"Halo, Ya? Ada apa?""Kamu jadi ke Jogja malam ini?" tanya Priya dari seberang sana."Iya," jawab Antasena dengan singkat."Sama Anya?""Hm-mm."Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Kenapa harus ngajak Anya? Bukannya dia harus kerja?""Dia calon istriku kalau kamu lupa," ralat Antasena dengan tatapannya fokus ke depan."Calon istri pura-pura lebih tepatnya," ralat Priya dari seberang sana."Kenapa? Kamu menyesal karena telah menyodorkan Anya untuk aku jadikan istri?""Sen… well, okay. Aku tahu kalau kamu masih marah sama aku. Tapi ingat sama janji kamu, kan? Kamu nggak akan pernah jatuh cinta sama dia!"Antasena menghela napas panjang. "Apa menurutmu dengan mengajakmu menikah, itu artinya aku nggak sayang sama kamu?"Sementara Priya tidak menjawab dari seberang sana."Aku lagi di jalan. Nanti aku telepon lagi kalau sampai di sana."Tanpa menunggu jawaban dari Priya di seberang sana, Antasena sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya.Pria itu lantas membelokkan mobilnya menuju k
"Udah sampai, Mas?" tanya Pradnya begitu mobil mereka berhenti di sebuah hotel berbintang lima."Udah. Yuk, turun."Pradnya menganggukkan kepalanya, lalu turun dari mobil mengekori Antasena dan yang lainnya yang sudah masuk melalui lobi. Koper miliknya sudah lebih dulu dibawa pria itu.“Gue mau buka kamar satu lagi, Nyet,” ujar Antasena saat menerima sebuah keycard dari Bayusuta.“Fully booked, Sen. Kalau lo nggak percaya lo tanya ke resepsionis, gih! Salah siapa lo nggak bilang sama Julia? Dia ternyata cuma pesan tiga kamar doang.”Lalu Antasena menoleh ke arah Julia, seolah membutuhkan penjelasan.“Maaf, Pak. Tadinya mau dipesenin lagi, tapi udah fully booked. Bapak sih bilangnya mendadak kayak tahu bulat.”“Ya sudah nggak apa-apa, Jul.”“Kalau lo nggak mau sekamar sama Anya, mending lo tidur di kamar mandi, Anya yang di kasur!” kelakar Bayusuta dengan entengnya.“Berisik lo!” desis Antasena kesal, pria itu lantas berjalan mendekati Pradnya. “Kamarnya sudah fully booked, Nya. Nggak
"Nya, mau ke mana?" tanya Antasena saat melihat perempuan itu sudah rapi.Entah sampai pukul berapa akhirnya mereka memutuskan untuk terlelap. Setelah mengobrol panjang lebar, hingga Pradnya menceritakan masa kecilnya yang takut dengan anjing sampai sekarang. Keduanya memutuskan untuk tidur."Eh, Mas Sena udah bangun?"Antasena lantas mengubah posisinya menjadi duduk. Masih dengan wajahnya yang mengantuk, pria itu mengerjapkan matanya."Mau ke mana?" ujar pria itu mengulangi pertanyaannya."Semalam saya bilang sama Mas Sena mau ketemu sama Bunda Nania, kan? Mas lupa, ya?""Ah iya." Antasena mengurut keningnya, "saya anterin, ya?""Ng… nggak usah, Mas. Saya bisa pergi sendiri, kok.""Saya sudah janji sama ayah kamu buat jagain kamu, Anya. Saya mandi sebentar, ya." Antasena lantas bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju ke kamar mandi dengan tidak mengacuhkan Pradnya yang hendak memprotesnya.Mau tidak mau perempuan itu menunggunya. Lima belas menit setelahnya, Antasena sudah keluar
"Nya, kok di sini? Sudah makan?"Suara vokal Julia kontan membuat Pradnya yang saat ini tengah duduk di depan teras lantas menoleh. Baru saja Yudhistira melamar Julia. Acara setelah lamaran dilanjut dengan makan malam bersama."Eh, Mbak Julia." Pradnya tersenyum kecil. Matanya berbinar-binar begitu melihat Julia melangkah mendekatinya dengan balutan kebaya cantiknya."Sudah makan?"Pradnya mengangguk. "Sudah, Mbak. Mbak Julia kenapa ke sini?""Kamu sendiri ngapain di sini?" ujar Julia balik bertanya.Perempuan itu tersenyum, lalu melemparkan tatapannya ke depan. Samar-samar suara jangkrik terdengar dari kejauhan sana."Ngadem, Mbak. Tinggal di pedesaan gini enak kali, ya? Masih belum banyak polusi kayak di Jakarta. Udah gitu, yang didengerin bukan suara kendaraan, tapi suara jangkrik.""Iya, Nya. Kadang-kadang saya juga kangen suasana begini. Tapi mau gimana lagi, kerjaan di kota nggak bisa ditinggal gitu saja.""Iya, ya?" Pradnya tersenyum kecil. "Gimana rasanya habis dilamar, Mbak?
"Hai, Nona Cappuccino."Suara teguran seseorang kontan membuat Pradnya yang tadinya sibuk membersihkan mesin kopinya, lantas menoleh dengan cepat."Mas Satya?" Pradnya tampak terkejut dengan kehadiran pria itu di sana."Lagi sibuk, ya?"Pradnya menggeleng. "Nggak, kok Mas. Mau pesan kopi, ya?""Kamu dicari Mama.""Hah?" Pradnya tertegun, sebelum kemudian menolehkan wajah ke arah Satya. "Mama? Tante Shinta maksudnya? Ada apa, Mas?"Perempuan itu lantas menghentikan aktivitasnya, lalu berlari keluar dari area bar untuk menghampiri Satya yang tengah berdiri di dekat bar stool."Tante Shinta nyariin saya? Ada apa?" ujar Pradnya mengulangi pertanyaannya."Saya udah coba WhatsApp kamu, dan telepon kamu juga, tapi nomor kamu nggak aktif. Nah, jadi mau nggak mau saya harus ke sini nemuin kamu.""Ah, iya Mas. Hp saya kena jambret pas di Jogja tempo hari, dan belum sempat beli hp baru. Makanya nomor saya nggak aktif.""Kok bisa? Gimana kejadiannya?"Pradnya mengangkat bahu. "Ya begitu lah, Mas.
Tidak ada percakapan apapun sepanjang mobil Antasena melaju meninggalkan butik milik Disha. Setelah menyelesaikan urusannya, mereka memutuskan untuk pulang dan berlanjut menuju ke kediaman keluarga Antasena."Nggak apa-apa, kan kalau persiapan pernikahan kita diatur sama Mama? Sejauh ini cuma Mama yang antusias kalau itu menyangkut soal saya.""Tante Shinta kayaknya sayang sama kalian berdua, ya Mas?""Sama Satya juga?"Pradnya mengangguk."Iya. Anaknya cuma Mas Sena sama Mas Satya, kan?""Hm-mm.""Cuma… sifat kalian kenapa beda gitu, ya Mas?"Antasena mengernyit. "Berbeda gimana?""Kalau Mas Sena cenderung pendiam, dan mukanya serius. Sementara kalau Mas Satya itu lucu. Setiap kali saya ketemu sama dia, saya sering dibikin ketawa, coba. Pokoknya ada aja yang bisa bikin saya ketawa kalau sama Mas Satya. Padahal saya dengar dia ini CEO di ND Entertainment, kan?""Iya.""Nggak kelihatan kalau dia tuh seorang pimpinan. Nah, berkebalikan dengan Mas Sena yang susah senyum. Mukanya serius ba
"Pa, cobain cookies buatan Mama, dong. Tadi sore Mama sama Anya bikin cookies ini, lho. Kalau kata Satya, sih enak. Sena nggak komentar apa-apa. Sekarang giliran Papa cicipin dong."Shinta mengangsurkan sebuah toples ke arah Rama. Mau tidak mau senyum Pradnya mengembang di wajahnya. "Tapi banyakan buatan Anya dibanding buatan Mama, kan?"Shinta mencebikkan bibir. "Astaga, Pa. Sekali saja, Papa muji Mama gitu nggak bisa, ya?" gerutu perempuan paruh baya itu, lalu dia menoleh ke arah Pradnya. "Papanya Sena sama Sena itu sebelas dua belas, Nya. Susah banget sesekali bohong. Dari dulu Sena memang nggak begitu suka manis, Nya. Jadinya dia nggak tahu gimana caranya muji cookies buatan kita.""Siapa bilang nggak suka? Aku suka, kok Ma. Asal cookies buatan Mama sama Anya, mau semanis apapun, bakalan aku makan.""Gombal banget, sih Bang," cibir Satya. "Bukan lo banget tahu, nggak."Antasena mengedikkan bahu. "Setidaknya gue mau usaha biar nggak jadi cowok kaku lagi."Dan sedetik kemudian, ham
"Bulan depan, gue nikah sama Anya."Suara Antasena kontan membuat membuat keempat sahabatnya menoleh. Sore itu, mereka tengah berkumpul di kediaman Mahesa. Hari ini adalah acara aqiqahannya Kanaka dan Kanaya, dan mereka baru sempat datang sore itu."ANJAY! Gercep amat lo, Babi!""Lo udah yakin, Sen?""Emang bangsat, gue yang udah pengen kawin, dia duluan dong, yang nikah!" sambar Yudhistira tak terima.Antasena mengangguk dengan tenang. Tatapannya kini tertuju pada secangkir kopi yang ada di tangannya, lalu mengembuskan napasnya dengan perlahan."Gue nggak tahu ke mana arah hubungan gue dengan Anya setelah ini. Tapi yang jelas… setidaknya gue bisa memanfaatkan Anya untuk bisa menjauh dari Priya.""Gue setuju kalau lo mau menjauhkan diri dari si Nenek Lampir. Tapi kalau soal lo yang mau memanfaatkan Anya, gue nggak setuju, Nyet. Terlepas dari uang, Anya terlalu baik nggak, sih kalau cuma dimanfaatkan gitu saja? Mending lo sewa jalang sekalian.""Udah telanjur basah, B. Gue sama sekali