Hujan telah membuat lalu lintas menjadi terhambat, juga membuat Arumi hampir terlambat mengikuti jam kuliah pagi karena tertidur lelap. Sebenarnya bukan salah hujan, tetapi karena salahnya sendiri karena semalaman tidak bisa memejamkan mata. Pukul empat pagi ia baru merasakan mengantuk dan tertidur pulas sampai pukul tujuh. Apalagi yang membuatnya susah tidur selain memikirkan Ray.Jam kuliah memang dimulai pukul delapan lebih, tapi Arumi adalah tipikal perempuan yang bisa menghabiskan waktu sangat lama di kamar mandi, belum lagi mencatok rambut dan mengenakan berbagai riasan wajah.“Sial hujan! Aku selalu membenci hujan. Aku jadi telat!” Arumi mengomel di depan cermin rias besarnya.Jam tujuh lebih tiga puluh lima menit, Arumi menyemprotkan parfum mahal yang selalu menjaga wangi tubuhnya tetap segar. Ia kembali meletakkan botol kaca kecil itu dengan tergesa, lalu berjalan tergesa meninggalkan apartemennya menuju kampus yang jaraknya tidak jauh. Ia pergi ke sana dengan taksi online.S
[Sore nanti, pemotretan jangan terlambat]Re Kosmetik.Arumi menyeringai senyum setelah membaca pesan singkat itu. Ia terlalu sibuk dengan perasaannya, sampai-sampai lupa bahwa ia punya beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Setidaknya dengan kesibukan yang ia miliki ia bisa sejenak melupakan masalah dalam kehidupannya. Ia kembali menggulir layar ponselnya, mengetikkan nama Ray namun tidak ada sepatah pesan pun dari laki-laki itu. Padahal ia sangat menantikan pesan itu. Ia begitu cemas dan khawatir, sikap Ray perlahan menunjukkan kesungguhannya untuk meninggalkannya.“Apakah Ray benar-benar meninggalkanku? Setega itu?” Arumi menggigit bibirnya yang semerah stroberi.Kehilangan dan ditinggalkan telah menjadi ketakutan terbesar setiap orang. Sementara Arumi, ia bukan hanya takut kehilangan, ada istilah lebih buruk lagi yang mungkin akan orang-orang celotehkan. Yakni dibuang, seperti sampah atau barang yang sudah tidak berguna lagi.“Ray … kumohon jangan tinggalkan aku …” batinnya.
Semua yang terjadi tetap takdir, hanya saja tidak setiap hal yang ditemui adalah sesuatu yang bisa dimiliki seumur hidup. Hati manusia bukanlah sesuatu yang tidak bisa berubah, dan pola pikir adalah sesuatu yang terus tumbuh. Benar atau salah, egois atau tidak. Terkadang semua hal itu memang tidak ada artinya lagi.“Aku harap aku cukup lapang untuk menghadapi semua ujian ini.” Sepia memejamkan matanya dalam-dalam.Hanya sebentar lagi, ia harus menghadapi proses perceraian. Lalu setelah itu ia akan memulai sesuatu yang benar-benar baru. Menjadi orang tua tunggal untuk putranya sekaligus berperan menjadi ayah dan ibu dalam waktu bersamaan. “Semoga aku bisa …,” batinnya lagi.Kedua mata Shabiru kembali terpejam dalam pangkuan Sepia, sesekali sorot cahaya masuk menerpa wajahnya. Jauhnya perjalanan membuat anak itu letih. Ya, sekarang mereka sudah pergi jauh. Tidak ada lagi sosok ayah yag selalu megisi hari-harinya, tapi bukan berarti Sepia akan egois dengan tidak membiarkan anak itu berte
Satu bulan kemudian…“Kenapa lama sekali?” tanya Ray sembari mengenakan kemeja berwarna abu – abu gelap.Setelah kepergian Sepia dan setelah siang itu, Ray sering sekali bermalam di apartemen Arumi. Ray sering datang dalam kondisi mabuk berat. Perihal batasan, sudah tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Karena ia merasa tidak memiliki kesempatan atau pun jalan untuk memperbaiki kesalahannya, sudah terlanjur. Kesedihan yang ia alami membuatnya hancur, ia tidak sadar bahwa perbuatannya juga menghancurkan Arumi secara perlahan.“Sebentar Ray,” Arumi menyemprotkan parfumnya, semerbak wangi langsung memenuhi seisi ruangan. Membuat Ray beranjak dari duduknya dan berjalan pelan menghampirinya.“Lama sekali sih.” Ray mengecup rambut Arumi dari belakang. Sementara tangannya mendekap bahu Arumi.“Ray jangan lakukan itu.” Arumi menolak sentuhan-sentuhan Ray. Sentuhan yang kadang menimbulkan rasa panas bagi Arumi. “Tunggu saja di mobil, aku akan menyusulmu.” Ia mendorong tubuh Ray ke luar pintu
Sudah tiga puluh hari berlalu, waktu begitu cepat berlalu namun kenangan buruknya tetap begitu sulit dilupakan.Meski proses perceraian masih berjalan dan belum tuntas, Sepia sudah pergi ke Jakarta untuk pekerjannya. Ia terpaksa meninggalkan Bandung dan Shabiru demi memulihkan diri sepenuhnya. Lagipula setiap akhir minggu, ia selalu pulang ke Bandung. Beruntung Sepia juga memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Meski tak ditampik, pembicaraan miring masih kerap menyasar dirinya. Ia tinggal di rumah Oma Ina, selain dekat dengan kantonya, Oma Ina juga memaksanya untuk tinggal bersamanya. Karena tidak enak akhirnya ia menurut. Sepia menghela napas, menutup catatan, dan memasukkan barang-barang miliknya ke dalam tas. Suasana kantor di sore ini memang sudah cukup sepi. Hanya beberapa orang yang pekerjaannya masih menumpuk yang berada di dalam ruangan itu. [Pia, weekend ini beneran enggak pulang ‘kan? Kita jalan-jalan sekali-kali biar kayak ABG lagi hehe.] ia baru saja menerima pesan
Pantai Anyer, Banten.“Maukah kamu menikah denganku?”Seorang laki-laki bertekuk lutut di atas putihnya hamparan pasir pantai anyer. Suara laki-laki itu cukup jelas terdengar, menyela deburan ombak yang menghantam karang. Ditambah dengan latar indahnya matahari terbit, ia mengeluarkan kotak cincin berwarna merah. Ia mengangkat kepalanya, melihat rekahan senyum perempuan dengan rambut tergerai di hadapannya.Pagi ini seharusnya menjadi awal liburan yang bagus bagi Sepia dan Elea, namun apa yang terjadi di depan mata mereka cukup mengganggu suasana hati mereka. Bukan, bukan Sepia ataupun Elea yang dilamar. Mereka berdua hanya menyaksikan pemandangan itu.Niat hati ingin menikmati indahnya pemandangan matahari terbit pantai anyer, justru mereka malah menjadi penonton sepasang kekasih yang mengutarakan perasaannya.“Alea, kita pindah saja. Cari tempat yang lain, melihat mereka aku jadi merasa …,”Ada sepotong ingatan yang kembali, memaksa datang untuk mengusik kedamaian hati Sepia. Periha
Pantai Sanur, Bali.Ray meneguk minuman soda dalam genggamannya. Ia duduk di balkon hotel yang ia sewa, setelah menyelesaikan urusan pekerjaan tadinya ia berniat untuk berlibur menikmati Bali bersama Arumi. Namun sayangnya, perempuan itu menolaknya.Arumi terus mendesaknya agar segera menikahinya. Namun, rumitnya persoalan perceraian bukanlah satu-satunya alasan kenapa laki-laki itu menarik ulur waktu. Ia belum siap menghadapi gunjingan buruk yang akan merusak reputasinya. Bisnis, keluarga, dan nama baiknya akan hancur bersamaan jika ia tergesa mengambil keputusan.“Rasanya kepalaku pening sekali!” tangan Ray memukul tembok balkon, lalu kembali meneguk minuman sodanya sampai habis.Keadaan Ray memang sedang goyah. Kesalahan yang ia perbuat telah menghancurkan segalanya dan justru membuka masalah baru. Ia menyentuh Arumi dalam keadaan perasaan terguncang, meski ia dalam keadaan sadar. Ketakutan baru kembali menyergap Ray, ia takut Arumi akan hamil. Ia belum siap dan ia cemas dengan bis
Harum masakan memenuhi seisi ruangan. Sepia meletakkan piring berisi telur setengah matang di meja makan. Sementara di piring lainnya telah tersaji pasta, makanan dari jenis kerang-kerangan, cumi, dan buah-buahan. Semuanya terlihat menggugah selera padahal Sepia dan Alea hanya makan berdua.“Aku merasa makanan ini terlalu banyak Al. Jangan sampai kita jadi boros dan membuang-buang makanan karena lapar mata,” Sepia menggaruk ujung alisnya.Ia menuangkan air mineral pada gelasnya. Lalu menyandarkan punggungnya di sanggahan kursi sambil menggulir layar ponselnya yang sudah lama tak ia sentuh.“Mumpung promo, jarang-jarang juga kita makan seperti ini. Sekali-kali tidak apa-apa kan boros sedikit. Lagipula perutku merasa benar-benar lapar. Berani taruhan, makanan ini akan kita habiskan.”Alea menarik kursi dan duduk di sebelah Sepia. Beberapa saat lalu Alea memesan makanan lewat aplikasi dengan alasan sedang promo dan malas harus mengunjungi tempat yang ramai.Sepia menghela napas. “Apa kat