghela napas panjang. Semenjak dia memutuskan untuk menjadi istri pura-pura Antasena, p
"Halo, Ya? Ada apa?""Kamu jadi ke Jogja malam ini?" tanya Priya dari seberang sana."Iya," jawab Antasena dengan singkat."Sama Anya?""Hm-mm."Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Kenapa harus ngajak Anya? Bukannya dia harus kerja?""Dia calon istriku kalau kamu lupa," ralat Antasena dengan tatapannya fokus ke depan."Calon istri pura-pura lebih tepatnya," ralat Priya dari seberang sana."Kenapa? Kamu menyesal karena telah menyodorkan Anya untuk aku jadikan istri?""Sen… well, okay. Aku tahu kalau kamu masih marah sama aku. Tapi ingat sama janji kamu, kan? Kamu nggak akan pernah jatuh cinta sama dia!"Antasena menghela napas panjang. "Apa menurutmu dengan mengajakmu menikah, itu artinya aku nggak sayang sama kamu?"Sementara Priya tidak menjawab dari seberang sana."Aku lagi di jalan. Nanti aku telepon lagi kalau sampai di sana."Tanpa menunggu jawaban dari Priya di seberang sana, Antasena sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya.Pria itu lantas membelokkan mobilnya menuju k
"Udah sampai, Mas?" tanya Pradnya begitu mobil mereka berhenti di sebuah hotel berbintang lima."Udah. Yuk, turun."Pradnya menganggukkan kepalanya, lalu turun dari mobil mengekori Antasena dan yang lainnya yang sudah masuk melalui lobi. Koper miliknya sudah lebih dulu dibawa pria itu.“Gue mau buka kamar satu lagi, Nyet,” ujar Antasena saat menerima sebuah keycard dari Bayusuta.“Fully booked, Sen. Kalau lo nggak percaya lo tanya ke resepsionis, gih! Salah siapa lo nggak bilang sama Julia? Dia ternyata cuma pesan tiga kamar doang.”Lalu Antasena menoleh ke arah Julia, seolah membutuhkan penjelasan.“Maaf, Pak. Tadinya mau dipesenin lagi, tapi udah fully booked. Bapak sih bilangnya mendadak kayak tahu bulat.”“Ya sudah nggak apa-apa, Jul.”“Kalau lo nggak mau sekamar sama Anya, mending lo tidur di kamar mandi, Anya yang di kasur!” kelakar Bayusuta dengan entengnya.“Berisik lo!” desis Antasena kesal, pria itu lantas berjalan mendekati Pradnya. “Kamarnya sudah fully booked, Nya. Nggak
"Nya, mau ke mana?" tanya Antasena saat melihat perempuan itu sudah rapi.Entah sampai pukul berapa akhirnya mereka memutuskan untuk terlelap. Setelah mengobrol panjang lebar, hingga Pradnya menceritakan masa kecilnya yang takut dengan anjing sampai sekarang. Keduanya memutuskan untuk tidur."Eh, Mas Sena udah bangun?"Antasena lantas mengubah posisinya menjadi duduk. Masih dengan wajahnya yang mengantuk, pria itu mengerjapkan matanya."Mau ke mana?" ujar pria itu mengulangi pertanyaannya."Semalam saya bilang sama Mas Sena mau ketemu sama Bunda Nania, kan? Mas lupa, ya?""Ah iya." Antasena mengurut keningnya, "saya anterin, ya?""Ng… nggak usah, Mas. Saya bisa pergi sendiri, kok.""Saya sudah janji sama ayah kamu buat jagain kamu, Anya. Saya mandi sebentar, ya." Antasena lantas bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju ke kamar mandi dengan tidak mengacuhkan Pradnya yang hendak memprotesnya.Mau tidak mau perempuan itu menunggunya. Lima belas menit setelahnya, Antasena sudah keluar
"Nya, kok di sini? Sudah makan?"Suara vokal Julia kontan membuat Pradnya yang saat ini tengah duduk di depan teras lantas menoleh. Baru saja Yudhistira melamar Julia. Acara setelah lamaran dilanjut dengan makan malam bersama."Eh, Mbak Julia." Pradnya tersenyum kecil. Matanya berbinar-binar begitu melihat Julia melangkah mendekatinya dengan balutan kebaya cantiknya."Sudah makan?"Pradnya mengangguk. "Sudah, Mbak. Mbak Julia kenapa ke sini?""Kamu sendiri ngapain di sini?" ujar Julia balik bertanya.Perempuan itu tersenyum, lalu melemparkan tatapannya ke depan. Samar-samar suara jangkrik terdengar dari kejauhan sana."Ngadem, Mbak. Tinggal di pedesaan gini enak kali, ya? Masih belum banyak polusi kayak di Jakarta. Udah gitu, yang didengerin bukan suara kendaraan, tapi suara jangkrik.""Iya, Nya. Kadang-kadang saya juga kangen suasana begini. Tapi mau gimana lagi, kerjaan di kota nggak bisa ditinggal gitu saja.""Iya, ya?" Pradnya tersenyum kecil. "Gimana rasanya habis dilamar, Mbak?
"Hai, Nona Cappuccino."Suara teguran seseorang kontan membuat Pradnya yang tadinya sibuk membersihkan mesin kopinya, lantas menoleh dengan cepat."Mas Satya?" Pradnya tampak terkejut dengan kehadiran pria itu di sana."Lagi sibuk, ya?"Pradnya menggeleng. "Nggak, kok Mas. Mau pesan kopi, ya?""Kamu dicari Mama.""Hah?" Pradnya tertegun, sebelum kemudian menolehkan wajah ke arah Satya. "Mama? Tante Shinta maksudnya? Ada apa, Mas?"Perempuan itu lantas menghentikan aktivitasnya, lalu berlari keluar dari area bar untuk menghampiri Satya yang tengah berdiri di dekat bar stool."Tante Shinta nyariin saya? Ada apa?" ujar Pradnya mengulangi pertanyaannya."Saya udah coba WhatsApp kamu, dan telepon kamu juga, tapi nomor kamu nggak aktif. Nah, jadi mau nggak mau saya harus ke sini nemuin kamu.""Ah, iya Mas. Hp saya kena jambret pas di Jogja tempo hari, dan belum sempat beli hp baru. Makanya nomor saya nggak aktif.""Kok bisa? Gimana kejadiannya?"Pradnya mengangkat bahu. "Ya begitu lah, Mas.
Tidak ada percakapan apapun sepanjang mobil Antasena melaju meninggalkan butik milik Disha. Setelah menyelesaikan urusannya, mereka memutuskan untuk pulang dan berlanjut menuju ke kediaman keluarga Antasena."Nggak apa-apa, kan kalau persiapan pernikahan kita diatur sama Mama? Sejauh ini cuma Mama yang antusias kalau itu menyangkut soal saya.""Tante Shinta kayaknya sayang sama kalian berdua, ya Mas?""Sama Satya juga?"Pradnya mengangguk."Iya. Anaknya cuma Mas Sena sama Mas Satya, kan?""Hm-mm.""Cuma… sifat kalian kenapa beda gitu, ya Mas?"Antasena mengernyit. "Berbeda gimana?""Kalau Mas Sena cenderung pendiam, dan mukanya serius. Sementara kalau Mas Satya itu lucu. Setiap kali saya ketemu sama dia, saya sering dibikin ketawa, coba. Pokoknya ada aja yang bisa bikin saya ketawa kalau sama Mas Satya. Padahal saya dengar dia ini CEO di ND Entertainment, kan?""Iya.""Nggak kelihatan kalau dia tuh seorang pimpinan. Nah, berkebalikan dengan Mas Sena yang susah senyum. Mukanya serius ba