Jujur ada perasaan senang, tapi entah kenapa ada satu sebab yang muncul di dalam dada yang pada akhirnya menuntutku untuk bersikap sebiasa mungkin. "Mama, Papa datang," teriak Aa begitu bahagia. Aku hanya tersenyum dan melangkah masuk perlahan. Kusalami mantan papa dan mama mertua lalu mengucapkan tangan ke arah Mas Rian yang terlihat lebih kurus dari dahulu. Wajahnya lebih tirus apalagi dengan model rambut cepak tipis. Ya Allah, kasihan sekali jika melihatnya demikian. Sosok yang dahulu begitu gagah, kini lemah tak bersemangat. "Sudah lama, Ma?"Kualihkan kedua netra dari Mas Rian dan melempar pertanyaan pada mantan mama mertua."Baru sekitar lima belas menit yang lalu.""Owh, sudah lama balik ke Indonesia?""Baru nyampe kemarin. Seharusnya Rian masih istirahat, tapi dia udah nggak bisa nahan pengen ketemu Aa, Lita sama kamu."Wajahku langsung tertuju kembali pada Mas Rian. Dia hanya sedikit menarik bibirnya lalu menunduk."Lita mana, Ma?" tanyaku kemudian pada Mama."Lagi ganti p
Melihatku, dua netranya basah lagi."Kau pasti melihatku tadi dipermalukan di depan umum, iya 'kan?""Iya, aku tidak mungkin menutup mata karena memang kejadiannya di depan mataku."Dia tersenyum menyembunyikan tangisannya."Puas? Puas kau melihat aku dipermalukan seperti itu?""Kau selalu berpikir aku akan bahagia jika melihatmu sengsara. Apa kamu pikir hatiku sekotor itu?"Dia terdiam, tapi langkahnya tak terangkat sedikitpun."Sudahi memperburuk citramu sebagai dokter, Fris."Dia menatapku dengan tatapan yang begitu dalam, seperti ingin minta tolong tapi mungkin keangkuhan diri tak dapat membuatnya berserah begitu saja."Percayalah masih ada lelaki single yang baik-baik yang berhak kau cintai."Dia masih bergeming, tapi air mata jatuh perlahan di kedua sudut. Dengan kasar Friska mengusap pipinya."Anak-anakmu pasti akan senang jika melihatmu bahagia, sebab itu gapailah bahagiamu dengan tidak menyakiti hati orang lain, Fris."Aku tak lagi menunggu, setelah mengatakan kalimat terakhi
Sudah biasa jika aku menelpon, dia tak mengangkat. Tapi apa kali ini pun tetap sama, setelah pertemuan kami tadi?Satu kali panggilan dibiarkan sampai berhenti dengan sendirinya, tapi aku masih merasa tak boleh menyerah, kembali kulakukan panggilan ulang.Tut ...Tut ..."Hallo."Diangkat?Kupikir ini adalah sebuah keajaiban yang berhasil membuat perasaan ini amat sangat bahagia."Syaina.""Aa sudah tidur Mas, jika mau bicara dengannya besok pagi saja."Dia langsung ke pokok tujuan, seperti biasa saat aku menelpon."Jangan ditutup dulu telponnya, jika Aa sudah tidur tidak apa. Tapi apa apa boleh Mas bicara dengan ibunya saja?"Dia terdiam beberapa waktu, hingga kembali menjawab,"Maaf Mas, saya juga mau istirahat. Assalamualai-""Tunggu sebentar.""Ada apa lagi?""Besok apa kamu ada waktu? Aku ingin mengajakmu dan anak-anak ke suatu tempat.""Maaf Mas aku udah janjian sama Mbak Fera mauke salon. Mas kalau mau jalan-jalan sama Aa, datang aja seperti biasa."Sudah dua bulan semenjak ka
Aa tersenyum ke arahku, entah kenapa dua netra ini langsung menatap ke depan memastikan siapa supir taksi ini. Seketika harus kumembuang napas kasar menyaksikan senyum semringah Mas Rian yang duduk di balik kemudi. "Silahkan masuk Mbak, saya akan mengantar sampai tujuan." Entah kenapa melihat kelakuannya aku sedikit kesal. "Nggak ada kerjaan lain, Mas?" Mas Rian terdiam, tahu aku tidak suka. "Ini taksi siapa?" "Taksi orang Ma, Papa bayar untuk jemput Mama dan ajak aku jalan-jalan." Aku menghela napas panjang melihat sikap mantan suamiku itu. "Mas nggak perlu repot-repot seperti ini, aku bisa pulang sendiri." Masih berdiri di depan pintu, aku mencoba menolak ajakannya. "Nggak repot kok, tadi Aa yang bilang kalau mobilmu di pinjam Arif. Makanya Mas sekalian yang jemput." "Ayo Ma, masuk." Ajakan Aa membuat egoku sedikit turun, lalu dengan sungguh terpaksa aku melangkah masuk dan duduk di samping Aa. "Mau langsung pulang atau keliling-keliling dulu." "Pulang." "Keliling-kel
Sudah dua hari aku di Jakarta untuk menjalani serangkaian pemeriksaan guna menunjang diagnosa pasti, setelah pemeriksaan biopsi kemarin. Hari ini hasil pemeriksaan MRI tersebut keluar, entah kenapa ada rasa deg-degan saat memasuki ruangan teman sekaligus dokter yang menanganiku saat ini. Aku melihatnya mengeluarkan sebuah amplop besar, lalu menghela napas berat."Glioblastoma?" tanyaku lirih tanpa membaca sendiri penampakan pada lembaran pemeriksaan itu.Dia mengangguk, sungguh membuat dada ini menyentak kuat."Apa ini tidak salah? Mungkin hasilnya keliru, lakukan MRI sekali lagi," ucapku dengan suara bergetar sembari menggoyang-goyangkan bahunya."Pemeriksaan yang sudah dilakukan itu dikerjakan dengan sangat teliti."Tubuhku terhempas kembali pada sandaran kursi mendengar jawabannya, sementara degup jantung seolah berhenti. Sungguh kecewa dengan apa yang kuketahui kini."Aku tidak percaya, aku akan ke Singapura untuk mengecek ulang. Pasti ini ada yang keliru,"ucapku kemudian menund
"Rian sakit, Sya. Ca otak."Sejenak, jarum jam seperti berhenti berdetak. Aku tak ingin percaya dengan apa yang kudengar ini."Tolong jangan beritahu Aa, sebenarnya Rian tak mengijinkan Mama memberitahu siapapun termasuk kamu karena dia tidak mau membuat kalian susah. Tapi Mama nggak sampai hati melihatnya berjuang seorang diri. Mungkin dengan kehadiranmu, Aa dan Talita, semangat hidup Rian akan semakin besar."Aku masih terdiam, bibir ini terasa kelu."Papa kenapa, Ma?"Suara Aa membuyarkan lamunanku yang tengah menelaah perkataan mantan mama mertua."Papa sakit demam, Nak."Aku terpaksa berbohong demi mengiyakan perkataan ibunda Mas Rian untuk tidak berterus terang pada Aa."Kalau begitu, ayo Ma kita jenguk Papa.""Iya Nak, sebentar Mama tanya sama Nenek Papa sekarang dirawat dimana?"Aa mengangguk dan kembali duduk tenang."Apa Aa menanyakan Papanya?""Iya Ma.""Jangan sampai Aa tahu perihal ini ya, Sya.""Baik, Ma. Aku akan berusaha untuk menutupinya.""Terima kasih Syaina."Baru
Dengan ribuan perasaan bersalah aku menyusul Aa ke kamarnya."Aa, buka pintunya, Nak."Ternyata Aa benar-benar marah padaku hingga ia sengaja mengunci pintu kamar."Maafkan Mama, Nak. Mama benar-benar merasa bersalah.""Aa nggak mau buka pintu. Aa mau sendiri."Aku menghela napas berat, terasa teramat sakit di dalam dada, karena kecewa dan penyesalan menghujam begitu tajam. Ya Allah, kenapa aku bisa lepas diri seperti tadi?Jujur jika tadi Aa mengira aku menampar, sebenarnya tidak. Aku hanya reflek menyentuh pipi Aa sebagai isyarat agar dia bersikap baik. Tapi tetap saja ditengah kemarahan mungkin Aa merasa itu adakah sebuah pukulan."Maafkan Mama, A."Tak bisa kubendung, akhirnya air mata jatuh jua di kedua pipi. Aku takkan bisa duduk tenang jika Aa masih mengurung diri di kamarnya."Tolong Nak, buka pintunya. Ijinkan Mama bicara.""Nggak!""Aa nggak sayang Mama lagi, ya?""Mama yang nggak sayang Aa lagi.""Siapa bilang, anak Mama cuma Aa sama Dedek. Jadi semua kasih sayang yang Mama
Setelah beberapa detik saling berpandangan, Mas Rian menyunggingkan selarik senyum. Sementara diri ini masih terpaku."Ma, Kalau Papa ada di sini. Berarti besok Papa bisa nemani Aa ikut wisuda donk?"Wajah kini tertuju pada Aa yang tingginya hampir sejajar denganku saat ini."Iya, Nak. Kalau Papa nggak ada kesibukan tentu bisa ikut ke acara wisuda Aa.""Yey, asyik."Aa tampak sangat bahagia, bagaimana tidak dari kemarin dia sudah berandai-andai padaku tentang kehadiran papanya. Dan hari ini Allah langsung menjawab tunai doa Aa.Kuajak si Sulung untuk duduk kembali di kursi tamu. Selain Mama, juga ada Talita yang duduk di di sebelah Mas Rian. Tangannya menggandeng lengan sang Papa. Kupandangi kembali mantan suami yang memakai topi untuk menutupi kepala."Nyetir sendirian Mas kemari?""Iya, tapi dari Jakarta ke Purwokerto disupiri Pak Kasim.""Ooh. Sudah berapa hari di sini?""Baru sampai tadi subuh."Aku mengangguk pelan."Gimana pendaftaran masuk pesantrennya, apa ada kendala?" tanya