Aku berjalan menuju pintu dan bergegas membukanya, tapi pada saat aku membuka pintu, aku sedikit mengernyitkan dahi, karena ternyata yang datang bukan lah orang yang kukenal. "Assalamualaikum, maaf apa benar ini rumah Ibu Riri orangtua dari Zahra Putri? " "Iya benar. Bu, ada apa ya? ""Boleh saya masuk, Bu? ""Oh, boleh, Bu, mari silahkan, " ucapku mempersilahkan tamu tersebut masuk dan duduk di atas karpet di ruang tamu ku. "Maaf ya, Bu, lesehan, soalnya gak punya sofa. ""Ah, tidak apa-apa Bu Riri. ""Oh iya, maaf kalau boleh tau ada keperluan apa Ibu datang kesini? Dan sepertinya kita belum pernah saling mengenal kan sebelumnya? " ucapku bertanya pada wanita itu."Begini Bu Riri, sebelumnya perkenalkan saya Emi, saya ini guru Tk Ceria, tapi juga sebagai petugas bagian pendaftaran murid baru, jadi saya kesini mau menyerahkan formulir data diri siswa dan mohon Ibu Riri isi," jelas Bu Emi yang membuatku semakin bingung. "Maaf, maksudnya apa ya, Bu, saya gak ngerti? ""Jadi tadi it
"Benar dong Sayang, memangnya pernah Ibu berbohong sama Zahra? " "Nggak, Bu," Zahra menjawabku sembari tertawa, menampilkan deretan giginya yang ompong. "Ya Sudah, Ibu pamit kerja dulu ya, sebentar lagi Nenek Tiar akan datang, Ibu perginya sama tante Citra. "Iya Bu, Ibu hati-hati ya, " ucap Zahra dan kujawab dengan seulas senyum di bibirku. *** "Kamu kenapa Ri? Kok kelihatan lagi kayak ada masalah gitu? Coba cerita, mana tau aku bisa kasih solusi," tanya Citra padaku saat kami berjalan menuju pabrik. "Aku lagi bingung Cit. " "Bingung kenapa? " "Kamu masih ingat kan pria yang tempo hari ngasih aku sembako banyak banget, nah beberapa hari kemudian dia datang lagi dan memberikan amplop yang ternyata isinya uang sebesar Lima juta rupiah Cit, terus kemarin tiba-tiba saja ada orang mengaku dari Tk Ceria datang ke rumah, terus dia nyuruh aku isi formulir data siswa, katanya ada seorang pria yang ngaku kakeknya Zahra, daftarim Zahra masuk ke sekolah Tk itu Cit, tapi kamu kan tahu,
"Kamu yang sabar Mbak Riri, nanti aku coba cari tahu, aku tanyakan ke teman-teman, siapa tau ada yang mengetahui dimana Anam berada," ujar Toni, ucapannya sedikit memberikan angin segar bagiku. "Tolong kabari saya segera ya Mas, kalau Mas Toni sudah mengetahui keberadaan Mas Anam. " "Pasti Mbak, saya pasti akan kabari Mbak Riri kalau sudah tahu dimana Anam berada, kalau gitu saya permisi, yang sabar ya Mbak," ucap Mas Toni dan setelahnya ia berlalu. "Mas Anam, dimana kamu, Mas... " "Sabar Ri, nanti kita cari sama-sama. " "Tapi mau dicari kemana Cit? Aku tidak tahu dimana Mas Anam berada. " "Ri, jangan-jangan benar apa yang kukatakan tadi tentang suamimu yang ternyata ngasih semua itu sama kamu." Aku sedikit termenung, dan mencerna baik-baik apa yang Citra katakan. "Apa iya itu adalah Mas Anam? " "Tolong kabari saya segera ya Mas, kalau Mas Toni sudah mengetahui keberadaan Mas Anam. " "Pasti Mbak, saya pasti akan kabari Mbak Riri kalau sudah tahu dimana Anam berada, kalau gi
"Kamu? Kerja disini juga? Sebagai apa? " "Sebagai staff HRD lah secara lulusan ku kan D3, dan tugasku sekarang ya membagikan seragam kerja dan mendata siapa saja yang sudah mendapatkan seragam kerja itu, lalu kamu sendiri ngapain kesini? Oh kamu juga mau ambil seragam kerja ya? Pasti jabatannya juga jadi OG karena yah memang hanya itu sih yang pantas untukmu," ucap Bagas sembari senyum mengejek kearahku. Bagas ini sebelas duabelas sama Lintang, memang benar ternyata, pasangan itu cerminan diri, Lintang yang angkuh dan sok kaya itu sama halnya juga dengan Bagas, dia angkuh dan sok, padahal dia disini juga bekerja sebagai bawahan saja, tapi sombongnya udah ngalahin bosnya sendiri, kalau aku yang jadi boss nya udah kupastikan orang seperti si Bagas ini aku pecat. "Ya ampun aku ini ngelamunin apa sih, mau kayak apa si Bagas juga bukan urusanku, urusanku segera ambil seragam dan pulang, " gumamku dalam hati. "Heh, ditanya kok malah bengong, kamu mau ambil seragam juga? " ucapan Bagas
Sontak saja aku terkejut hingga tanpa aba-aba lagi aku meludahi wajah Bagas, dan tepat sasaran, air liurku seketika itu mendarat dengan mulus di wajah Bagas yang menjijikkan itu. "Cuih, jangan kegeeran kamu Bagas, bahkan jika aku menjadi orang termiskin di dunia sekalipun tak akan pernah aku menjual tubuh dan cintaku demi orang sepertimu, camkan itu! " tegas kepada Bagas. Kini wajah Bagas sudah memerah antara marah dan malu, tangannya mengepal dan seperti bersiap-siap ingin menerkamku. "Kurang ajar kau Ri, beraninya meludahi wajahku, kau pikir kau itu cantik ha! " "Lalu kalau aku tak cantik kenapa kau merayuku, apa kau sudah tidak laku lagi sehingga kakak iparmu pun kau rayu? Memalukan! " "Jangan sombong kau Ri, bahkan sepuluh kali wanita sepertimu bisa kudapatkan! " "Terserah aku tak peduli, mau sepuluh kek mau seratus sekalipun aku tak peduli, dan aku kesini hanya ingin mengambil seragam, berikan seragam itu dua buah karena aku kemari bersama Citra. " "Kau kira kau bos disi
"Zahra...," aku bergegas menuju rumah sembari setengah berlari, dan ternyata di dalam rumahku sudah ada Mas Tio dan juga anaknya Dea, umur Dea dan Zahra sama, hanya beda beberapa bulan saja. Aku masih terdiam sembari mengamati mereka, sementara itu Tio dan Dea juga Zahra posisinya tengah membelakangiku makanya mereka gak tau kalau aku datang, sedangkan Tante Tiar, Ibunya Citra entah ada dimana. Kulihat Zahra menangis sembari menarik sesuatu dari tangan Dea, dan Mas Tio yang menatap tajam Zahra dengan muka memerah, saat Citra ingin menghentikan Mas Tio dan Dea, aku mencegahnya, aku ingin melihat apa yang akan mereka lakukan pada anakku. "Lepaskan, itu berbie aku, Ibu aku yang kasih. " "Gak mau, sekarang ini punya aku, iya kan Pa? " tanya Dea pada Mas Tio. "Iya dong, Ibu kamu itu adik nya Pakde, jadi apapun yang kalian punya, Pakde dan Dea juga berhak memilikinya, " ucap Mas Tio dengan entengnya. Enak sekali dia berbicara begitu, apa dia tidak ingat saat aku membutuhkan bantuan d
"Lalu apa kau sudah sopan padaku Ri! Aku ini tamu, harusnya kau jamu, tapi malah kau pukuli pakai kayu. " "Iya tamu, lebih tepatnya tamu yang tak diharapkan, lagian Mas Tio mau apa sih kesini? Bukannya Mas Tio pernah ngomong kalau tak sudi menginjakkan kaki di rumahku karena najis takut ketularan miskin? " "Aku mau ambil sebagian sembako di rumahmu, aku dengar kau di kasih sembako sangat banyak, dan aku pikir kau tidak terlalu membutuhkan sembako sebanyak itu, jadi aku merasa sebagai abangmu aku juga berhak atas sembako-sembako yang kau dapatkan, " ucap Mas Tio tanpa beban, sedangkan aku dan Citra tak bisa menutup mulut kami yang menganga karena tidak habis pikir dan cukup terkejut dengan apa yang Mas Tio katakan. "Dapat ilmu darimana wahai abangky yang terhormat, bukankah kau bilang tidak ada yang gratis di dunia ini, dan jika kita saudara maka itu hanya sebuah julukan, tapi tidak dengan uang dan barang, dalam hal uang dan barang tidak ada yang namanya saudara, begitu
"Yaudah yuk masuk," aku mengajak Citra masuk ke dalam rumah, tapi belum sempat kaki kami melangkah, sebuah suara yang ku kenal memekakkan telingaku. "Riri! Orang miskin sialan ya kamu! Kamu apakan Mas Tio dan Dea ha! " Mbak Tiwi sudah berkacak pinggang sembari memaki di depan rumahku. "Kenapa gak tanya sendiri sama orangnya langsung?" "Aku sudah tanya, tadi katanya kamu memukul Mas Tio pake sapu, terus kamu juga gak kasih boneka barbie yang Dea minta, sekarang mana boneka barbie nya, juga sembako yang mau di ambil sama Mas Tio!" perintah Mbak Tiwi dengan gayanya yang angkuh. Cih, dia pikir dia siapa, dan aku tidak akan diam saja kali ini, sudah cukup orang-orang itu menghina dan menginjak-injak diriku selama ini. "Kalau aku tidak mau? " "Berani ya kau sama aku ha! Dasar orang miskin, kalau miskin ya miskin aja tapi belagunya bukan main. " "Ooo miskin ya, sudah tau miskin kenapa kau mengemis padaku? " ucapanku sontak membuat kedua mata Mbak Tiwi membelalak. "Siap