"Lalu apa kau sudah sopan padaku Ri! Aku ini tamu, harusnya kau jamu, tapi malah kau pukuli pakai kayu. " "Iya tamu, lebih tepatnya tamu yang tak diharapkan, lagian Mas Tio mau apa sih kesini? Bukannya Mas Tio pernah ngomong kalau tak sudi menginjakkan kaki di rumahku karena najis takut ketularan miskin? " "Aku mau ambil sebagian sembako di rumahmu, aku dengar kau di kasih sembako sangat banyak, dan aku pikir kau tidak terlalu membutuhkan sembako sebanyak itu, jadi aku merasa sebagai abangmu aku juga berhak atas sembako-sembako yang kau dapatkan, " ucap Mas Tio tanpa beban, sedangkan aku dan Citra tak bisa menutup mulut kami yang menganga karena tidak habis pikir dan cukup terkejut dengan apa yang Mas Tio katakan. "Dapat ilmu darimana wahai abangky yang terhormat, bukankah kau bilang tidak ada yang gratis di dunia ini, dan jika kita saudara maka itu hanya sebuah julukan, tapi tidak dengan uang dan barang, dalam hal uang dan barang tidak ada yang namanya saudara, begitu
"Yaudah yuk masuk," aku mengajak Citra masuk ke dalam rumah, tapi belum sempat kaki kami melangkah, sebuah suara yang ku kenal memekakkan telingaku. "Riri! Orang miskin sialan ya kamu! Kamu apakan Mas Tio dan Dea ha! " Mbak Tiwi sudah berkacak pinggang sembari memaki di depan rumahku. "Kenapa gak tanya sendiri sama orangnya langsung?" "Aku sudah tanya, tadi katanya kamu memukul Mas Tio pake sapu, terus kamu juga gak kasih boneka barbie yang Dea minta, sekarang mana boneka barbie nya, juga sembako yang mau di ambil sama Mas Tio!" perintah Mbak Tiwi dengan gayanya yang angkuh. Cih, dia pikir dia siapa, dan aku tidak akan diam saja kali ini, sudah cukup orang-orang itu menghina dan menginjak-injak diriku selama ini. "Kalau aku tidak mau? " "Berani ya kau sama aku ha! Dasar orang miskin, kalau miskin ya miskin aja tapi belagunya bukan main. " "Ooo miskin ya, sudah tau miskin kenapa kau mengemis padaku? " ucapanku sontak membuat kedua mata Mbak Tiwi membelalak. "Siap
Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur, kasur yang tadinya sudah sangat tipis karena sudah termakan usia itu kini sudah berganti dengan springbed yang diberikan oleh orang-orang misterius itu, hingga saat ini aku masih belum tau siapa mereka dan apa maksud mereka memberikan secara cuma-cuma uang dan barang yang begitu banyak padaku, penat otak ini kurasa karena memikirkannya. Nama kampung ini adalah kampung Ramai, yah, persis dengan namanya kebanyakan orang-orang disini sangat suka dengan keramaian, apapun itu, mulai dari hajatan, syukuran, bahkan perkelahian yang mengundang banyak orang berkumpul juga sudah hal biasa di kampung ini, bagaimana tidak jika para penghuni kampung ini pun memang hobi dengan kebisingan. Terkadang aku lelah tinggal disini, rasanya ingin pindah saja dari sini, kalau bukan karena selain aku tak punya uang untuk membeli hunian baru, disini juga ada Citra, sahabat sejatiku, yang selalu ada disaat aku butuh. Kampung ini juga yang menjadi saksi bisu pertemuan antar
Hari ini adalah hari sibuk bagi warga kampung Ramai, bagaimana tidak, karena hari ini sebuah pabrik besar akan mengadakan acara syukuran mewah, dan warga desa yang menjadi tamu undangannya. Begitu juga aku, Citra, dan Zahra, kami sangat antusias menyambut acara besar hari ini, sedari pagi aku dan Zahra sudah bersiap-siap untuk menghadiri acara tersebut, hanya tinggal menunggu Citra datang menjemput saja, setelahnya kita akan berangkat ke gedung yang memang dibangun pabrik untuk kalau ada acara-acara penting seperti ini. "Bu, kita mau pergi ke pesta ya, Bu? " tanya anakku saat ia sudah mengenakan baju cantiknya, cantik bagi kami tapi belum tentu cantik bagi orang lain, tapi ya memang hanya baju itu yang paling bagus yang anakku miliki. "Iya sayang, kamu seneng gak? " "Seneng dong, Bu, disana pasti ada banyak makanan enaknya, ya kan, Bu? " "Tentu saja, tapi zahra harus ingat pesan Ibu, jika ditempat orang tidak boleh lasak, tidak boleh meminta-minta jika tidak diberi sama pemilikny
Akhirnya dengan terpaksa aku menuruti permintaan orang asing di depanku ini. Aku, Zahra Citra juga Bu Tiar akhirnya masuk kedalam mobil yang telah dibukakan pintunya oleh orang tersebut. *** Tak membutuhkan waktu yang lama, karena memang jarak tempuhnya tidaklah jauh, saat aku datang ternyata sudah banyak warga yang juga ikutan datang ke acara itu, dan saat mobil yang dinaiki sampai di halaman depan gedung, banyak pasang mata yang melihat ke arah kami, dan jujur aku sedikit merasa tidak nyaman dengan pandangan yang mereka berikan untukku nanti. Setelah orang itu turun, lalu dia berlari kecil ke arah pintu penumpang yang aku duduki, lalu membukanya, perlahan aku turun, disusul dengan Zahra, Citra kemudian Bu Tiar, sekilas aku melihat sekumpulan warga yang sangat kukenal, yakni Bu Ida serta geng ghibahnya, Mas Tio beserta istri dan anaknya, Mbak Meri beserta suami nya, dan Lintang yang juga dengan suaminya, mereka menatapku seolah tidak percaya jika yang ada di dalam mobil mewah ter
Tapi ternyata Cinta dan sayang Ibu Intan tulus untuk Pak Hadi, Ibu Intan tidak peduli jika Pak Hadi tidak memiliki harta yang berlimpah. Hingga akhirnya Pak Hadi dan Ibu Intan memutuskan untuk tetap menikah meskipun tanpa restu dari orangtua Bapak Hadi. Saat tahu pernikahan diam-diam mereka, orangtua Pak Hadi marah besar, ia lantas mencoret nama Pak Hadi sebagai anak satu-satunya mereka. Dari pernikahan Pak Hadi dan Bu Intan, mereka akhirnya dikaruniai seorang putri yang sangat cantik, tapi sayang lagi dan lagi rumahtangga mereka kembali diuji oleh yang maha kuasa. Ayah dari Pak Hadi jatuh sakit, karena saat itu usahanya sudah diambang kehancuran, orang tua Pak Hadi akhirnya meminta maaf karena kesalahan yang telah diperbuat, hingga akhirnya Pak Hadi dan Bu Intan datang untuk kembali membangun perusahaan yang sudah hampir bangkrut itu, dengan lapang dada Ibu Intan memaafkan kedua orangtua Bapak Hadi yang dulu pernah menolak dan menghinanya lantaran beda status. Tapi sayang, Ibu Intan
"Mari Ibu Riri Novianti Wicaksono, silahkan naik keatas panggung, dan sambut kedua orangtua kandung Ibu Riri," ucapan pembawa acara menghentikan gelak tawa yang riuh dari para warga. Sementara aku masih tak menyangka jika aku tidak bermimpi, aku menoleh ke arah Citra dan ternyata Citra sudah menatap haru kearahku, begitu juga dengan Bu Tiar, sementara itu Zahra masih diam karena tidak paham dengan apa yang sudah terjadi. "Cit, " ucapku memanggil nama Citra, masih kurasakan tanganku gemetar saat mencoba memegang tangan Citra. "Naiklah Ri, mungkin sudah saatnya Tuhan menaikkan derajat keluargamu, kita tidak pernah tahu apa rencana terbaik yang Tuhan kasih untuk kita, " ucap Citra bijak padaku. Sebelum aku memutuskan untuk naik keatas panggung, aku terlebih dahulu memeluk Citra, sahabat sejati, yang sudi menemaniku disaat hinaan dan cacian menerpa keluargaku. Hanya dia yang masih mau menjadi teman terbaikku bahkan sudah kuanggap sebagai seorang kakak. "Naiklah, orang tua kandungmu
"Riri, ayo kita makan dulu, udah dulu kangen-kangen nya, dilanjut nanti lagi, Papa udah laper nih, " ucap Papa sembari mengelus perutnya yang buncit. "Emm, Pa, boleh aku ajak sahabat aku? " tanyaku pada Papa. "Boleh dong Sayang, silahkan saja, terserah kamu mau ajak berapa orang yang kamu mau. " "Makasih ya, Pa. " Aku pun turun dari panggung dan menghampiri Citra dan Bu Tiar. Kutinggalkan Zahra yang masih dalam gendongan Papa, aku biarkan mereka menuangkan rasa rindu yang membuncah pada cucunya. "Citra ayo kita makan bareng, aku udah laper. " "Aku makan sama yang lain aja Ri, gak enak takut ganggu. " "Kamu ini kayak sama siapa aja. Biasanya juga selonang selonong." "Kan beda Ri, Riri yang sekarang adalah seorang jutawan, anak pengusaha." "Kamu nih apa-apaan sih, Aku ya tetap Riri yang dulu, gak pernah berubah, udah ayo ikut, pokoknya gak boleh nolak. " "Yaudah deh, ayo, Bu, " ucap Citra pada Bu Tiar. Saat aku, Citra dan Bu Tiar akan menghampiri Papa, Mama dan juga Zahra yan