"Cuma pria kere yang bilang istrinya boros," ucap Tiwi dengan sinis. "Kamu menghina aku kere? Lalu uang dan fasilitas yang kamu pakai selama ini itu dari mana? " "Alah, itu kan uang juga punya si Riri ""Enak aja, orangtua aku udah ngasuh si Riri, jadi sah-sah ja dong kalua orang tua aku mengambil uang punya Riri, anggap saja itu bayaran untuk keluargaku karena udah ngasuh dia. ""Eh, Mas, aku punya ide,""Ide apa? ""Ide aku tuh.., " belum sempat Tiwi melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba suara pintu rumah Tio ada yang mengetuk. "Mas, Mas tio! " "Ya tunggu sebentar, " Tio pun melangkahkan kakinya untuk membukakan pintu, dan ternyata yang datang bertamu adalah Meri, adik Tio. "Meri? Tumben kesini? Ada apa? ""Kasihlah aku masuk dulu, Mas. ""Hmm, masuklah. " Meri melangkah masuk ke dalam rumah Tio, lalu mendaratkan tubuhnya ke sofa yang ada diruang tamu. "Jadi, ada apa kamu kesini? Gak biasanya? " tnya Tio tanpa basa-basi lagi. "Aku mau pinjam uang dong, Mas. ""Haduh, baru aja Mas
"Polisi? Untuk apa polisi menangkapmu? Apa kamu melakukan kesalahan? Coba cerita sama Bapak, biar Babak cari jalan keluarnya. ""Bapak serius mau bantu cari jalan keluar? ""Insyaallah, Ibu kan istri Bapak, gak mungkin Bapak diam saja lihat Ibu kayak begini. "Bu Ida pun menuruti ucapan suaminya, ia menceritakan semuanya dan tak ada yang ia tutupi satupun, setelah selesai menceritakan wajah Bu Ida terlihat sendu."Ya Allah, Bu, kenapa Ibu fitnah orang begitu? Itu udah keterlaluan, Bu, pantas saja kalau Riri dan suaminya marah, mungkin kalau Bapak di posisi Anam juga akan melakukan hal yang sama sebagai bentuk perlindungan pada istri.""Lalu gimana dong, Pak, semua sudah terlanjur terjadi, ini semua karena Lintang. ""Bukan Lintang yang salah, tapi kamu, kenapa kamu gak pernah bisa menjaga lisanmu, sudah Bapak peringatkan berkali-kali, untuk ngerem mulutmu yang julid itu, sekarang benar kan jadinya, mulutmu harimaumu, karena mulut Ibu yang gak Ibu jaga akhirnya berba
"Siapa, Mas? " "Bu Ida dan suaminya. " "Untuk apa mereka kesini? " "Entah, Mas juga tidak tahu, sebaiknya kita temui saja mereka dulu, baru ditanyakan apa tujuan mereka kemari. " Akhirnya aku mengikuti apa yang Mas Anam katakan, hingga aku pun sampai di ruang tamu, dan benar saja disana sudah ada Bu ida dan juga suaminya. Tapi ada yang berbeda dari Bu Ida kali ini, jika biasanya Bu Ida berpenampilan dengan lipstik merah menyala maka tidak dengan malam ini, wajahnya polos tanpa sapuan make up apapun. "Bu Ida, Pak Handoko? " "Eh, Mbak Riri, maaf malam-malam begini mengganggu istirahat kalian," ucap Pak Handoko berbasa-basi. "Ah, tak apa, ngomong-ngomong ada perlu apa kemari? Tidak biasanya? " ucapku tanpa berbasa-basi. "Bu, ayo ngomong, " ucap Pak Handoko lirih pada Bu Ida, tapi masih bisa kudengar. "Emm, Ri, anu, sa, saya mau minta maaf sama kamu, saya akui saya sudah sangat banyak salah sama kamu, selama ini saya selalu menghina dan memfitnah kamu, tapi demi Allah kali ini s
Pagi hari ini terasa sangat berbeda, ada rasa kelegaan hinggap di hati, apalagi kalau bukan soal Bu Ida sudah selesai urusannya. Memang benar jika kita memaafkan kesalahan orang maka hati kita itu akan terasa damai. Aku beranjak dari tempat tidurku, kuedarkan pandanganku lantas mencari Mas Anam. "Kemana Mas Anam, sepagi ini sudah tidak ada di sampingku, " gumamku lirih, memang semenjak kehamilanku ini, aku menjadi sangat manja dan selalu menginginkan Mas Anam ada disampingku saat bangun tidur, aroma tubuhnya seakan menjadi candu untukku. Kuputuskan untuk beranjak dari kasur dan mencari Mas Anam di luar kamar. "Mas Anam! Mas! " ucapku sedikit mengeraskan suara untuk memanggilnya hingga aku mendengar suara jawaban darinya. "Ya, Dek! Mas di dapur! " teriak Mas Anam dari arah dapur. Kupercepat langkahku untuk menyusul Mas Anam di dapur, dan saat itu juga aku melihat pemandangan yang sangat menawan menurutku, Mas Anam dengan celemek sembari satu tangannya memegang wajan dan satunya la
"Hai, Ri, apa kabarnya? " ucap Mas Tio membuka percakapan."Seperti yang Mas lihat, aku sangat baik. ""Ya Iyalah baik, hidup sudah enak, tapi percuma kalau pelit sama saudara, " ucap Mbak Tiwi lirih tapi masih bisa kudengar. "Apa maksud Mba?""Eh Ri, gak usah dengarkan Mbakmu ini, sebenarnya kami kesini ada yang ingin dibicarakan, " ucap Mbak Meri sembari menyikut tangan Mbak Tiwi seakan mengatakan agar Mbak Tiwi diam. "Ada perlu apa? Aku lagi sibuk soalnya, apa tak bisa lain waktu saja? " tolakku pada mereka karena jujur saja aku malas meladeni mereka sepagi ini dan itu pasti akan membuat mood ku seketika hancur. "Emmm, sebentar saja, Ri. ""Oke, baiklah, katakan saja ada perlu apa sampai kalian bertiga datang ke rumah orang miskin ini? ""Sebenarnya kami mau minta uang jasa orang tua kami padamu, Ri, " ucap Mas Tio tegas. "Maksudnya, Mas? ""Jadi, selama ini kan kamu diasuh oleh orang tua kami, nah selama itu juga berarti orang tua kami berjasa dalam hidupmu, jadi kami sebagai
Jasa, jasa dan jasa saja yang mereka tau, dasar mereka semua memang picik. Sungguh aku malu mengakui mereka sebagai saudara. Sekilas aku dan Mas Anam saling lirik, Mas Anam hanya mengedikkan bahunya tanda jika keputusan ada ditanganku. "Baiklah, sebelum aku memberikan apa yang kalian minta, mari kita berhitung terlebih dahulu, dan sebelumnya aku pastikan sekali lagi, apa kalian yakin akan minta balas jasa berupa uang dariku? " tanyaku pada ketiga orang itu dan mereka kompak menganggukkan kepala. "Oke, mari kita berhitung terlebih dahulu, agar kalian paham siapa seharusnya disini yang mengembalikan jasa, aku atau kalian." ucapku sembari mengambil kertas dan pulpen yang ada di laci meja ruang tamu. "Apa maksud kamu membalas jasamu? " tanya Mbak Tiwi bingung, dan sepertinya bukan hanya Mbak Tiwi, Mas Tio dan Mbak Meri yang bingung melainkan Mas Anam juga. "Kalian lihat dan dengarkan saja aku, maka kalian akan paham. ""Sekarang mari kita ulas dari awal dulu ya, aku diasuh oleh orang
"Ke, kenapa kamu tega sampai merinci itu semua? " ucal Mas tio yang mulai tergagap. "Lho, yang mulai siapa? Kan kalian yang datang ke rumahku dan membahas hal itu, padahal tadinya aku ingin mengikhlaskan hak ku itu untuk kalian, tapi melihat kalian seperti ini kok kayaknya menyenangkan jika aku melihat kalian semua menjadi gembel, " aku tersenyum mengejek pada Mas Tio, Mbak Tiwi dan juga Mbak Meri. Pov authorTio, Tiwi dan Meri tidak menyangka jika Riri akan merinci dengan sedetail itu, bahkan mereka tidak menyangka jika uang yang telah dikeluarkan oleh orang tua Riri adalah sebanyak itu, yang tadinya Riri sudah tidak mengungkit masalah uang itu, gara-gara ketiga saudara Riri mengungkitnya, kini Riri menjadi manusia yang tega. Sedikit terbesit penyesalan dalam benak ketiganya, bagaimana jika Riri benar-benar mengambil kembali hak nya. "Gimana? Mau dengan sukarela menyerahkan sisa uang milikku itu atau mau dengan paksaan? " ucap Riri lagi memecah pikiran ketiga saudaranya itu.
"Ssst, sudah tak usah dipikirkan, atau gini aja, kamu, Mas antar ke rumah Papa dan Mama, Mas gak tega membiarkanmu dirumah sendirian, Mas khawatir sama kamu juga anak kita ini, " Anam memegang perut istrinya yang masih rata itu. "Sudahlah, Mas, aku tak apa-apa. ""Ayolah, Ri, kali ini saja jangan keras kepala, nanti pulang dari kampus, Mas jemput kamu lagi. "Akhirnya Riri pun menuruti keinginan suaminya itu, karena biar bagaimanapun Anam adalah kepala rumah tangga, surganya Riri ada pada Anam, jadi sudah kewajiban Riri untuk menuruti apa yang Anam ucapkan selagi itu baik. ***"Mas pergi dulu ya, kamu di rumah Ma istirahat, nanti pulang kuliah Mas langsung kesini, " titah Anm pada Riri saat mereka sudah ada di depan gerbang rumah orangtua Riri. "Iya, Mas, hati-hati, jaga mata jaga hati, ada istri dan anakmu yang menunggu disini. ""Siap tuan putri, Mas janji akan selalu memberikan hati dan mata ini hanya untukmu, ya udah, Mas pergi dulu ya, " ucap Anam dengan mencium kening Riri, l