Mita tercengang, bukan karena kagum melainkan tengah menahan perih. Jika dulu Angga menjadi tempatnya mengadu. Kini ia harus terbiasa menjadi orang lain untuk Angga. Ada dinding kokoh yang tidak akan mungkin Mita jangkau. Yang Angga ciptakan untuk dirinya dan Mita.Mita memundurkan beberapa langkah kakinya hingga menyentuh ambang pintu. Ucapan Angga bak bogem mentah yang menamparnya, membuatnya seketika sadar jika dirinya bukanlah siapa-siapa lagi bagi Angga.“Maaf!” lirik MIta dengan suara berat. Pipinya masih basah meninggalkan jejak air mata dan kini hatinya harus remuk kembali. Mita benar-benar merasa hidup sebatang kara. Selepas Angga meninggalkannya.Angga menatap penasaran. “Kamu menangis?” ucap Angga. Cepat-cepat Mita mengusap jejak kesedihan pada pipinya yang kini semakin tirus. Badai rumah tangga yang ia hadapi membuat Mita kehilangan lima kilo berat badannya.“Aku, aku …” Mita menggantung ucapanya. Har
Mita menatap kepergian mobil Angga dari depan teras rumahnya. Jika dulu ia mengantarkanya untuk menunggu Angga pulang kembali. Kini, ia mengantarkan Angga yang entah kapan akan datang kembali.Mita menghela nafas panjang. Memejamkan matanya barang sesaat. Benaknya mencoba mengingat-ingat pesan Angga sebelum lelaki itu pulang meninggalkannya.“Ya, aku harus ikhlas.” Mita mengusap dadanya. Dimana jutaan lara, kecewa dan penyesalan bersamayam di sana. Tidak ada yang bisa merubah hari lalu.Merelakan yang telah terjadi, berdamai dengan keadaan adalah pilihan terkahir Mita. Menyesali dan mengambil hikmah atas semua perbuatanya jauh membuat hati Mita lebih baik. Toh, sekalipun dirinya dan Angga berpisah setidaknya mereka masih memiliki kenangan manis yang tidak akan pernah terlupakan. Juga ada bukti nyata, jika cinta mereka pernah ada dan tidak akan pernah sirna. Yaitu Sifa. Gadis cantik yang beberapa tahun terlahir dari dalam rahimnya.“Bulan
Lembaran kertas merah itu sudah berpindah di tangan Lidya. Lidya mematung seolah terhipnotis. Menatap kepergian Satya naik ke lantai atas. Sudah lama sekali ia tidak memperhatikan lelaki itu. Satya tampak lebih tidak terurus. Bulu-bulu disekitar rahangnya mulai tumbuh, membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Tubuh lelaki itu juga terlihat semakin kurus. Apalagi kulitnya yang semakin coklat dan kusam, berbeda sekali dengan Satya yang dulu tampan dan mempesona. Yang mampu memikat wanita manapun.Apa iya dia sudah berubah? Secepat itu? Atau jangan-jangan ini hanya siasat Satya untuk menarik simpati Lidya lagi?Pikiran-pikiran itu berkecamuk memenuhi isi kepala Lidya. Seperti bisikin malaikat baik dan malaikat jahat. Berdebat untuk menghasut Lidya.Sejenak Lidya menatap lembaran kertas merah lusuh yang ada di tangannya. Tidak banyak jika dibandingkan dengan uang yang Lidya miliki. Tapi Lidya yakin, Satya pasti sudah mendapatkannya dengan susah payah. Seper
Aroma teh melati menyeruak menyadarkan Lidya dari Lamunan. Wanita berwajah sendu itu menoleh ke arah wanita paruh baya yang mengenakan gamis besar muncul dari ambang pintu."Bu!" ucap Lidya. Mendung yang bergelayut pada wajahnya mendadak berubah menjadi sebuah senyuman. Mutia meletakan gelas teh melati di atas meja di depan Lidya. Wanita yang tidak lagi muda itu menatap seksama wajah putri semata wayangnya. Tatapannya mencari-cari seolah menemukan sesuatu yang berbeda."Kamu ada masalah?" celetuk Mutia. Nalurinya sebagai seorang wanita juga ibu tidak bisa dibohongi. Lidya membenarkan posisi duduknya. "Tidak, aku tidak ada masalah apapun," jawab Lidya setenang mungkin. Walaupun hatinya bertanya-tanya bagiamana bisa Mutia tau jika dirinya sedang menyimpan sebuah masalah besar.Mutia mengulas senyuman tipis. "Jangan berbohong ibu tau, Lidya," tutur Mutia lembut. Bibirnya mengulas senyum tipis."Aku tidak apa-apa, Bu. Oh iya di mana Habibi. Apa dia belum selesai mengaji?" Lidya mengalih
Cepat-cepat Mutia menyeka air matanya. Begitu juga dengan Lidya. Mereka tidak ingin Hendri melihat jejak tangisan. Yang justru akan menimbulkan ribuan pertanyaan."Bapak!"Mutia bangkit, membalikan badannya ke arah Hendri yang berdiri di ambang pintu. Sebisa mungkin Mutia bersikap tenang. Ulasan senyuman melengkung pada bibirnya. Menunjukan jika tidak pernah terjadi apapun."Pak!"Lidya buru-buru menghampiri Hendri. Meraih tangan lelaki bertubuh tinggi besar itu dan mengecupnya."Kapan datang?" tanya Hendri mengulas senyum sesaat setelah Lidya melepaskan jabatan tangannya."Ba-baru, Pak." Kegugupan masih melanda Lidya. Takut jika Hendri mendengar pembicaraannya dengan Mutia. Tatapannya menelisik seksama wajah lelaki bertubuh tinggi besar yang ada di depannya. Mencari tanda-tanda yang membuat hati Lidya tidak tenang."Mama!"Suara Habibi membuyarkan segala rasa yang berkecamuk di dalam hati Lidya. Habibi bak pe
Berita gonjang ganjing rumah tangga Lidya sebenarnya sudah sampai ditelinga Hendri sejak lama. Hanya saja sebagai orang tua tidak banyak hal yang bisa Hendri lakukan. Mengingat putri semata wayangnya sangat mencintai Satya. Apalagi ditengah-tengah pernikahan mereka sudah ada Habibi, cucu kesayangan Hendri.Sepak terjang Satya tak pernah lepas dari pantauan Hendri. Berapa banyak wanita lain yang Satya singgahi dan tiduri, semua Hendri tau. Hendri marah dan geram, rasanya ia tidak sabar ingin mencabik-cabik anak mantunya itu. Hanya saja jika teringat Lidya dan Habibi, Hendri mengurungkan niatannya. Sekalipun Hendri tidak terima jika putri semata wayangnya di perlukan seperti itu, tapi Lidya yang menjalini mau menerimanya. Hendri bisa apa. Sebagai orang tua Hendri hanya mampu menasehati dan keputusan sepenuhnya ada di tangan Lidya.Keinginan Lidya menitipkan Habibi di rumah kakek neneknya disambut senang' oleh Hendri. Bahkan penyebab dititipkannya Habibi sudah Hendri kant
"Maaf Bu, anda tidak boleh masuk." Seorang suster menahan tubuh Lidya saat ranjang pasien di mana Satya berada akan dibawa masuk ke ruang UGD.Seorang rewang Hendri menahan tubuh Lidya yang gemetar. "Kita manut saja Non," ucap lelaki itu menenangkan Lidya. Lidya menatap kasian pada Satya yang tidak sadarkan diri. Dadanya terasa begitu sesak melihat keadaan lelaki yang dicintainya bebak belur.Lidya yang menangis memundurkan beberapa langkah kakinya. Memberikan ruang untuk para perawat membawa Satya masuk ke dalam ruangan.Pintu ganda ruang UGD tertutup. Tubuh Lidya disergap udara dingin yang menggila. Pak Sabar menuntun Lidya yang nyaris pingsan duduk pada bangku tunggu. Pikiran wanita itu diliputi oleh ketakutan dan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi pada Satya. Juga rasa bersalah yang menyumpal dada."Non mau Pak Sabar belikan minum?" tawar lelaki yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah keluarga Lidya. Menatap khawatir pada Lidya yang duduk di samp
"Makasih, Gia, pokoknya aku sangat senang sekali," ucap Angga antusias. Ia merasa beruntung sudah dikenalkan oleh dokter hebat yang sudah menyembuhkan ular derik Angga."Tenang, jangan terlalu bersemangat." Wanita bernama Gia yang tidak lain adalah teman sekolah Angga itu berkelakar. Angga mengerutkan kening. "Lah, memangnya kenapa?" Wajahnya berubah bingung. "Tentu saja aku senang. Akhirnya aku sembuh dari sakitku." "Sekalipun sudah sembuh, tapi sekarang kan kamu nggak ada teman mainnya," jawab Gia dibalut candaan membuat keduanya terkekeh bersamaan."Jangan begitu." Angga mengibaskan satu tangannya di depan wajah Gia. Wanita yang juga berprofesi sebagai seorang Dokter itu. "Meskipun tidak punya pasangan, tapi setidaknya aku kan sudah jadi lelaki tulen." Angga menimpali. Membela diri. Kesembuhan dari penyakit impot*n disambut penuh suka cita oleh Angga. Ia sangat bersyukur sekali akhirnya ular deriknya kembali bisa berfungsi seperti sedia kala."Kamu tidak ingin rujuk dengan mant