Kami tak lagi pulang ke hotel, tapi ke rumahku. Bi Surti menyambut dengan senang hati bahkan dengan semangat membuatkan pisang goreng kremes kesukaanku."Tehnya, Bu, Mbak." Bi Surti meletakkan sepiring pisang goreng dan dua gelas teh manis hangat."Terima kasih," ucapku dan Alia bersamaan."Sama-sama, Bu. Dede bayinya biar saya tidurkan di kamar, Bu."Aku menggeleng. "Biar aku saja, Bi. Sekalian mau rebahan sebentar.""Mau disiapkan apa untuk makan siang, Bu?""Terserah Bibi saja. Apa pun akan saya makan asal enggak beracun.""Ibu bisa saja."Aku tertawa kecil, lalu menoleh pada Alia. Menyadari dia menatap dalam diam, tawa ini berganti dengan senyum. Terlihat sekali dia mengkhawatirkanku."Mbak mau istirahat ke kamar, Al. Kamu juga istirahat. Bisa pakai kamar yang mana saja terserah kamu.""Aku temani Mbak dulu, ya." Dia ikut berdiri."Enggak usah, Al. Mbak juga mau tidur dulu sebentar. Capek.""Mbak ...." Alia menatap sendu padaku."Mbak enggak apa-apa. Jangan khawatir." Aku menyentu
Tangan terulur mengambil kemeja kesukaan Mas William. Kemeja yang sengaja kupilihkan untuknya dulu. Hati ini berdesir perih ketika tangan mengusap kemeja biru ini perlahan. Separuh hati masih ingin mempertahankan pernikahan kami, tapi separuh lagi sudah menyerah.“Mbak ….”Secepatnya aku berpaling membelakangi pintu dan mengusap pipi yang basah. Air mata ini tak bisa diajak kompromi. Seikhlas apa pun aku dengan keputusan yang diambil Mas William, tapi tetap saja sedih dan rasa sakit ini tak bisa kutampik.“Ya, Al.” Aku berbalik menghadapnya lagi dan tersenyum.“Mas Firman mau pamit pulang.”Aku mengangguk, lalu berjalan keluar kamar untuk menemui Mas Firman yang sudah selesai membereskan semua barang Mas William ke dalam beberapa koper.“Mas ….” Aku menyodorkan kemeja kesukaan Mas William yang tertinggal. “Ini tadi belum dimasukkan.”“Oh, iya.” Dia menerima kemeja tersebut dan langsung menyimpannya ke dalam koper. “Kalau begitu saya pamit. Pak William sudah menunggu saya di rumahnya.”
Harapan untuk kembali rujuk bersamanya memang ada, tapi sepertinya sia-sia. Aku hanya menanti sesuatu yang tak mungkin terjadi. Tak ada sinyal menuju ke sana.Dua hari ini sengaja kugunakan untuk mendekatinya. Dengan menekan rasa malu, aku selalu datang ke sana. Membiarkan Hafsha mengenal sang papa dan mencoba mengajaknya bicara walau Mas William tak pernah merespon. Mama dan Papa pun beberapa kali datang ke sini untuk menemui sang cucu, tapi keduanya tak bercerita apa pun tentang perkembangan Mas William.Memang kisah cinta kami harus berakhir sampai di sini. Percuma aku berharap dan berjuang kalau nahkodanya sendiri sudah menyerah."Semua sudah dibereskan, Al?" tanyaku pada Alia yang sedang mengemas oleh-oleh untuk orangtuanya."Sudah, Mbak. Apa ada yang mau dibeli lagi untuk di sana?"Aku menggeleng. "Mbak sudah pesan tiket online dari dua hari yang lalu. Sore ini kita berangkat.""Mbak ... yakin enggak mau mengulur waktu? Siapa tahu suami mbak—""Ssstt," potongku seraya menempelka
Semua barang sudah dimasukkan ke dalam taksi. Bi surti ikut mengantar ke stasiun walau aku sudah sempat melarang. Terus menitikkan air mata walau aku sudah memintanya agar tenang. Bi Surti tahu betul bagaimana sulitnya aku menghadapi kelakuan Alex dan berusaha mempertahankan rumah tangga dari orang ketiga.Namun, pada akhirnya semua perjuangan itu sia-sia. Aku sudah kalah. Kalah karena komunikasi di antara aku dan Mas William cukup buruk. Hingga menimbulkan banyak kesalahpahaman dan berakhir dengan perpisahan."Bibi sehat-sehat, ya. Jangan lupa vitaminnya diminum."Bi Surti mengangguk sambil menyeka air mata dengan ujung lengan baju."Ibu dan Non Hafsha juga harus sehat-sehat di sana. Bibi ingin Ibu tersenyum bahagia seperti dulu.""Insyaallah, Bi. Terima kasih atas semuanya, ya. Bibi sangat baik padaku selama ini. Nanti Bibi baru pulang kampung kalau rumahnya sudah laku disewa saja, ya. Enggak apa-apa 'kan, Bi?""Enggak apa-apa, Bu. Saya malah ikut senang bisa merawat rumahnya."Aku
Tak terasa waktu setahun lebih telah berlalu. Statusku telah menjadi janda untuk yang kedua kalinya. Tak jarang cibiran dari tetangga kuterima, tapi aku tidak mau ambil pusing. Mereka hanya bisa menilai dari luar tanpa tahu masalahnya apa.Wanita mana yang mau menjanda? Semua juga pasti menginginkan pernikahan yang bahagia dan utuh. Namun jika takdir berkata lain, kita bisa apa?Aku masih sering komunikasi dengan orangtuanya Mas William dan Alex. Mereka sering melakukan panggilan video agar bisa melepaskan rindu pada cucu perempuannya. Sementara, Mas William sendiri tak pernah melakukan itu sekali pun.Kami lost kontak. Padahal, bisa saja dia menghubungi kalau memang mau. Entah dia sungguh menyayangi putri kami atau tidak. Apa dia tak merindukan Hafsha?Orangtuanya pun tak pernah bercerita tentang Mas William. Pun aku memilih tak ingin bertanya apa pun. Aku lelah harus selalu merendahkan diri.Sudah mencoba beberapa kali menghubungi nomornya yang kudapat dari Mama, tapi selalu ditolak
Sudah cukup lama kami menghabiskan waktu di taman ini, tapi Hafsha masih terlihat senang bermain dan enggan pulang. Aku yang tengah duduk memangkunya di ayunan ini menoleh ketika Alia mencolek lengan."Kenapa, Al?""Mbak merasa diperhatikan orang enggak?""Maksudnya?"Alia menunjuk ke sisi kiriku dengan dagu dan isyarat mata. "Dari tadi cowok yang di sana lihatin kita terus."Aku ikut melihat ke arah yang dimaksud, dan menemukan pria yang sempat bersenggolan tadi tengah duduk di bangku yang tepat menghadap ke sini."Hanya perasaanmu saja, Al. Memang bangkunya saja yang menghadap kita.""Tapi aku beberapa kali mergokin dia lihat ke sini terus, lho.""Tadi, sih, mbak enggak sengaja nyenggol dia sampai hapenya jatuh. Apa jangan-jangan ... hape dia rusak dan marah?"Alia mengedikkan bahu."Kamu tunggu di sini. Biar mbak pastikan dulu. Enggak enak kalau hapenya benar rusak," kataku, lalu berjalan menghampirinya sembari menggendong Hafsha.Pria yang tak menampakkan rambut dan wajah ini foku
Orang yang ingin menjalin kerjasama dengan usaha baksoku sudah menghubungi Alia lagi. Sudah membuat janji untuk bertemu siang ini di sebuah kafe yang jaraknya tidak begitu jauh dari sini. Alia tadinya akan ikut, tapi batal karena harus mengantar ayahnya yang sakit ke klinik. Sementara, Hafhsa kutitipkan sebentar pada ibunya."Maaf, ya, Mbak. Aku harusnya ikut dan temani ke sana, tapi gimana.""Enggak apa-apa, Al. Santai saja. Yang penting ayah kamu dibawa berobat dulu. Apa kata dokter?""Belum diperiksa, Mbak. Masih nunggu antrian. Lumayan ramai ini pasiennya.""Oh, ya sudah. Kabari mbak kalau ada apa-apa, ya.""Iya," sahutnya sebelum panggilan telepon kami kuputus.Motor melaju dengan kecepatan sedang sampai akhirnya tiba di parkiran kafe. Pengunjungnya tak begitu ramai. Aku masuk dan mengambil meja di dekat kaca jendela.Sekian menit menunggu, akhirnya seorang pria yang cukup muda datang menghampiri meja."Dengan Mbak Lusi?"Aku mengangguk. "Andi?""Iya. Ini saya.""Silakan duduk."
Dada berdebar begitu saja melihat siapa yang ada di hadapanku sekarang. Aku hanya bisa mematung dalam kebisuan. Setelah sekian lama tak pernah bertemu ataupun komunikasi, tiba-tiba dia hadir tanpa pernah diduga.Aku tak bisa menampik perasaan bahagia dan haru yang menyelimuti hati. Namun, semua itu terhempas kembali ketika teringat dirinya yang tak menunjukkan i'tikad baik untuk menjalin komunikasi. Meskipun, hanya sekadar untuk bertanya tentang putri bungsunya."Apa kabar?" Pertanyaan Mas William kembali menyadarkanku dari kebekuan ini.Aku mencoba mengendalikan diri dan perasaan ini. Berusaha amemasang raut wajah tenang kembali walau tangan sedikit gemetar."Aku ... baik juga, Mas. Alhamdulillah," jawabku seraya meremas kuat gamis di pangkuan."Syukurlah." Dia tersenyum. Senyum manis yang dulu selalu membuatku terbuai dan tergila-gila.Aku memalingkan wajah ke sembarang arah. Lama tak bertemu membuatku merasa canggung sekaligus gugup."Aku—""Maaf, Mas. Aku ... izin ke toilet sebent