“Maya ….” Riana gegas berdiri, dia merentangkan tangan saat melihat sahabatnya itu berlari menuju ke arahnya. “Mas Jagat, May, Mas Jagat ….”Tangisan Riana melolong panjang, membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi teriris. Kedua perempuan itu saling menautkan lengan. Maya membiarkan Riana menangis beberapa lama dalam pelukannya.“May, ini semua salahku, salahku ….” Riana meracau di sela-sela tangisannya.“Ssst … jangan ngomong gitu, Ri. Kamu sama sekali enggak salah,” sahut Maya lembut. Tangannya terus mengelus-elus punggung Riana dengan sayang. “Tapi ini salahku, udah teledor enggak ngunci pintu rumah.” Tangis Riana pecah lagi. Tangisan yang demikian menyayat hati, membuat Maya ikut meneteskan air mata.“Sudah, Ri, sabarlah, ayo kita duduk.” Maya membawa Riana pada bangku di mana tadi perempuan dengan rambut sebahu itu duduk. Maya sibuk menghalau air mata yang tumpah ruah di wajah sahabatnya, meski pipinya sendiri pun sudah basah.Dengan tangan bergetar, Riana susah payah membu
“Hah?”“Apa?”Riana terpekik. Begitu kencang hingga petugas yang berada dalam ruangan itu mendatangi dia dan memperingatkan untuk tidak berbicara terlalu kencang sebab dikuatirkan akan mengganggu pasien lainnya.“Kalau Ibu tidak bisa tertib, saya terpaksa akan meminta Ibu keluar dari sini,” tukas petugas itu judes. Dia petugas yang lain, bukan lelaki yang tadi mengantar Riana masuk. Lirikan mata petugas itu tajam mengintimidasi.“Maafkan saya, barusan saya terkejut, jadi spontan menjerit. Saya janji enggak akan berisik lagi,” sahut Riana seraya mengangguk, disusul dengan bentuk mulutnya yang membuat seringai malu. Sedetik kemudian dia merasa bodoh, kenapa harus memberi alasan panjang begitu? Sebenarnya cukup dengan ucapan maaf saja.Saat pandangannya kembali kepada Jagat, lelaki itu tengah tersenyum kecil.“Terus kita harus gimana, Mas?” Riana bertanya. Nadanya terselimut segaris kekalutan.“Yah, sekarang aku akan buktikan sama kamu, Dek.”“Buktikan apa? Dengan membahayakan diri Mas s
“Wah, ngawur sekali tuduhan Anda. Anak saya itu terpelajar, lulusan dari luar negeri, jadi tidak mungkin berbuat semacam itu. Apalagi Jagat adalah adik kandungnya sendiri. Sudah jelas mustahil sangkaan Anda, sama sekali tidak berdasar!” Sulis menyangkal mati-matian informasi dari dua orang lelaki yang sedang duduk di ruang tamunya.Sementara sang suami terus menerus membantah, Widya hanya terpaku di sofa. Air mata sudah merembes keluar sedari tadi, ketika perempuan lima puluh satu tahun itu membuka pintu rumahnya. Menemukan dua orang yang mengaku dari kepolisian, yang datang untuk mencari anak sulungnya.“Pak Junantyo dilaporkan karena kasus penganiayaan dan tuduhan percobaan pembunuhan.”Rasanya seperti sedang bermimpi bermain air hujan lalu tiba-tiba tersambar petir. Itulah gambaran yang sedang dirasakan Widya. Badannya menggigil dingin , namun dadanya terbakar emosi. Bagaimana mungkin Tyo dituduh melakukan penganiayaan kepada Jagat?“Maka dari itu kami datang kemari untuk melakuka
“Ri, bukankah itu mertua kamu ya?” Ibu menyenggolkan siku tangannya ke pinggang Riana.Riana terlonjak kecil, segera dia mengikuti arah mata ibunya.Benar. Di sana, di koridor lain dia melihat Papa dan Mama setengah berlari. Arahnya ke sana kemari seperti anak ayam mencari induknya. Tiba-tiba Ibu berdiri dan bergerak, namun Riana gegas menarik tangan Ibu.“Jangan disambut, Bu, biarin aja,” bisik Riana tajam.“Tapi itu mereka pasti lagi cariin kita, keliatan bingung gitu, Ri.”“Udah biarin, Bu, pura-pura kita enggak liat aja.”Sang Ibu menghela napas dan menurut. Kaki yang semula sudah tegak lurus, kini Ibu tekuk kembali dan beringsut duduk.Dengan ekor matanya, Riana terus memindai Papa dan Mama. Terlihat mereka sedang bertanya kepada seorang perawat yang kebetulan lewat. Tiba-tiba mata Riana dan Mama tertumbuk. Riana langsung melengos, berpura-pura melihat ke arah lain.Kedua orang tua suaminya itu kemudian mendekat. Semakin dekat, Riana menjadi semakin tegang. Terakhir kali dia bert
“Nah ini, orangnya, ini kan?”Seorang perempuan muda menuding-nuding Riana dan Ibu. Mereka berdua baru saja keluar dari taksi dan sampai di rumah Riana.“Hei, ada apa? Sopan dong, ini orang tua!” Riana menjadi emosi. Sejatinya dia sedang pusing mengenai suaminya, ditambah ada gadis berteriak seraya mengacungkan telunjuk ke wajah ibunya.Gadis itu agak terkejut, dan terdiam sesaat. Namun kemudian dia melotot menatap Ibu dan berkata, “Bu, tanggung jawab dong. Udah bakar rumah orang malah minggat seharian.”Riana langsung maju dan menghadap ke mata si gadis persis. “Kamu sekolah enggak sih? Diajarin sopan santun enggak? Lagian yang punya rumah itu saya, bukan Ibu saya. Saya enggak minggat, saya lagi ngurus suami saya yang kebakar di rumah sakit. Tau enggak?!”Riana melengking tinggi. Segala beban dan kegundahan seakan keluar semua dari teriakannya. Ibu sampai harus menarik Riana mundur, kuatir jika terjadi aksi lanjutan yang tidak diinginkan.“Bu Jagat,” Mbah Nimung, si pemilik rumah yan
“Aduh, mati kita!” pekik Sulis. Di kejauhan dia melihat gerbang rumahnya sudah dikerumuni banyak orang. Masih orang-orang yang tadi pagi. Jumlahnya memang tidak sebanyak tadi tetapi kalau dilihat dari wajah-wajah kesal mereka, agak ngeri juga.“Gimana, Pa? Kita putar balik aja?” sahut Widya memberi usulan. Dia tidak kalah paniknya dengan Sulis. Memang aura bar bar terasa sekali di gestur orang-orang di sana. “Eh, tapi kalau mereka malah merusak rumah kita gimana, Pa?”“Duh, jadi gimana ini? Mau putar balik atau lanjut?” Sulis naik emosi.“Hei, itu mobilnya!” Salah seorang dari warga menangkap kendaraan roda empat yang dikendarai Sulis dan istrinya.“Hei, jangan kabur!”“Jangan kabur!”Seketika suasana menjadi ramai dan berisik. Beberapa warga muncul dari dalam rumah, lalu mulai bergabung dengan yang lain.Sulis melirik Widya.“Ya udah deh, Pa, kita hadapi bersama,” kata Widya pasrah.“Ya, tapi Mama tetap waspada, hape standby, jaga-jaga kalau anarkis, langsung hubungi polisi.”Mobil m
“Ada apa ke sini?” Arman menunjukkan muka sinis ketika melihat Widya menuntun Tyo mendatangi kamar Jagat.“Ijinkan kami ketemu Jagat sebentar ya, Pak Arman.” Widya yang menjawab. Sedang Tyo memalingkan muka ke arah yang lain. Lelaki itu sebenarnya malu, tetapi yang dibaca oleh bapak kandung Riana adalah kesombongan dan keangkuhan.“Udah jatuh juga enggak ada sadar-sadarnya,” gerutu di dalam batin Arman.“Pak Arman, boleh ya, sebentar … saja.” Widya sampai harus memohon dengan mengatupkan kedua tangannya.Arman mengedikkan bahu. “Terserah.”Mendapatkan lampu hijau, Widya spontan menampilkan senyuman. “Makasih Pak Arman, ayo, Yo!”“Gat,” Widya memanggil anaknya yang terlihat sedang melamun. Meskipun TV layar datar yang cukup besar di kamarnya menyala, Jagat terlihat memandangi langit-langit dengan tatapan kosong.Jagat menoleh, tampak terkejut, namun segera dia bisa mengatasi keadaan.Widya reflek menutup mulutnya ketika semakin mendekat dan melihat jelas sosok Jagat. Separuh wajah anak
“Kamu pikir dengan menangis bisa membuat Riana kembali ke kamu, Gat? Riana itu sudah menjadi perempuan kuat, akan tidak sebanding—““Kak Vivi,” potong Riana cepat. “Kapan datang? Ayo kita bicara di luar.”“Kali ini aku ada perlu sama Jagat, Ri.”Riana menghela napas, kemudian bergegas mendekati Vivi. “Boleh kasih waktu kami sebentar, Kak? Ada sesuatu yang penting yang perlu kami diskusikan dulu.”Vivi menatap tidak suka pada Riana. Baru sekali ini ada orang yang berani mengusirnya.“Sebentar aja, Kak, lima menit ….” Riana spontan memegang erat lengan Vivi. Perempuan cantik berkulit putih cemerlang itu melirik tajam tangan Riana.Vivi mendengkus sembari mengibas, tetapi dia pergi juga.“Mas.” Riana mendapatkan Jagat kembali. Tangis Jagat sudah usai. Mungkin bentakan Vivi manjur, atau lelaki itu malu, atau memang air matanya sudah habis karena terlalu banyak menangis. Entahlah, tetapi untuk itu Riana menghadiahi sang suami dengan senyuman manis yang tulus.“Aku bantu cuci muka ya.”Jaga