Share

Bab 5

"Iya Cit,  aku akan selalu sabar menanti kabar dari suamiku,  karena hanya dia belahan jiwaku yang saat ini ku punya selain Zahra tentunya. " Tanpa terasa cairan asin mengalir deras ke pipiku,  betapa hati ini teramat merindu seorang pria yang sudah menjadi imamku itu. Citra menenangkanku dengan cara mengelus bahuku yang sedikit berguncang. 

"Ri,  ini bau apaan?" tanya Citra sembari menggerakkan cuping hidungnya,  aku pun juga mengikuti gerakan yang dilakukan oleh Citra,  seketika itu juga mataku membulat,  dan benar saja ternyata tempe yang sedang aku goreng sudah gosong. 

"Ya ampun Citra,  masakanku gosong!" pekikku dan bergegas mematikan kompor yang masih menyala. 

Citra yang melihat aku mengangkat tempe gagal tersebut bukannya membantu justru menertawakanku dengan kencang. 

"Ya ampun Ri,  kita keasikan ngobrol dan baper-baperan, masakan mu jadi gosong tuh," ujar Citra masih dengan tawanya yang seperti senang di atas derita orang. 

"Issh ini semua gara-gara kamu,  jadi gosong masakan aku. Mana Zahra belum makan siang,  sementara uang di dompet tinggal dua puluh ribu untuk belanja besok, " ucapku dengan wajah sendu,  karena memang hanya itu yang bisa aku dan Zahra makan hari ini,  ditambah lagi uangku yang juga sudah habis. 

"Duh, maaf ya Ri,  ini aku cuma punya segini,  bisa buat beli lauk kamu makan sama Zahra." Citra menyodorkan selembar uang sepuluh ribu kepadaku. 

"Udah gak usah Cit,  di halaman depan ada daun singkong, biar aku petik dan masak lagi aja,  kamu juga pasti membutuhkan uang itu." Ya,  aku sangat tahu,  kondisi Citra tak jauh berbeda denganku,  ia juga tidak bekerja. Bukan kami tak mau bekerja tapi di zaman sekarang ini terlebih dengan adanya wabah di negeri ini Jangankan mendapatkan uang seratus ribu rupiah sehari,  bahkan mendapatkan uang seribu perak saja susahnya bukan main,  ditambah lagi susah mencari pekerjaan biarpun di negeri sendiri. 

"Udah Ri,  gak apa,  pakai saja. "

"Tapi Cit, ini kan ...."

"Assalamualaikum,  permisi." Sebuah suara menghentikan percakapanku dengan Citra,  sementara itu aku dan Citra saling pandang.

"Siapa Ri?"

"Gak tau Cit."

"Yaudah yuk liat aja ke depan. "

"Ayo temenin aku,  si Zahra biasanya jam segini tidur siang. "

Akhirnya aku dan Citra memutuskan untuk melihat siapa kah yang bertamu di siang bolong begini. 

***

"Maaf siapa ya?" tanyaku kala melihat di depan pintu rumahku sudah berdiri seorang laki-laki dengan pakaian rapi dan sepatu yang sangat mengkilap,  mungkin juga bisa dibuat berkaca.

"Maaf mengganggu,  kami dapat perintah untuk memberikan sembako kepada Bu Riri Novianti,  apa benar ini rumah beliau?"

"Iya benar,  saya Riri,  tapi sembako dari siapa?  Saya tidak ada pesan sembako, Pak? " 

"Oh ini dari bos kamu, Bu,  maaf saya izin untuk memasukkan sembako ke dalam rumah Bu Riri. "

"Oh iya tapi saya tidak pernah pesan, pak,  mungkin Bapak salah orang. "

"Kami tidak salah orang, Bu,  ini perintah dari bos kami,  tolong diterima ya, Bu,  karena kalau tidak maka kami akan dipecat," jelas pria itu panjang lebar,  dan dengan sangat terpaksa aku menerima pemberian yang katanya dari bos besarnya itu. 

Satu persatu sembako mereka masukkan kedalam rumahku, pria itu menyuruh beberapa anak buahnya untuk memasukkan sembako yang dibawanya. Isinya cukup membuatku tercengang,  ada beras dua puluh kilo, gula pasir lima kilo,  minyak goreng,  mi instan, telur,  susu,  dan masih banyak yang lainnya,  seperti beberapa camilan untuk anak-anak juga ada didalamnya. 

Aku dan Citra saling pandang karena sangat takjub melihat begitu banyaknya barang belanjaan yang mereka bawa untukku. Jujur selama ini belum pernah belanja sebanyak ini,  meskipun dulu saat Mas Anam pernah bekerja sebagai karyawan pun kami tidak pernah berbelanja sebanyak itu. 

"Kalau gitu saya permisi dulu,  Bu," pamit pria itu padaku. 

"Tapi Pak,  kalau boleh tau siapa bos yang menyuruh kalian? "

"Maaf, Bu,  kami tidak boleh memberitahu siapa beliau,  tapi Ibu tenang saja karena akan ada waktunya bos kami itu menunjukkan siapa beliau pada Ibu."

"Tapi Pak!" 

"Kami permisi dulu, Bu,  selamat siang,  assalamualaikum. "

"Waalaikumsalam."

"Gila Ri,  kamu punya penggemar rahasia juga ternyata,  wah,  aku gak sangka Ri," seloroh Citra saat orang-orang itu sudah pergi. 

"Apaan sih kamu Cit, yang ada aku takut tau gak."

"Takut kenapa? "

"Ya mana tau orang itu berniat jahat? "

"Berniat jahat gimana?  Lha kita ini orang susah,  mana ada orang yang mau melihat kita Ri,  jangankan memberi seperti ini, lha ngelihat kita aja kayak jijik. "

"Jujur apa yang Citra katakan ada benarnya juga,  kita ini orang miskin, jadi siapa yang sudi memberi kita seperti ini secara cuma-cuma,  ah,  aku jadi pusing, " batinku berperang antara akal waras dan tak waras.

"Heh,  malah bengong,  jadi gimana?"

"Gimana apanya?"

"Ya itu sembakonya,  kalau gak mau ya buat aku juga boleh, " seloroh Citra sembari terbahak. 

"Huuu dasar itu sih memang maunya kamu aja."

"Hehehe usaha dikit boleh lah kan. "

"Hemmm yah gak apa,  kalau mau ambil lah setengahnya,  toh ini juga banyak,  aku dan Zahra mana akan habis barang segini banyak."

"Wah,  serius kamu Ri? "

"Iya dong,  buat kamu sahabat terbaikku,  kalau kamu saja mau berbagi padaku dan Zahra saat kamu sendiri juga sedang susah,  lantas apa alasanku untuk tidak membalas kebaikanmu?"

"Owh,  Riri kamu memang teman terbaikku, " ucap Citra sembari memelukku erat. 

"Aduh,  lepas Cit aku gak bisa napas nih. "

"Hehehe maaf Ri,  habis aku terharu," ujar Citra dan aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Citra. 

***

Kejadian datangnya pria tak dikenal ke rumah dengan membawa sembako yang banyak padaku,  ternyata sudah menyebar ke seluruh desa. Aku menjadi buah bibir di desa, bermacam ucapan mereka tentangku,  yang Riri si jablay lah,  Riri si  perempuan gatel lah,  Riri si penjual kenikmatan,  mereka berikan julukan-julukan tak berperikemanusiaan padaku. .Semua itu mereka katakan tanpa mencari tahu dahulu seperti apa cerita awal mulanya,  semuanya mereka serap dan telan mentah-mentah fitnah-fitnah keji itu. 

Mau beribu kali aku mencoba menutup mulut kotor mereka pun percuma,  karena itu sama saja seperti menegakkan benang basah,  yakni melakukan hal yang sudah jelas akan sia-sia.  Jadi daripada aku menyusahkan diriku sendiri untuk berseteru dengan mereka, maka kubiarkan saja mereka mau berkata apa tentangku,  toh suatu saat kebenaran itu akan terungkap. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status