Semua telah dia korbankan. Masa mudanya berlalu tanpa teman, tanpa kenangan yang berarti. Mimpinya telah lama mati, bahkan dia tidak bisa memilih jurusan yang diinginkan. Apapun yang wanita itu miliki, semua sudah ia serahkan pada orang tuanya. Biarlah dia menjadi boneka orang tuanya jika itu membawanya ke kebebasan.
Bahkan, pernikahan yang selama ini ia bayangkan adalah sesuatu tersakral selama manusia hidup, juga ia korbankan demi kebebasan di depan mata.
Wanita berambut lurus sebahu kini sedang melamun kosong ke luar jendela. Setelah semua yang ia lalui, akhirnya sang Ayah dan Ibu mau melepaskannya. Rantai tak terlihat yang selama ini menahan tubuhnya terlepas.
Akan tetapi, ternyata tidak semudah itu.
Orang tuanya memberikan kunci rantai yang baru dan lebih kuat kepada Raden Ezra Kusuma, pria yang saat ini menjadi suaminya.
Selama enam bulan dia pindah ke rumah Raden, tidak ada perlakuan baik yang Anna terima selain tatapan kemusuhan dari lelaki tersebut. Tidak lama kemudian, Raden melemparnya ke rumah mewah dan besar di pinggir kota. Kepergiannya ke tempat mana pun harus disetujui Raden. Pengawal di mana-mana untuk mengawasi pergerakannya.
PRANG!
“Sialan!”
Sebuah gelas kaca telah ia hancurkan dengan dilempar keras ke arah tembok. Di saat nama sang suami kembali teringat, matanya penuh kobaran kebencian. “Seharusnya aku bebas ... Seharusnya pengorbananku terbalaskan. Seharusnya begitu! Tapi—“
Kalimatnya terpotong karena tubuhnya sudah bergetar hebat. Matanya terasa panas sebelum menumpahkan air mata. Suaranya parau saat melontarkan isi pikiran. “Aku hanya ingin bebas, tetapi mengapa semua orang hanya ingin menggunakan diriku?”
Perintah lama itu kembali terdengar. “Menikahlah dengan Raden.”
“Aku tidak ingin menikah dengannya,” ucap Anna kepada pikirannya sendiri.
“Tidak bisa. Kamu harus tetap menikah dengan Raden.” Jika tidak ia balas, bisikan itu akan semakin keras dan seakan-akan berteriak tepat di sebelah telinganya.
“Kenapa? Apa keuntungannya?”
“Kamu akan bebas. Kamu akan bebas. KAMU AKAN BEBAS!”
“BERHENTI!” Kedua tangannya memukul kepalanya sendiri. Memang sesekali saat dia melamun, akan ada suara-suara yang dia benci merasuki pikirannya. Semua tidak akan berhenti jika dia tidak memukul diri sendiri dan jatuh pingsan.
Semua pekerja di rumah ini telah mengetahui kebiasaan aneh Anna. Namun, tidak satu orang pun yang menghentikannya. Bahkan melapor ke Raden mengenai ketidakwarasan Anna saja tidak. Tuan mereka sudah cukup kasihan karena harus menikahi wanita yang tidak ia cintai, apalagi jika harus mendengar Anna itu tidak sehat?
“Pernikahan ini menyiksaku. Sudah tiga tahun sejak aku menikah dengannya, tapi tidak ada yang berubah.” Dadanya semakin sesak saat Anna memaksa untuk terus berceloteh. “Apa yang harus kulakukan?”
“Buat dia jatuh cinta denganmu. Mintalah kekuasaannya, hartanya. Lalu, ceraikan dia.”
Hidung Anna sudah buntu dengan lendir. Mau tidak mau, wanita itu harus menarik nafas dari mulutnya.
Tidak, jangan perintah itu lagi.
Setelah orang tuanya berhasil menikahkan Anna dengan Raden, mereka masih berani untuk memberi satu perintah lagi. Yaitu perintah untuk mengambil hati Raden sekaligus hartanya sebelum perasaan cinta itu diremukkan.
“Kembalilah ke rumah orang tuamu ini. Kita akan hidup lebih bahagia jika lelaki itu hancur.”
“Aku ... sudah gagal membuatnya jatuh cinta.” Tiga tahun bukanlah waktu yang lama. Seharusnya sudah banyak kenangan yang membuat dua insan semakin bahagia dan bersatu. Namun, sejak awal Anna telah tersingkirkan dari dinding es Raden. “Apalagi yang bisa kulakukan?”
“Jika kamu tidak bisa, bunuh saja Raden. Bukankah dia adalah sumber dari semua masalahmu?”
“Bunuh suamimu.”
“Bunuh.”
“TEMBAK DIA!”
*****
“Selain itu, tidak ada lagi yang Bu Anna lakukan,” lapor sang pengawal. Kepalanya mengangguk sesudah menghirup kopi panas di gelasnya.
Sejauh ini, Anna masih aman di kendalinya. “Silakan keluar.”
Bola mata hitam gelap itu menatap langit sore di balik kaca kantor. Warna senja itu memang menarik, tetapi hanya mengganggu matanya. Tidak ingin terusik dengan ingatan yang tidak diinginkan, Raden menutup semua kaca yang tertembus matahari dan membuat pencahayaan ruangan lebih terang lagi.
Selain tanggung jawabnya sebagai CEO sudah terbiasa untuk merepotkan dirinya, kesusahan yang ia alami hanya bersumber dari Anna.
Mulutnya mendesis sebal saat mengingat kembali titik di hari itu. Dia masih menghafal lengkungan bibir Anna yang miring, sangat licik. Sama sepertinya orang tuanya, Malik Dwi Setiawan. Keluarga itu sengaja membuat Raden tidak bisa apa-apa demi menyelamatkan perusahaannya.
Beruntung, Anna masih mudah untuk dikontrol. Agar tidak merepotkannya terus menerus, dengan sengaja Raden membeli rumah mewah di pinggiran kota yang jarang dilewati masyarakat. Di situ ia meletakkan banyak pekerja untuk melakukan pekerjaan rumah serta untuk mengawasi Anna secara ketat. Sesekali Anna hanya pergi keluar ke mal atau menemui orang tuanya. Setidaknya wanita itu hanya pergi keluar empat kali dalam sebulan.
Setelah jam kerja terlewati, Raden pulang. Namun, hatinya sedikit merasa gelisah karena Anna terlampau tenang sebagai seorang istri yang tidak dihiraukan suaminya selama tiga tahun. Mungkin sesekali dia ingin memeriksa secara langsung keadaan wanita tersebut. “Kita pergi ke rumah Anna. Sekarang juga.”
Mobil tersebut melewati jalan termulus sampai jalan terburuk. Dari jalan raya besar hingga gang kecil. Pada akhirnya, mobil itu tiba di rumah besar yang sangat gelap. Suasana horor segera terasa begitu masuk ke dalamnya. Jika banyak pekerja saja masih belum bisa menghidupkan rumah tersebut, apalagi jika hanya ada Anna saja di sana?
Saat mendengar pagar berdecit terbuka, pintu utama terbuka, bahkan hingga para pembantu menginformasikan kedatangan Raden, Anna tetap tidak bergeming. Bola matanya kosong, telinganya seakan telah tuli.
“Apa kamu tidak akan menyambut suamimu ini?” tanya Raden tanpa tahu malu. Apakah dia lupa seburuk apa dia memperlakukan Anna sebbagai suami? “Kamu sedang berniat menjadi patung.”
“Lebih baik aku hidup sebagai patung tidak bernyawa dibanding menjadi manusia tidak berperasaan,” sindir Anna. Meski begitu, kelopak matanya tidak mengerjap sama sekali seakan benar-benar ingin menjadi patung.
“Sayangnya, aku tidak sedang menikahi sebuah patung.” Tidak ada respon sama sekali dari Anna. Sebal, Raden mendorong sedikit tubuh wanita tersebut. “Hei.”
Matanya membulat saat melihat wanita itu tiba-tiba jatuh pingsan setelah didorong pelan seakan-akan dirinya serapuh itu. “Anna!”
Sekali lagi ia goyangkan, tubuh Anna benar-benar dingin dan kaku. Bahkan saat pingsan pun, matanya masih terbuka. Meski Raden sudah meneriakkan nama wanita tersebut berkali-kali, belum ada satu pekerja pun yang datang ke kamarnya.
Berakhir emosi, Raden keluar dari kamar dan berteriak kasar memanggil siapa pun untuk membawa Anna ke rumah sakit.
“Kalian ini bagaimana, sih?! Seharusnya memberitahu saya kalau dia tidak mau makan untuk beberapa hari! Memangnya laporan ‘dia tidak keluar ke mana-mana’ saja sudah cukup? Lalu kenapa respon kalian lambat sekali saat saya panggil? Kalian kira saya membayar hanya untuk menganggur?” omel Raden senewen dengan semua pekerja. Saat ini dia sudah memanggil dokter langganannya untuk segera merawat Anna.
Setelah puas mengomel, Raden menjadi hening kala melihat wajah pucat wanita tersebut. Kenapa dia tidak menyadari bahwa Anna tidak baik-baik saja, ya?
Tunggu, kenapa juga dia harus mempedulikan wanita ular ini?
Helaan nafasnya terdengar kasar. Tidak seharusnya dia ke sini jika Anna hanya membuat kepalanya semakin pening. Namun, kalau dia tidak ke sini, bisa jadi perempuan itu mati karena tidak makan berhari-hari.
Sebagai seorang suami, meski dia pantas dipanggil sebagai suami bejat karena mengasingkan istri sendiri, setidaknya Raden masih sadar diri bahwa dia punya tanggung jawab penuh terhadap Anna. Kematian Anna hanya akan merepotkan Raden dan membuat pria tersebut berlutut di hadapan keluarga Setiawan.
Raden sangat membenci Anna yang menikah dengannya semata-mata dengan harapan membuat Raden cinta dan hancur sendiri. Sejak awal, dia sudah memiliki praduga tersebut. Makanya dia membuat langkah pertahanan dengan mengasingkan sang istri. Sebagai bentuk perhatian kecilnya, Raden memastikan banyak orang yang melayani Anna dan semua kebutuhannya pun terpenuhi.
Namun, di sebuah tempat terdalam di hatinya, ada perasaan asing yang menyala setiap kali melihat wajah sang istri. Apalagi saat melihat Anna terkapar lemas.
Sialan. Raden tahu bahwa dia tidak boleh bersikap lunak karena Anna akan mengambil celah itu untuk menghancurkannya. “Dasar merepotkan saja.”
[Bersambung]
Kini jarum ujung selang infus sudah masuk ke dalam kulit punggung tangan Anna. Selama sang dokter memberitahu kondisi kesehatan Anna serta langkah-langkah yang harus diambil ke depannya, wanita itu tetap tidak bergeming. Raden sesekali melirik ke arahnya dengan tatapan tidak mengenakkan. “Terima kasih sudah mau datang ke sini,” ucap Raden berterima kasih.“Iya, tidak masalah. Kalau begitu saya pamit pulang dahulu.”Setelah kamar kembali sepi, barulah Raden mengacak rambut dan melonggarkan dasinya. Gara-gaa Anna, dia belum pulang ke rumahnya untuk beristirahat.“Untuk apa kamu ke sini?” tanya Anna langsung dengan tatapan iritasi kepada pria tersebut. “Tidak usah sok peduli, selama ini kamulah penyebab kesengsaraanku.”“Kamu yakin aku adalah penyebabnya? Bukan dirimu sendiri?” balas Raden tidak senang. Meski begitu, dia tetap menjaga volume dan nada suara.“Sekarang kamu pergi dari sin
Tangan dengan sarung tangan putih kini mencoba untuk membersihkan luka yang diperkirakan berada di sekitar sumbernya. Seseorang yang baru saja datang berbisik kepada dokter itu. "Katanya, pasien ini baru saja terkena tembakan." Dokter tersebut mengangguk dan kembali membersihkan sisa-sisa darah. Kalau begitu, mereka harus segera melakukan operasi untuk mengangkat peluru di daerah sekitar jantung. Tetapi, tunggu ada yang aneh. "Bagian mana yang terkena tembakan?" "Daerah jantung." Alis sang dokter berkerut bingung. Ia mencoba menelusuri dengan tangannya, siapa tahu lukanya tidak terlihat--meski seharusnya terlihat. Namun, ternyata tidak ada kulit yang terasa bolong. Sumber lukanya pun menghilang. "Apakah dia benar-benar ditembak?" Di sisi lain, masih ada Anna yang jatuh pingsan. Karena dia tidak memiliki luka selain di kedua telapak tangan, maka dia hanya dirawat untuk satu malam saja. Salah satu asisten rumah tangga mengajukan diri untuk menga
Sampai keesokan harinya mereka masih berada dalam status tertukar tubuh. Jiwa Anna yang berada di dalam tubuh Raden pun baru menyadarkan diri. Namun, bedanya dia hanya berdiam saja. Membiarkan dokter dan perawat datang mengecek perkembangan kondisi tubuh. Tidak banyak percakapan yang terjadi selain menjawab pertanyaan sang dokter.Anna bisa beristirahat lebih tenang dan nyenyak meski ia sadar bahwa mereka sedang mengalami hal yang aneh.Sedangkan Raden yang berada di tubuh Anna terbangun setelah tertidur tiga jam yang lalu. Itu pun bukan karena dia bangun sendiri, melainkan dibangunkan oleh seseorang yang cukup kasar. "Hei, bangunlah!"Siapa yang berani memerintah seperti itu kepadaku? Walaupun dia belum benar-benar sadar diri, ia mendongakkan kepalanya dan mendapati seorang wanita beserta lelaki yang wajahnya sangat ia hafal."Apa yang sudah kamu lakukan?!" Suara wanita paruh baya tersebut meninggi, sama seperti kedua alisnya. "Rumahmu benar-ben
Mau dipikirkan berapa kali pun, hasilnya tetap nihil. Otak Anna sudah tidak kuat untuk berpikir lagi. Pertukaran tubuh saja sudah aneh, maka akan seaneh apa cara mengembalik tubuh mereka? Tidak mungkin jika mereka harus melalui prosedur berbahaya seperti yang ada di drama Korea, kan? “Berpikirlah....” gumam Anna terus menerus. Kaki kanannya terus mengetuk lantai mobil sampai membuat supirnya melirik heran. Tidak seperti biasanya Raden akan bersikap segelisah ini. Meski ada hal yang terus mengganggu pikirannya, setidaknya kakinya tidak akan membuat ketukan seribut ini. “Bapak kelihatannya tidak mau menemui Bu Anna, ya? Kita masih bisa kembali ke rumah lagi,” usul sang supir. Namun, Anna langsung menggeleng kepala. “Tidak apa-apa. Kita tetap pergi ke rumah Anna,” suruhnya. Perjalanan kembali dilanjutkan meski gelagatnya tetap mengatakan bahwa ia memiliki banyak pikiran. Bagaimana ini? Pasti nanti Raden akan bertanya apakah dia sudah mendapatkan solusiny
Setelah semua kembali normal, hari-hari terlewati begitu saja. Tidak ada yang berubah kecuali pengawasan Anna yang lebih ketat. Raden pun semakin menegaskan bahwa semua kepergian Anna harus dilaporkan ke dirinya. Anna tahu bahwa dia diawasi nyaris 24 jam. Akan tetapi, dia sudah tidak ada niatan untuk melakukan kekacauan lagi. Sudah cukup hari-hari itu menjadi luapan kegilaannya. Sayangnya, semesta tidak membiarkan Anna bersantai begitu saja. Ia mendapat pesan yang menyatakan,'Datang ke rumah. Ayah mau bicara denganmu.' Atas perintah sang suami, Anna memberitahu kepada lelaki tersebut melalui media pesan. Kemudian mengirimkan gambar pesan sebagai bukti. 'Apakah boleh?' tanyanya melalui pesan teks. 'Jam dua siang nanti. ASAP.' 'Ya.' Balasan singkat itu ditunjukkan Anna secara nyata kepada kedua pengawalnya. "Aku ingin pergi ke rumah keluargaku." Tibalah dia di rumah yang sudah lama tidak didatang
"Semua keberhasilanku juga karena Ayah dan Ibu, dong," sahut Elisa setelah sang Ibu sibuk memuji-muji dirinya di depan ketiga saudaranya. "Aku jadi tahu apa yang kuinginkan dan bisa melakukan yang terbaik di sana." "Baguslah kalau begitu, Nak," balas Malik dengan tatapan yang terpancar kehangatan penuh kasih sayang. "Kamu juga belum menemukan pasangan di sana, ya?" Elisa meringis, dia sudah menebak akan terjadi pembahasan mengenai pacar. Tentu saja, dia sudah berusia 28 tahun namun masih tetap single setelah tiga tahun lalu ia diputuskan oleh sang mantan. Sejak saat itu, dia lebih fokus pada pencapaian karirnya alih-alih memikirkan mengenai pernikahan. "Masih belum, Yah. Aku belum dapat calon yang pas." Beruntung, orang tuanya cukup santai mengenai itu. "Tidak apa-apa. Kamu tahu apa yang terbaik untukmu. Tapi, kalau kamu sudah punya calonnya, jangan lupa kenalkan pada kami, lho." "Aku jadi ingin seperti Kakak juga. Jadi wanita karir sukses du
Raden mencoba melepaskan dasi biru tua dengan sedikit kasar. Akhir-akhir ini ada banyak urusan pekerjaan yang membuat lebih lelah dibanding biasanya. Hatinya juga merasa gelisah seakan-akan ada suatu hal yang salah telah terjadi. Drrrtt! Drrrtt! Tanpa melihat siapa peneleponnya, Raden langsung menerima panggilan masuk tersebut. "Siapa ini?" "Raden." Ini adalah suara Anna. "Kenapa?" Dasinya berhasil terlepas dari leher dan ia gulung untuk ditaruh di tempat khusus dasi. "Apakah sekali saja kamu pernah menginginkanku?" tanyanya dari seberang sana. Pertanyaan acak macam apa itu? "Memangnya perlu kujawab--" "JAWAB SAJA!" Teriakan Anna benar-benar membuat gendang telinga Raden sakit. Namun, hal ini membuat hati Raden benar-benar bergemuruh. Meski kini di badannya hanya tersisa kemeja putih polos dan celana kerja yang masih rapi, Raden bergegas keluar dari kamar dan rumahnya. "Apa? Ulangi pe
Seharusnya semua telah berakhir. Seharusnya ia tidak lagi menarik nafas. Seharusnya tidak ada lagi cahaya lampu yang menyinari matanya. Seharusnya begitu. Akan tetapi, kenapa untuk mengakhiri hidup saja ia tidak bisa melakukannya? Sebuah kekecewaan langsung menghampiri ulu hatinya saat ia membuka mata dan mendapati langit-langit rumah sakit. Anna mencoba mengangkat tangan dan mendapati bagaimana telapak tangan mungilnya telah menjadi telapak tangan besar milik Raden. "Jadi ... aku kembali tertukar lagi, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Tentu saja tidak akan ada orang yang bisa menjawab hal itu. Anna menghela nafas lemas. Pada akhirnya dia tidak diperbolehkan semesta untuk menghadapi ajalnya sendiri. "Memangnya dosa besar apa yang sudah kuperbuat sampai-sampai pintu mautku pun tertutup?" "Pak Raden!" seru seseorang yang kembali setelah mendengar hasil analisa dokter. "Tadi anda pingsan di depan pintu rumah, kami jadi khawatir dengan kondisi kes