Share

2. Desakan Orang Tua

ANTASENA mengayunkan langkahnya melewati ruang tamu kediaman orang tuanya. Tidak ada tanda-tanda orang yang ada di sana, lalu pria itu melangkah ke dalam dan melihat ibunya tengah termenung di taman belakang.

"Ma…"

Shinta yang tadinya sibuk tenggelam dalam lamunannya, lantas menoleh. Perempuan itu menerbitkan senyumannya, lalu bangkit saat melihat Antasena. Tangannya meletakkan secangkir teh yang tadinya ada di atas pangkuannya, kemudian mendekati putra sulungnya.

"Mama lagi ngapain sendirian di sini?"

Shinta tak langsung menjawab. Perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain kepada Antasena. "Kamu baru pulang dari kantor?"

"Iya, Ma."

"Udah makan belum? Mau temenin Mama makan malam, Sayang?"

Antasena tidak menjawab. Shinta lantas menggandeng putra sulungnya itu, mengajak pria itu menuju ruang makan. Ada beberapa hidangan yang sudah tersaji di atas meja.

"Satya sama Papa ke mana, Ma?"

"Mereka pergi ke acara gala dinner kolega bisnisnya Papa," jawab Shinta sembari mengangsurkan piring yang sudah diisi dengan nasi ke arah Antasena.

Antasena mengerutkan keningnya. "Mama nggak ikut?"

"Mama lagi nggak enak badan, Sen. Makanya Mama minta Satya buat nemenin Papa. Mumpung hari ini adikmu lagi senggang di kantornya."

Antasena menghela napas. Dia mengambil lauk dan sayur di sana, bersamaan dengan seorang asisten rumah tangga yang menghampirinya.

"Bi, minta tolong siapkan teh hangat untuk Sena, ya?" pinta Shinta saat itu.

"Baik, Bu."

Bibi meninggalkan meja makan, lalu menuju ke dapur untuk membuatkan minuman mereka. Shinta menarik kursi yang ada di hadapannya, kemudian menikmati makan malamnya.

"Gimana kerjaan kamu, Sayang?"

"Lancar, Ma." Antasena meneguk air putih di sampingnya. "Mama kalau nggak enak badan kenapa nggak ke dokter sih, Ma?"

"Mama nggak apa-apa, kok Sen. Palingan Mama cuma kecapekan aja."

Antasena menghela napas. "Emangnya Mama capek apa? Mama masih kepikiran soal Kakek Sandiaga?"

Selama tiga puluh dua tahun, Shinta adalah kelemahannya. Barangkali selama ini Antasena menjadi anak yang pembangkang dan hidup sesukanya, tapi saat Shinta sudah berbicara, hatinya mendadak luluh dalam sekejap.

"Jadi kapan kamu bisa ngajak Priya ke sini?"

Benar, kan?

"Minimal, kamu kenalkan ke Papa dan Mama dulu, biar kami juga bisa mengenal lebih jauh calon istri kamu."

Antasena tak langsung menjawab. Bibi yang tengah membawakan dua cangkir teh itu, sudah lebih dulu mengalihkan perhatian mereka. Tiba-tiba saja nafsu makannya lenyap begitu saja setelah mendengar ucapan Shinta.

"Harus banget aku nikah, Ma?" tanya Antasena setelah menelan nasinya tanpa minat.

"Kenapa? Kamu keberatan kalau Mama minta kamu segera menikah?"

Antasena tidak menjawab. Dan Shinta kembali melanjutkan ucapannya.

"Kakek Sandiaga bukan Mama atau Papa yang selalu membebaskan kamu hidup dengan pilihanmu sendiri, Sen. Setidaknya dengan adanya ikatan pernikahan, kakekmu tahu kalau akan ada generasi penerus di keluarga kita.

"Mama nggak mungkin minta Satya untuk menikah duluan. Meskipun bisa saja. Hanya saja, Kakek Sandiaga hanya melihatmu untuk saat ini. Cuma itu yang diinginkan Kakek Sandiaga."

"Mama tahu kan kalau pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dibuat main-main?”

"Siapa yang mau main-main? Itulah kenapa Mama akan merestui hubungan kamu dengan Priya. Mama tahu kalau kamu mencintainya, Sen. Dan Mama akan berusaha untuk menerimanya," putus Shinta dengan bijaksana.

"Bukan itu masalahnya, Ma. Tapi—"

"Tapi apa?" potong ibunya dengan cepat.

Jeda sesaat tatapan Antasena tertuju ke arah Shinta. Ingin rasanya pria itu mengatakan yang sejujurnya, tapi raut penuh harap yang tercetak jelas di wajah ibunya sejenak membuat Antasena mulai gamang.

"Satu tahun, Ma. Aku janji tahun depan akan menikahi Priya. Aku nggak—"

"Dua bulan lagi ada rapat direksi. Dan itu artinya, Papa kamu harus merelakan perusahaan untuk Tomi."

Antasena menggertakkan rahangnya dengan keras. Kepalanya mendadak pening, tidak tahu harus bagaimana menjawab perkataan Shinta.

"Mama nggak pernah ikut campur dengan urusan pribadimu, Sena. Termasuk saat kamu memilih untuk bekerja di perusahaan lain. Mama memberimu kebebasan. Saat kamu memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Priya yang notabene Mama meragukan dia.

"Tapi sekarang, bahkan Mama sama sekali tidak menyatakan keraguan itu sama kamu. Untuk kali ini saja, Sen, tolong bantu Mama. Kapan Mama memohon sama kamu seperti ini, Nak? Jika kondisinya tidak serumit ini, Mama nggak akan meminta apalagi memaksa kamu. Jadi tolong, pikirkan Mama untuk kali ini saja."

Setelah menikmati makan malamnya bersama Shinta, Antasena memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Tadinya dia berniat untuk tetap tinggal, namun melihat situasi yang tidak kondusif, Antasena mengurungkan niatnya.

"Tau jalan pulang juga lo?"

Suara vokal Satya, sontak membuat Antasena mengangkat wajahnya. Ditatapnya sang adik yang usianya hanya terpaut dua tahun itu, lalu mendesah pelan.

"Lo harusnya sadar kalau sejak dulu Mama care sama lo. Apa susahnya nurutin maunya Mama, sih? Apa kepala lo mesti gue jedotin ke tembok dulu, biar lo amnesia? Dunia nggak hanya berputar di sekitar lo, Bang. Harusnya lo jadi anak yang lebih peka," sindir Satya saat tak kunjung mendapatkan tanggapan dari kakaknya.

"Bukan urusan lo," desis Antasena tampak tidak terusik dengan ucapan adiknya. "Kalau lo mau, lo aja yang nikah duluan."

Lalu tanpa mengatakan apa-apa, Antasena berlalu begitu saja meninggalkan Satya yang masih termenung di tempatnya.

Sepanjang perjalanan pulang, Antasena tampak kacau. Pikirannya sibuk berkelana memikirkan kemungkinan yang bisa dilakukannya. Setidaknya dia tidak ingin membuat ibunya kecewa.

Begitu tiba di apartemennya, Antasena mengayunkan langkahnya menyusuri koridor lantai unitnya. Dia menekan kombinasi angka saat berdiri di depan pintu, lalu mendorong pintu tersebut sebelum kembali melangkah.

Langkahnya mendadak terhenti. Dia bisa melihat sepatu high heels yang sangat familiar di susunan rak sepatunya, lalu Antasena mendesah pelan. Siapa lagi jika bukan Priya Zaneeta? Terus terang Antasena sedang tidak ingin bertengkar.

"Sen…"

Antasena membuang napas lelahnya. Pria itu hanya menoleh sekilas ke arah Priya sembari melepaskan jas yang sejak tadi membalut tubuhnya, lalu berjalan menuju dapur.

"Aku lagi nggak mau bertengkar, Ya." Pria itu membuka lemari pendingin, dia mengambil sebotol minuman dingin, lalu meneguknya dengan pelan.

Saat Antasena sibuk membasahi kerongkongannya dengan air dingin, Priya memeluknya dari belakang. Antasena bisa merasakan dekapan hangat perempuan itu, tapi dia sedang tidak dalam keadaan bergairah sekarang.

"Aku mau minta maaf sama kamu," ujar Priya dengan suara pelan.

"Maaf nggak akan menyelesaikan masalah, Ya. Kepalaku berat banget sekarang, aku pengen tidur."

Priya menarik diri lalu membalikkan badan Antasena agar bisa menghadapnya.

"Apa karena aku?"

Sementara pria itu hanya bergumam lirih. "Ada apa?"

Priya menggigit bibirnya bagian dalam, tampak ragu mengatakannya.

“Kalau yang ingin kamu katakan sekarang adalah tentang menyewa orang untuk jadi istri pura-pura aku, no thank you. Pernikahan bukan untuk main-main, Priya Zaneeta."

Bukan Priya yang mulai membahasnya. Sudah kepalang tanggung Antasena membicarakannya, perempuan itu hanya melanjutkannya.

"Tapi cuma itu yang bisa kita lakukan, Sen. Kamu bisa menyelamatkan keluargamu, dan aku masih bisa berkarir," elak Priya mencoba membenarkan idenya.

Antasena meraup wajahnya, lalu mendesah gusar. "Kamu udah nggak waras, Ya?" sengal pria itu tak terima. “Sebenarnya apa yang kamu pikirkan sekarang, hm?"

"Aku sayang sama kamu, Sen. I mean, ini bisa menjadi solusi terbaik untuk kita. Aku nggak bakalan melakukan hal segila ini kalau bukan untuk kamu. Please, cuma satu tahun, Sen. Aku janji akan menggunakan waktu ini sebaik mungkin dan kita akan menikah setelahnya. It's a win-win solution, right?”

Antasena menggeleng cepat. "No, thank you. Aku nggak bisa."

Antasena berjalan meninggalkan Priya, berjalan menuju ke ruang tamu dan melemparkan punggungnya di sofa.

Cukup Shinta yang membuatnya gila hari ini, jangan tambahkan Priya.

"Aku akan mengatur janji dengan wanita yang aku sewa untuk pura-pura jadi istri kamu. Dia membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ayahnya, anggap saja aku juga sedang membantunya. Untuk alamat dan nomornya aku kirim nanti. Tolong pertimbangkan ide aku, Sen."

Setelah mengatakan itu, Priya meraih tasnya dan langsung meninggalkan Antasena yang masih termangu di tempatnya.

Begitu pintu apartemen itu ditutup, ingin rasanya pria itu mengumpat sejadi-jadinya.

"Fuck!"

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status