"Mbak enggak usah bohong padaku. Mbak rindu, kan? Enggak ada salahnya coba temui dia, Mbak. Siapa tahu ternyata memang hanya terjadi kesalahpahaman di antara kalian."
"Enggak mungkin, Al. Aku tahu jelas Mas William itu seperti apa. Dia akan melakukan apa pun untuk Alex. Sudah pasti pada akhirnya Mas William akan setuju untuk rujuk dengan mantan istrinya itu." Aku menengadahkan wajah. Mengerjap-ngerjapkan mata cepat agar air mata ini tak kembali luruh membasahi pipi.
"Semua masih fifty-fifty 'kan, Mbak? Bisa jadi itu hanya kesimpulan Mbak sendiri. Mungkin saja suami Mbak selama tiga bulan ini sedih dan kelimpungan mencari Mbak Lusi."
"Enggak tahu, Al. Tapi sepertinya enggak," jawabku pelan seraya memainkan jemari Hafsha hingga dia tersenyum lucu.
"Coba saja temui dulu. Enggak ada yang enggak mungkin 'kan selama Allah berkehendak? Apa enggak akan menyesal atau sedih kalau ternyata terjadi
"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Masuk, Al, Bu, Pak," jawabku ketika melihat ketiganya berdiri di ambang pintu. "Baru mbak rencana mau ke rumah kamu sekalian pamit pada Ibu dan Bapak.""Iya, Mbak. Habisnya Ibu ini enggak sabaran sekali mau bertemu Hafsha. Katanya takut nanti enggak bisa lihat lagi.""Boleh ibu gendong dulu Hafsha sebentar, Nak?"Aku tersenyum dan mengangguk.Ibunya Alia bergegas mendekati Hafsha yang sudah rapi, lalu menggendong sambil mengusap-usap kepalanya."Nenek akan rindu berat, nih, ditinggal kamu," ucap ibunya Alia, lalu mencium pucuk kepala Hafsha."Iya, Bu. Bapak juga pasti rindu sekali nanti." Ayahnya Alia ikut mendekat dan ikut mencium pucuk kepalanya."Kalau kalian sudah sampai, jangan lupa langsung kabari, ya. Jangan buat kami khawatir!""Insyaallah." Aku mengangguk."Tenang, Bu. Kan, ada aku. Nanti pasti kukabari terus. Jangan khawatir," timpal Alia."Iya. Kamu harus gantian gendong Hafsha kalau Nak Lusi capek.""Beres, Bu. Enggak dikasih tahu juga
Usai sarapan, kami pun langsung pergi menuju rumahku. Jantung berdetak cepat tak karuan. Kaki dan tangan bahkan tak berhenti bergerak-gerak sambil menggigit sudut bibir."Rileks, Mbak. Tarik napas dan dzikir. Insyaallah semuanya akan baik-baik saja." Alia menyentuh pundakku."Mbak deg-degan, Al," lirihku seraya memegangi dada yang berdebar kencang.Alia hanya tersenyum, lalu mengusap pipi Hafsha yang sedang memainkan khimarku.Sepanjang perjalanan dari hotel ke rumah, tak henti-hentinya dzikir kulantunkan di dalam hati. Meskipun, itu tidak berhasil mengurangi kegugupan dan ketakutan akan apa yang terjadi nanti.Sanggupkah aku menerima kenyataan jika benar Mas William sudah berpaling dan ternyata telah menikah siri dengan Indira?Aku menggeleng cepat demi mengusir pikiran negatif. Berusaha berpikir
"Ayo, Bu, masuk!" ajak Bi surti setelah mengembalikan Hafsha pada Alia.Aku menggeleng. "Aku akan kembali ke tempat tinggalku yang baru, Bi. Tempat kami sudah bukan di sini lagi. Biarkan Mas William bahagia dengan kehidupan barunya," terangku, lalu melambai pada taksi yang lewat."Tapi, Bu ....""Enggak apa-apa, Bi. Aku sudah ikhlas. Mungkin sudah jalan hidup kami harus seperti ini.""Ibu ....""Ini ...." Aku merogoh amplop putih dan meletakkannya di telapak tangan Bi Surti. "Anggap ini sebagai tanda terima kasih atas kebaikan Bibi selama ini. Aku bersyukur bisa mengenal Bibi. Bibi jaga diri baik-baik, ya. Jaga kesehatan dan titip rumah dulu." Kupeluk sekilas Bi Surti yang terisak pelan. "Ayo, Al!"🍁🍁🍁"Bu ... tunggu, Bu. Ibu harus bertemu dengan Bapak dulu." Bi Surti mengejar kami yang bersiap naik taksi.
Tak henti-hentinya aku terisak di mobil walau Alia sudah berusaha menenangkan. Rasa sesal dan bersalah ini begitu menyiksa. Akibat keegoisan dan nafsu yang didahulukan, aku sampai tak bisa melihat kebenaran. Tak bisa berpikir jernih dan mencoba mencari tahu semuanya dulu. Kini, menyesal pun rasanya percuma. Semua sudah terjadi.Entah Mas William akan memaafkanku atau tidak. Aku pun tidak berharap banyak karena kesalahan ini memang besar. Andai waktu bisa diputar ulang. Sayang, itu hal mustahil. Nasi telah jadi bubur. Fokusku sekarang berusaha mendapatkan maaf dan ridanya walau kemungkinannya kecil."Ayo, Lus," ajak Indira ketika kami sudah sampai di kediaman Papa dan Mama.Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Menghapus jejak air mata sebelum akhirnya turun menyusul Indira dan Alia. Baru saja kami maju beberapa langkah, Mama dan Papa sudah lebih dulu keluar.Langkahku terhenti seketika dan berdiri tertegun dengan mata berkaca-kaca. Merasa malu dan bersalah atas apa
Sebulan yang lalu, ternyata Mas William mengalami kecelakaan hebat ketika sedang mencariku dengan menggunakan sepeda motor. Motor dan tubuhnya sama-sama ikut terseret truk beberapa meter. Dia mengalami pendarahan hebat di kepala yang membuatnya sempat koma dua hari. Tak hanya itu, Mas William juga mengalami patah tulang di bagian pergelangan kaki dan cedera tulang bagian belakang.Dokter mengatakan kedua kakinya bisa kembali berfungsi normal selama Mas William mau sabar mengikuti terapi, tapi dia menolak. Lebih memilih diam tak berdaya di kursi roda walau semua orang telah membujuknya. Bahkan, obat yang seharusnya diminum pun sering kali ketahuan malah dibuang.Mas William benar-benar tak mempedulikan kesehatannya sendiri. Kepergianku telah mengubahnya menjadi pria yang dingin. Dia tak pernah mau diajak bicara walau oleh Alex sekalipun. Kesehariannya hanya merenung di balkon kamar dan halaman belakang.Seminggu lagi Mas William tidak akan ada di sini. Setelah kepergianku dan kecelakaa
"Jangan katakan itu, Mas. Jangan ....""Kenapa? Bukankah kamu juga melakukan hal yang sama? Kamu pergi seenaknya tanpa memikirkan perasaanku. Sekarang, gantian aku yang akan pergi jauh. Gantian aku yang akan meninggalkanmu sendirian.""Enggak, Mas. Enggak. Jangan pergi ...." Aku menggeleng cepat."Kenapa jangan? Ini harus kulakukan supaya kamu tahu bagaimana menderitanya aku selama ini. Supaya kamu tahu bagaimana rasanya ditinggal orang yang kita cintai tanpa kepastian. Sakit, Lusi, sakit!" Mas William memukul-mukul dadanya sendiri."Kamu sudah membuat setengah jiwaku mati. Kamu membuatku setiap hari hidup dalam kubangan penyesalan dan keputusasaan. Aku rasanya hampir gila, Lusi. Hampir gila! Setiap hari aku enggak bisa tidur tenang karena memikirkan keselamatanmu. Memikirkan bayi kita! Di mana perasaanmu, huh?""Ampun, Mas. Tolong ... jangan pergi, Mas. Jangan tinggalkan aku.""Bangun, Lusi. Bangun!" Kedua tangan Mas William berusaha menarikku yang bersimpuh di kedua kakinya ."Engga
"Semuanya sudah selesai. Ayo kita pulang, Al!""Mbak." Alia menahan pergelangan tanganku yang hendak masuk ke dalam. "Coba bicarakan kembali."Aku tersenyum seraya melepaskan perlahan cekalannya. "Keputusan Mas William sudah bulat, Al. Dalam pandangan agama, ucapannya sudah jatuh talak. Mungkin ini hukuman karena dosaku yang telah meninggalkannya selama ini.""Mbak ...." Tetesan air mata Alia semakin deras dengan tatapan sendunya."Jangan nangis. Mbak enggak apa-apa. Mbak ikhlas. Ayo." Kuraih pergelangan tangan Alia, lalu menuntunnya yang masih terisak agar mengikutiku ke dalam.Papa, Mama dan Indira yang sedang menjaga Hafsha serempak menoleh. Sempat Mama meminta agar kami menginap di sini sebelum beliau tahu yang sebenarnya. Akan tetapi, aku menolak dan menceritakan bahwa hubunganku dan Mas William telah berakhir.Mama menangis sambil memelukku erat. Tak henti-hentinya mengatakan dirinya menyesal karena telah ikut andil dalam perpisahan kami ini. Bahkan, ini pertama kalinya aku meli
Kami tak lagi pulang ke hotel, tapi ke rumahku. Bi Surti menyambut dengan senang hati bahkan dengan semangat membuatkan pisang goreng kremes kesukaanku."Tehnya, Bu, Mbak." Bi Surti meletakkan sepiring pisang goreng dan dua gelas teh manis hangat."Terima kasih," ucapku dan Alia bersamaan."Sama-sama, Bu. Dede bayinya biar saya tidurkan di kamar, Bu."Aku menggeleng. "Biar aku saja, Bi. Sekalian mau rebahan sebentar.""Mau disiapkan apa untuk makan siang, Bu?""Terserah Bibi saja. Apa pun akan saya makan asal enggak beracun.""Ibu bisa saja."Aku tertawa kecil, lalu menoleh pada Alia. Menyadari dia menatap dalam diam, tawa ini berganti dengan senyum. Terlihat sekali dia mengkhawatirkanku."Mbak mau istirahat ke kamar, Al. Kamu juga istirahat. Bisa pakai kamar yang mana saja terserah kamu.""Aku temani Mbak dulu, ya." Dia ikut berdiri."Enggak usah, Al. Mbak juga mau tidur dulu sebentar. Capek.""Mbak ...." Alia menatap sendu padaku."Mbak enggak apa-apa. Jangan khawatir." Aku menyentu