Mau tidak mau aku menutup kembali pintu mobil dan memilih meladeninya. Tak lupa kubuka ponsel sebentar lalu kembali keselipkan dalam saku celana. "Ada apa?" ujarku menahan emosi. "Dipt, kok kamu cuek banget sama aku sekarang. Pake blockir nomor aku segala, lagi. Kenapa sih kamu berubah, sekarang. Kamu nggak anggap aku lagi?" Ck, lama-lama berhadapan dengan wanita ini yang ada aku semakin gila. Nggak tahu malu. "Emang aku harus anggap kamu apa?" "Ya ... ya teman seperti dulu. Walau aku pengen lebih dari itu," ujarnya semakin pelan di opsi terakhir, tapi tertangkap dengan jelas di telingaku. "Maksud kamu gimana?"Aku mencoba selembut mungkin kali ini. Padahal, jijik banget, sumpah. "Ya, lebih dari sekedar ... teman." Tiara semakin mendekat, dan aku harus menahan diri untuk tidak menjauh. Dia harus masuk dalam perangkapku kali ini. Salah siapa, muncul tiba-tiba seperti jelangkung. Semoga saja Tiara bisa bekerja sama mempercepat waktu. "Jangan bertele-tele. Aku bukan cenayang. Ma
Saat mobil memasuki halaman rumah, aku gegas masuk ke dalam dengan empat kotak nasi padang di tangan, tujuan utama ya untuk mencari Luna.Dan ternyata, wanita kesayangan sedang duduk di sofa ruang tamu dalam posisi membelakangi. "Sayang! Nih, nasi padangnya" sapaku.Mendengar suaraku, Luna langsung menoleh dengan wajah yang sulit diartikan. Marahkah seban aku terlambat? Tapi, itu bukan raut wajah sedang marah melainkan takut.Ya, Luna seperti tengah ketakukan. Membuatku untuk berjalan tergesa menghampirinya. "Sayang, why?" "Mas, tolong jangan tuntut Tiara!" ujarnya panik saatku sudah duduk di sampingnya. "Apa? Jangan menuntut Tiara? Mas susah payah mencari cara untuk menjebloskannya dalam penjara. Dan kamu bilang untuk jangan menuntutnya?""Please, Mas!" Istriku memohon dengan mata berkaca-kaca.Kenapa? Sepertinya ada yang tidak beres.Seketika mataku beralih pada ponsel yang digenggamnya dengan erat."Siniin ponselnya!" "Un–tuk apa?" Aku menarik ponsel dari genggaman Luna denga
"Paan sih, Mas? Nyebelin banget.""Tapi, ngangenin 'kan?""Nggak?""Masak? Gengsi ya ada Mbok Asih? Biasanya juga kamu yang nyosor dulu ....""Mas!" pekik Luna sembari menoleh ke arah Mbok Asih yang sedang menahan tawa. "Mbok jangan percaya sama Mas Dipta, ya?""Hehe, iya Buk.""Mbok percaya 'kan sama aku?" "Eum, i–ya, Pak." Jawaban Mbok Asih membuat Luna kembali melotot ke arahku."Mbok Asih percaya sama Mas karena terpaksa. Mas 'kan jahat, suka ngancam diam-diam."Saat mobil telah berhenti di tempat tujuan, aku mendekatkan wajah ke arah Luna. "Gimana sih ngancam diam-diam. Apa kek aku ancam kamu semalam?" bisikku sebelum kabur. "Mas!" Dari luar aku masih bisa mendengar Luna berteriak kesal di dalam mobil. Haha. "Silahkan turun Tuan Putri."Aku membuka pintu untuk istriku dengan memperlihatkan tampang paling manis tanpa dosa. "Mas nyebelin.""Ngangenin.""Ayo, Sayang, Mbok, kita masuk!" Luna dan Mbok Asih berjalan duluan, sedangkan aku memilh mengekor di belakang mereka sem
"Awas kamu Dipta, aku ingin membunuh perempuan itu." Tiara terus memberontak agar tangannya terlepas dari cengkramanku."Bu Tiara."Kami semua menoleh ke arah sumber suara. Dua orang laki-laki berseragam kepolisian berjalan ke arah kami. "Le–pas, Dipt! Ce–pat lepasin aku, sebelum mereka di sini!" Tiara memohon dengan wajah sendunya."Ck, tidak akan. Penjara adalah tempat yang paling pantas untuk penjahat sepertimu." Cengkramanku semakin erat, hingga akhirnya dua polisi itu sudah berdiri tepat di depan kami dan mengambil alih semuanya.Tangan Tiara langsung diborgol, meski wanita itu terus memberontak."Lepasin saya, Pak! Saya tidak bersalah. Apa bapak tidak lihat barusan, dia yang mencoba menyakiti saya!" kilahnya.Ternyata mulut berbisanya masih berfungsi dengan baik dalam memutarbalikkan fakta. "Lepasin saya! Heuh!""Diam! Atau kami akan bertindak kasar sama anda!" gertak salah satu polisi itu.Muka Tiara tampak memerah menahan amarah, tapi untuk melawan walau hanya dengan suara
Ini bukan mimpi 'kan? Akhirnya, asiikkk!"Pak Dipta kenapa?" Suara Mbok Asih mengagetkanku yang sedang senyum-senyum sendiri. "Oh, nggak papa, Mbok." Gegas aku meninggalkannya sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.Tidak, Mbok Asih tidak akan pernah mengerti perasaanku. Aku hanya ingin cepat-cepat malam, Mbok. Ngerti nggak sih. Hufft.Mas, nyebelin deh. Kalau kata Luna. Eh, Mbok, nyebelin deh, maksudku. .Pagi ini, tak sama dengan pagi-pagi sebelumnya. Di meja makan, sepotong roti dan susu, sangat tak masuk akal menjadi alasanku tersipu-sipu, bukan.Lalu, apa yang membuatku terlihat gila. Di mana senyum tak mampu kuhentikan hanya karena memandang roti dengan selai kacang ini?Ah, ini karena wanita yang juga tengah menunduk malu-malu di sampingku. Ia seperti diorama yang membuatku kembali melihat pemandangan serta adegan indah dan hangat itu. Semalam, kami seperti terjebak dalam hangatnya malam pertama. Saling tak mampu melepas dekap, menarik rasa hangat, serta tak ku
Rasa suka dan takut bercampur menjadi satu. Aku suka Luna melakukan hal yang sangat tiba-tiba seperti itu. Tapi, kalau ada yang tega memisahkan kami, bagaimana?Aku tidak mau kehilangan. Ya, aku tidak mau dan tidak mampu. Ah, apaan sih? Pikiran macam apa ini? Luna istriku, siapa yang lebih berhak dariku, kecuali Tuhan."Kita akan tetap sama-sama 'kan, Sayang?" Pertanyaan bodoh terlontar secara tersengaja dari bibir ini. Terkesan lemah sekali. Ya, Luna memang kelemahanku. "Tentu saja, Mas! I'm yours and you are mine. Ayo!" Huh.Setelah turun dan membuka pintu untuk Luna, kami berdua berjalan bersisian bergandengan tangan.Jangan tanya rasanya seperti apa? Entahlah, apa mungkin wajahku akan boyok karena kakak-kakak Luna. Beberapa kali menekan bel, pintu mulai terbuka dan papa muncul di baliknya. Syukurlah, bukan yang lainnya."Eh, kalian sudah tiba rupanya. Ayo, masuk!" "Pa." Aku dan Luna bergantian mencium takzim tangan laki-laki paruh baya yang penuh wibawa itu. Lalu, kami men
"Ngapain?" tanyaku senyum-senyum."Udah yok! Cepetan!" Luna menarik tanganku dengan cepat. Seketika ingatanku mengenai masalah di resto jadi lenyap. Aku hanya mengikuti Luna dengan pasrah. Kok deg-degan ya?Setelah kami berada di kamar, Luna menutup pintu dan menyuruhku untuk duduk di ranjang. Waw, apa istriku akan mengambil kendali kali ini. Luna tampak berjalan ke arah nakas, seperti mengambil sesuatu dalam laci yang tidak bisa kulihat dengan jelas, karena posisinya yang berdiri membelakangi.Kini Luna berjalan menghampiri dan duduk si sampingku. Ada sesuatu dalam genggamannya. Menanggapi raut wajah penasaranku, Luna malah tersenyum dan meraih tanganku dan meletakkan sesuatu."ATM?" Aku menatap benda di tanganku dengan seksama. Ini ATM yang sudah kuberikan pada Luna waktu itu."Saldonya masih utuh. Semoga ini cukup.""Tapi, Sayang. Ini 'kan milik kamu.""Kan punya aku juga punya kamu, Mas. Apa salahnya bantu suami ketika sedang kesulitan. Lagian itu 'kan hasil kerja keras Mas s
Namun,pagi ini ... orang yang berhasil membuat hatiku hangat telah berhasil mengubahnya dalam semalam. Cukup singkat waktunya. Suasana hatiku berubah saat ini. Panas. Sampai ingin menghancurkan ponsel yang berada di tanganku."Mas, ayo sarapan dulu." Aku menoleh ke arah Luna yang kini berdiri di depan pintu. Senyumnya cukup sumringah seperti tidak sedang menyembunyikan apapun dariku. "Luna ...." aku menatapnya entah, tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang tengah kurasakan melihat raut wajah yang dia tunjukkan."Iya, Mas. Kenapa?"Aku menghampirinya dengan nafas berat. "Laki-laki yang memeluk istriku dalam foto ini ... siapa, Luna?" Aku menyodorkan ponsel padanya, menunjukkan foto yang kuterima beberapa menit yang lalu lewat aplikasi WA. Dari nomor tak di kenal. "Mas, i—ini ....""Jawab, Luna! Ini laki-laki yang waktu itu pernah datang ke rumah kita, kan? Dia juga yang pernah joging sama kamu waktu itu kan?" Luna tampak meremas jemarinya, sesekali menatapku ke arahku sebelum