Share

6. Pertemuan Keluarga Antasena

[Mama: Jangan lupa nanti malam, Sen. Mama tunggu di rumahnya Kakek.]

Antasena menghela napas panjang begitu membaca pesan dari ibunya. Pria itu menyimpan kembali ponselnya, enggan membalas pesan dari Shinta. Bersamaan dengan suara pintu yang dibuka seseorang, membuat Antasena lantas membalikkan badan, kemudian tertegun.

Jeda selama beberapa saat Antasena terdiam. Tatapannya tertuju pada sosok perempuan yang saat ini tengah berdiri di samping Disha. Langkahnya agak sedikit terseok lantaran Pradnya tidak terbiasa mengenakan high heels.

"Gimana, Mas?"

Suara Dhisa kontan membuat Antasena mengerjap dengan cepat. Pria itu lantas bangkit berdiri, lalu berjalan mendekati mereka.

“Seperti yang Mas minta tadi, saya hanya memberikan polesan natural di wajahnya. Dan sedikit menata rambutnya biar sedikit rapi saja. Saya juga menambahkan anting buat dia. Kalau menurut saya, sih nggak berlebihan, ya? Mas Sena gimana?”

Pradnya menundukkan wajahnya, memindai penampilannya yang sedikit aneh menurutnya. "Apa ini nggak terlalu berlebihan, Mbak, Mas? Saya yakin kalau penampilan saya sekarang… aneh," ujarnya sembari mengutarakan apa yang menjadi kekhawatirannya sekarang.

"Kamu cantik, Mbak Anya. Mungkin karena Mbak belum terbiasa aja." Disha lalu menoleh ke arah Antasena. "Bukan begitu, Mas?"

"Iya."

Pradnya menggigit bibirnya, bahkan dia tak memiliki keberanian untuk menatap Antasena yang sejak tadi bersikap dingin terhadapnya.

Setelah menyelesaikan segala urusannya di butik milik Disha. Antasena mengajak Pradnya untuk segera bergegas. Kedua tangan pria itu kini membawa banyak paper bag dalam jumlah yang cukup banyak. Pradnya tidak tahu apa yang dibawa oleh pria itu, meskipun penasaran, perempuan itu memilih untuk urung bertanya.

"Mas, mau saya bantu bawa?" tawar Pradnya saat itu.

"Nggak usah, Anya. Setelah ini kita mampir ke apartemen saya dulu, ya?"

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, keduanya lantas masuk ke dalam mobil. Dengan balutan dress dan high heels yang tentu saja harganya mahal, Pradnya merasa tak cukup percaya diri.

"Kenapa Anya?" tanya Antasena menyadari kegusaran perempuan itu.

"Ng… nggak, Mas. Saya hanya merasa kurang nyaman saja pakai baju begini."

"Kamu cantik.” Mendengar pujian itu, Pradnya lantas menunduk dalam-dalam. Wajahnya pasti sudah merona sekarang.

Setelah berkendara kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya Antasena tiba di basement apartemennya. Setelah mobilnya terparkir dengan sempurna, pria itu mengajak Pradnya untuk turun.

Keduanya melangkah menyusuri koridor dengan tanpa suara. Suasana petang itu terlihat sunyi dan senyap. Pun begitu dengan Pradnya yang memilih untuk diam.

"Saya mau mandi sebentar," ujar Antasena saat itu. "Baru setelah itu, kita akan pergi ke rumah kakek saya."

Pradnya mengangguk. Begitu mereka tiba di depan unitnya, Antasena menekan kombinasi angka apartemennya. Pria itu mendorong pintunya, membiarkan Pradnya masuk lebih dulu, baru kemudian diikuti perempuan itu di belakangnya.

"Kamu pengen minum apa? Ada minuman dingin di lemari pendingin. Atau kalau kamu pengen kopi atau teh, ada di mesin kopi di sana," ujar Antasena menunjuk salah satu coffee machine di sana.

"Iya, Mas. Makasih banyak."

"Kalau gitu kamu tunggu di sofa sana, ya. Saya mandi sebentar."

Pradnya mengangguk kecil. Perempuan itu berjalan menuju sofa, sementara Antasena menghilang dari balik pintu kamarnya.

Sepanjang Antasena bersiap-siap, Pradnya yang selama ini jarang sekali menggunakan high heels, memilih untuk melatih langkahnya agar terbiasa. Perempuan itu berjalan mondar-mandir ke sana ke mari. Pradnya bisa melihat pantulan dirinya dari balik dinding kaca apartemen milik Antasena. Perempuan itu menerbitkan senyuman, tidak menyangka jika dia akan berubah menjadi cantik bak bidadari.

Diam-diam dari kejauhan Antasena memperhatikannya dari balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Senyum kecil terukir di wajah pria itu, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk berganti pakaian untuk segera bersiap-siap.

Tiga puluh menit lamanya, Antasena kemudian melangkah keluar dari kamar. Pradnya yang terkejut cepat-cepat menghentikan langkahnya, lalu membalikkan badan. Gerakannya yang terlalu terburu-buru, membuat tubuh perempuan itu oleng. Hampir saja Pradnya terjatuh, jika Antasena tidak segera menangkapnya.

Tatapan keduanya bertumbukan selama beberapa detik. Jantung Pradnya berdebar kencang, terlebih saat perempuan itu mencium aroma wangi yang menguar dari tubuh Antasena. Sampai akhirnya Pradnya yang sudah lebih dulu melepaskan diri.

"Maaf, Mas." Secepat itu pula perempuan itu menundukkan wajahnya, menghindar dari tatapan Antasena.

Pria itu terlihat begitu tampan dengan balutan jas hitamnya. Membuat Pradnya yang sejak tadi dibuat takjub olehnya, memilih untuk segera memalingkan wajahnya.

"Hati-hati, Anya."

"Iya, Mas. Maaf. Saya nggak terbiasa pakai high heels soalnya. Saya perlu latihan biar nggak bikin malu Mas Sena,” aku perempuan itu dengan suara lirih.

"Apa perlu kamu mengganti sepatu yang biasa?"

Pradnya menggigit bibirnya. "Boleh? Eh, tapi saya adanya sepatu kets, mana masuk pakai dress mahal gini?"

"Well, kalau begitu kamu boleh menggandeng tangan saya biar nggak jatuh."

"Hm?" Pradnya sedikit terperangah. "Boleh?"

Antasena menganggukkan kepalanya. "Tentu saja, Nya. Kamu adalah calon istri saya, kalau kamu lupa. Saya membawa kamu malam ini untuk diperkenalkan di keluarga besar saya. Intinya, kamu cukup mengikuti apa yang saya kasih tahu kamu semalam saja."

"Iya."

"Kalau gitu kita berangkat sekarang?"

Pradnya mengangguk. "Iya, Mas."

Antasena lantas menjulurkan tangannya ke depan. Meminta Pradnya melingkarkan tangannya di lengan pria itu, dan langsung bergegas mengajak perempuan itu meninggalkan apartemennya detik itu juga.

Sepanjang perjalanan menuju kediaman Kakek Sandiaga Nanditama, tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka. Antasena fokus dengan kemudinya, sementara Pradnya mencoba menghilangkan rasa gugupnya.

Saat perempuan itu tenggelam dalam pikirannya, ponsel milik Antasena yang bergetar sejenak mengalihkan perhatian Pradnya. Perempuan itu menolehkan wajah, bersamaan dengan suara Antasena yang terdengar.

"Halo, Ya?"

"Hai, Babe. Lagi di mana? Jadi pergi makan malam sama keluarga kamu?"

"Jadi. Aku lagi di jalan ini. Sama… Anya."

"Enjoy your dinner, Sayang. Sebentar lagi aku mulai take a photo. Aku telepon cuma memastikan saja, nanti aku telpon lagi, ya?"

"Iya."

"I love you, Sayang."

Setelah mengakhiri panggilannya dengan Priya, Sena melepaskan earphone yang melekat di telinganya. Kembali fokus dengan kemudinya, pun begitu dengan Pradnya memilih untuk diam.

Tepat saat waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Antasena membelokkan mobilnya menuju ke sebuah rumah mewah yang ada di pinggiran Jakarta.

Pradnya mengedarkan matanya ke sekitar. Tampak takjub dengan apa yang dilihatnya sekarang. Rasa gugup yang kini kembali menguasainya, membuat nyali perempuan itu seketika menciut.

Jajaran mobil berpajak berjajar tepat di halaman rumah. Antasena sempat heran, namun memilih untuk tidak mengacuhkannya.

"Yuk, turun."

Pradnya menelan ludahnya, lalu menoleh ke arah Antasena. "Mas… yakin?"

"Kenapa, Nya?"

"Saya… gugup, Mas."

"Ada saya, Anya. Jangan jauh-jauh dari saya, okay?”

Keduanya memutuskan untuk turun dari mobil. Antasena yang lebih dulu mendekati Pradnya. Pria itu lantas menjulurkan tangannya ke depan agar bisa menggandeng perempuan itu. Dengan rasa gugup yang melambung tinggi, akhirnya Pradnya memberanikan dirinya untuk melangkah.

"Kalau kamu gugup, atur napas dengan baik, Anya. Tarik napas beberapa detik, lalu embuskan perlahan sembari menutup mata."

Pradnya bahkan tidak sadar bahwa Antasena memperhatikannya. "Iy-ya, Mas."

Keduanya tiba di sebuah taman yang cukup luas, tepat berada di samping bangunan utama. Gemerlap cahaya lampu di langit-langit taman terlihat begitu menakjubkan, ditambah lagi dengan lantunan saxophone yang mengisi keheningan di sana.

"SENA!"

Suara seseorang yang memanggil namanya, membuat Antasena lantas menerbitkan senyumannya. Pria itu lantas mengajak Pradnya untuk mendekati salah satu keluarga kakeknya, lalu tersenyum.

"Halo, Om, Tante. Apa kabar?" sapa Antasena begitu berdiri di hadapan mereka.

"Waw, Sen? Gandengan baru?"

Antasena menoleh ke arah Pradnya. "Kenalkan, Om, Tante. Dia Anya, calon istri saya."

Kedua orang yang ada di hadapannya, kontan membelalak. "Wah, saya Tomi dan ini istri saya, Kania."

"Perkenalkan saya Anya, Om." Pradnya lantas menoleh ke arah Kania. "Senang bertemu dengan Om dan Tante."

"Mama kamu bilang, kamu pacaran sama Priya Zaneeta, Sen?" tembak Om Tomi secara blak-blakan.

"Cuma gosip saja, Om,” jawab pria itu dengan tenang. “Saya sejak tadi nyari Mama sama Papa. Om Tomi melihat mereka?"

Namun belum Tomi menjawabnya. Suara vokal seseorang yang memanggil namanya, membuat mereka menoleh dengan cepat.

"Sena!"

Antasena dan Pradnya lantas membalikkan badan, seorang perempuan paruh baya dengan balutan dress gelapnya berdiri tak jauh dari mereka.

"Itu Mama saya," bisik Antasena tepat di samping wajah Pradnya.

Antasena menggandeng Pradnya berjalan mendekati Shinta. Sementara perempuan itu dengan susah payah meredam rasa gugupnya sekarang.

"Ma…" Antasena terpaksa meninggalkan tangan Pradnya untuk memeluk ibunya. "Apa kabar?"

“Baik, Sayang. Gimana sama kamu?”

“Baik juga, Ma. Papa mana?” tanya Antasena dengan tenang.

"Papa lagi di dalam sama Kakek. Kamu…" Tatapan Shinta teralihkan ke arah Pradnya yang berdiri kaku di tempatnya.

"Ma, kenalkan dia… Anya. Pacar Sena sekarang."

Pradnya memaksakan dirinya untuk tersenyum. Lalu melangkah ke depan dengan sedikit membungkukkan kepala sembari menjulurkan tangan ke arah Shinta. "Saya Anya, Tante. Senang akhirnya bisa ketemu sama Tante."

"Saya Shinta, mamanya Sena."

"Alasanku kenapa aku nggak bisa bawa Priya lagi, karena aku udah sama Anya, Ma. Aku perlu bicara sama Anya soal permintaan Mama. Tapi sebelum melangkah ke jenjang itu, aku pengen Mama kenal sosok perempuan sederhana pilihanku ini."

“Kita bicara lagi nanti, ya? Sebaiknya kamu menyapa Kakek dulu.”

Antasena menganggukkan kepalanya. “Iya, Ma.”

Baru saja mereka hendak melangkah menghampiri Kakek Sandiaga dan Rama yang tengah berbincang sana, suara seseorang membuat ketiganya menoleh bersamaan.

"Ma, Papa manggil tuh. Ada—" Ucapan pria itu menggantung di udara saat tatapannya tertuju pada sosok perempuan yang tak asing.

"Nona Cappuccino?"

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status