Tidak ada percakapan apapun sepanjang mobil Antasena melaju meninggalkan butik milik Disha. Setelah menyelesaikan urusannya, mereka memutuskan untuk pulang dan berlanjut menuju ke kediaman keluarga Antasena."Nggak apa-apa, kan kalau persiapan pernikahan kita diatur sama Mama? Sejauh ini cuma Mama yang antusias kalau itu menyangkut soal saya.""Tante Shinta kayaknya sayang sama kalian berdua, ya Mas?""Sama Satya juga?"Pradnya mengangguk."Iya. Anaknya cuma Mas Sena sama Mas Satya, kan?""Hm-mm.""Cuma… sifat kalian kenapa beda gitu, ya Mas?"Antasena mengernyit. "Berbeda gimana?""Kalau Mas Sena cenderung pendiam, dan mukanya serius. Sementara kalau Mas Satya itu lucu. Setiap kali saya ketemu sama dia, saya sering dibikin ketawa, coba. Pokoknya ada aja yang bisa bikin saya ketawa kalau sama Mas Satya. Padahal saya dengar dia ini CEO di ND Entertainment, kan?""Iya.""Nggak kelihatan kalau dia tuh seorang pimpinan. Nah, berkebalikan dengan Mas Sena yang susah senyum. Mukanya serius ba
"Pa, cobain cookies buatan Mama, dong. Tadi sore Mama sama Anya bikin cookies ini, lho. Kalau kata Satya, sih enak. Sena nggak komentar apa-apa. Sekarang giliran Papa cicipin dong."Shinta mengangsurkan sebuah toples ke arah Rama. Mau tidak mau senyum Pradnya mengembang di wajahnya. "Tapi banyakan buatan Anya dibanding buatan Mama, kan?"Shinta mencebikkan bibir. "Astaga, Pa. Sekali saja, Papa muji Mama gitu nggak bisa, ya?" gerutu perempuan paruh baya itu, lalu dia menoleh ke arah Pradnya. "Papanya Sena sama Sena itu sebelas dua belas, Nya. Susah banget sesekali bohong. Dari dulu Sena memang nggak begitu suka manis, Nya. Jadinya dia nggak tahu gimana caranya muji cookies buatan kita.""Siapa bilang nggak suka? Aku suka, kok Ma. Asal cookies buatan Mama sama Anya, mau semanis apapun, bakalan aku makan.""Gombal banget, sih Bang," cibir Satya. "Bukan lo banget tahu, nggak."Antasena mengedikkan bahu. "Setidaknya gue mau usaha biar nggak jadi cowok kaku lagi."Dan sedetik kemudian, ham
"Bulan depan, gue nikah sama Anya."Suara Antasena kontan membuat membuat keempat sahabatnya menoleh. Sore itu, mereka tengah berkumpul di kediaman Mahesa. Hari ini adalah acara aqiqahannya Kanaka dan Kanaya, dan mereka baru sempat datang sore itu."ANJAY! Gercep amat lo, Babi!""Lo udah yakin, Sen?""Emang bangsat, gue yang udah pengen kawin, dia duluan dong, yang nikah!" sambar Yudhistira tak terima.Antasena mengangguk dengan tenang. Tatapannya kini tertuju pada secangkir kopi yang ada di tangannya, lalu mengembuskan napasnya dengan perlahan."Gue nggak tahu ke mana arah hubungan gue dengan Anya setelah ini. Tapi yang jelas… setidaknya gue bisa memanfaatkan Anya untuk bisa menjauh dari Priya.""Gue setuju kalau lo mau menjauhkan diri dari si Nenek Lampir. Tapi kalau soal lo yang mau memanfaatkan Anya, gue nggak setuju, Nyet. Terlepas dari uang, Anya terlalu baik nggak, sih kalau cuma dimanfaatkan gitu saja? Mending lo sewa jalang sekalian.""Udah telanjur basah, B. Gue sama sekali
"Cantik banget, Mbak. Mau ke mana?" tanya Pramitha yang saat ini tengah duduk di ruang tamu, sibuk mengerjakan tugas sekolahnya."Mau pergi nonton sama Mas Sena, Ta. Ayah di mana?""Ada di teras belakang tadi. Barusan aku bikinin teh, terus aku balik ke sini.""Ya udah, aku nemuin Ayah dulu, ya."Perempuan itu melangkah menuju teras belakang rumah untuk menemui Donny. Sang ayah yang tengah duduk termenung di atas kursi roda itu, tiba-tiba saja membuat langkah Pradnya terhenti.Ada perasaan khawatir yang mendadak menghantam dadanya. Perasaan takut sekaligus penasaran dengan apa yang saat ini tengah dipikirkan Donny di sana."Yah…"Suara teguran Pradnya kontan membuat pria paruh baya itu menoleh. Meskipun usianya masih terbilang belum memasuki usia senja, tapi kondisi kesehatannya yang kurang baik membuat pria itu terlihat lemah."Nya…""Ayah lagi mikirin apa?" tanya perempuan itu tiba-tiba.Perempuan itu melangkah mendekati Donny, lalu duduk di salah kursi di sebelah ayahnya."Nggak ad
"SAH!""Alhamdulillah."Semua orang merasakan haru begitu kalimat sakral itu diucapkan Antasena di hadapan penghulu dan beberapa saksi.Ada Kakek Sandiaga, Ayah, Papa, Mama, Pramitha, dan anggota keluarga lainnya. Tak lupa juga sahabat-sahabat mereka. Tepat hari ini Antasena dan Pradnya resmi menjadi suami istri.Dengan balutan kebaya putih yang menjuntai ke bawah sampai menyentuh lantai, dan riasan sederhana di wajahnya, Pradnya terlihat begitu cantik dan memesona."Titip Anya, ya Nak Sena. Ayah nggak tahu harus mengatakan apa untuk kalian berdua. Tapi doa terbaik untuk kehidupan kalian di masa mendatang. Bahagia selama-lamanya ya, Nya. Baktimu sekarang ada pada suami. Jangan jadi istri yang pembangkang, dan mesti nurut sama apa kata suami.""Iya, Yah." Pradnya mengusap sudut matanya yang hampir saja kembali menangis. Meskipun hanya sandiwara, nyatanya perempuan itu tidak mampu menutupi perasaan harunya."Anya…""Tan—em, maksudnya, Mama…"Shinta berhambur memeluk Pradnya. "Selamat d
PRADNYA menggeliat di atas tempat tidurnya. Alarm ponselnya yang menyala-nyala membuat perempuan itu lantas mengerjapkan mata.Pradnya lantas membalikkan badan, meraih ponselnya yang berada di atas nakas, kemudian mematikannya. Dia kemudian menoleh ke samping. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Antasena di sana.Seharusnya Pradnya menuruti ucapan pria itu. Tidak menghabiskan waktu semalaman hanya untuk mengharapkan tiba-tiba Antasena kembali ke kamar mereka.Bukankah Antasena sudah memintanya untuk tidak menunggu? Yang bodohnya perempuan itu tetap menunggunya.Menghela napas panjang, Pradnya mengubah posisinya menjadi duduk. Dia melirik ke arah ponselnya, bahkan tidak ada pesan apapun dari pria itu."Astaga, Nya. Kamu berharap apa, sih?" Bukankah perempuan itu tidak seharusnya bersikap seolah-olah semua ini nyata? Seharusnya Pradnya tahu jika semua ini sandiwara. Anehnya, dia merasa tak senang saat mendengar pria itu pergi bersama kekasihnya."Wajar, kan kalau Mas Sena ketemu sama Mbak
TIDAK ada percakapan apapun sepanjang mobil yang dikendarai mereka melaju membelah jalanan ibu kota.Pradnya memilih untuk melemparkan tatapannya ke samping jendela, membiarkan Antasena fokus dengan kemudinya.Perempuan itu tidak tahu ke mana Antasena akan membawanya. Setahunya pria itu akan mengajaknya menuju tempat tinggal yang akan dihuni oleh mereka selama keduanya menyandang status sebagai suami istri.Setelah berbelok, tatapan Pradnya mengedar ke sekitar. Sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas, ada pepohonan yang menjulang tinggi, membuat suasana rumah itu terlihat nyaman dan menenangkan."Yuk, turun!" ajak Antasena saat itu.Pradnya hanya mengangguk, lalu berjalan beriringan dengan pria itu. Begitu masuk ke dalam rumah, seorang pria dan perempuan paruh baya berjalan mendekat, lalu menyambutnya dengan hangat."Selamat sore, Mas Sena. Selamat sore, Neng Anya. Selamat datang di rumah.""Nya, kenalkan mereka. Ini Bi Ummi, dan ini Pak Amin. Mereka yang bakalan nemenin kita ting
TIDAK ada yang berani bersuara setelah mendengar pertengkaran Antasena tadi. Pun begitu ketika mereka berada di dalam satu meja untuk menikmati makan malam.Pradnya bahkan kehilangan nyalinya untuk sekadar bersuara. Meskipun dia tahu bagaimana kacaunya Antasena saat ini, perempuan itu tidak ingin mencampuri urusannya. Kecuali jika pria itu yang meminta."Nya…"Pradnya lantas mengangkat wajah. "Ya Mas?""Maaf."Pradnya mulai bosan mendengar ucapan 'maaf' dari bibir Antasena. Tapi dia juga sama sekali tidak berhak melarangnya. Perempuan itu tahu jika kini pria itu benar-benar kacau sekarang."Mas mau saya buatkan sesuatu… teh mungkin?"Antasena menatap datar Pradnya, sebelum akhirnya dia mengangguk. "Boleh.""Sebentar, ya."Pradnya bangkit berdiri sembari membereskan sisa piring di meja makan, lalu melangkah menuju ke dapur untuk membuat teh di sana.Saat perempuan itu sibuk di dapur, Bi Ummi datang menghampirinya."Neng, biar Bibi saja yang beresin. Neng Anya mau bikin apa?""Saya mau