Langkah kakiku terhenti saat melihat seorang lelaki memandang rumah kami tanpa berkedip, dia Mas Ferdi."Ehhmm!"Lelaki itu terperanjat lalu berbalik badan hingga tubuh kami saling berhadapan, kutatap matanya tetapi ia seperti berusaha berpaling."Kenapa, Mas? Untuk apa kemari? Apa kamu menyesal?" tanyaku diiringi senyum tipis.Aku menghela napas sambil menukar posisi kantung belanjaan, dari tangan kanan ke tangan kiri."Menyesal?" Mas Ferdi menyeringai sinis."Ga usah mimpi, aku kemari tadi karena lihat Desti naik ojek online, dan ternyata kalian tinggal di rumah ini."Ia menunjuk rumah yang baru saja kubeli beberapa bulan lalu, rencananya rumah itu adalah kado untuk anniversary pernikahan kami yang ke empat belas.Sejak satu tahun lalu aku berencana untuk membeli rumah baru, setelah Mas Ferdi benar-benar sembuh kami semua akan menempati rumah ini, tetapi Tuhan berkehendak lain."Oh gitu, ya sudah aku mau masuk, anak-anak pasti sudah nunggu."Aku mengayunkan langkah kembali tak acuh
"Tentu saja aku tahu, karena waktu itu aku membantu Mama mencincang daging kambing buat makan Ayah sama Tante Susan," jawab Desti membuatku menganga tak percaya."Dan, jika saat itu aku sudah besar mungkin bukan hanya daging kambing yang kusajikan, tapi sekalian dengan racun tikus," lanjutnya lagi.Aku menutup mulut dengan sebelah tangan, Mas Ferdi benar, Desti memang sama sepertiku, memiliki kepribadian penuh misteri.Wajah Mas Ferdi terlihat merah menahan emosi."Kak, ga boleh gitu dong, gimana pun juga dia 'kan ayah Kakak." Aku menghampirinya lalu mengelus rambut hitamnya."Halah, banyak drama kamu, Yul. Mulai sekarang urus saja anakmu ini aku ga mau peduli lagi apapun tentang dia, aku hanya peduli pada Dita dan Dara!" bentak Mas Ferdi."Mas, Desti juga anakmu, dia kaya gini ya karena kamu juga, semua anak akan merasakan sakit hati kalau ibunya disakiti, apa kamu ga sadar?""Jika Dita dan Dara sudah dewasa dia juga pasti akan bersikap yang sama, sekarang aja mereka masih kecil."Ma
"Kamu mempermainkan aku, Yul!" tegasnya dengan rahang mengeras dan mata membeliak, tapi aku menghadapi lelaki itu dengan tenang dan senyuman.Aku tak suka marah-marah, aku lebih suka bersikap tenang tapi diam-diam menghanyutkan."Ini adil untuk kita, Mas. Kamu dapat yang kamu mau 'kan? Rumah, mobil, dan sejumlah uang yang ada dalam tabungan rahasiamu itu," ujarku Matanya mengerejap saat aku mengatakan uang tabungan rahasia, padahal aku sudah tahu semuanya sejak dulu, jika Mas Ferdi menyerahkan tabungan rahasia itu pada SusanAwalnya aku memang marah. Namun, melihat sikapnya yang sangat sayang padaku dan anak-anak, amarahku kembali reda, dan aku menganggap jika uang tersebut hanya sekedar uang perpisahan, atau untuk menebus rasa bersalah Mas Ferdi pada Susan."Restoran ini berkembang karena aku, Mas, karena aku pintar masak. Sudahlah ikhlaskan saja, sekarang tempat ini menjadi milik anak kita, aku hanya mengelolanya sebentar sampai ia dewasa."Ia melirikku lagi dengan tatapan tak teri
Aku terdiam sejenak mengurai amarah yang hendak meledak."Tak usah ikut campur antara urusanku dan Mas Ferdi, urus saja klub malammu itu, agar polisi tak menggerebek tempat itu." Aku tersenyum sinis.Lalu berdiam menghampiri Hana yang baru datang dari kantin rumah sakit ini."Aku pulang sekarang, Han. Semoga ibu cepat pulih ya, kalau ada apa-apa kamu kabari aku.""Ok, terima kasih ya sudah datang, dan hati-hati."lalu keesokan harinya tepat pukul sebelas siang aku kembali menerima telpon dari Hana."Mbak, ibu meninggal."Jantungku seolah berhenti berdetak beberapa detik, rasanya baru kemarin kami bertemu dan bertukar cerita, oh ibu kenapa secepat ini."Mbak, datang ke sini ya bantu aku urus-urus pemakan ibu," ujar Hana sambil menangis."Iya baiklah, sekarang Mbak langsung ke rumah ya, jenazahnya sudah siap dipulangkan?" "Iya sebentar lagi, aku baru selesai urus administrasi, dan tolong hubungi temannya Mas Ferdi ya, Mbak, aku ga tahu dia di mana karena nomernya tidak aktif," jawabnya
(POV FERDI)Seperti orang gila aku berlarian di koridor rumah sakit menuju ruang ICU, karena jarak rumah sakit lebih dekat maka aku putuskan untuk ke tempat ini dahulu sebelum pulang ke rumah ibu, dengan harap aku akan memangku tubuhnya menuju ambulans.Yuli kurang aj*r sekali tak memberitahuku di mana ibu sekarang, tenggorokanku terasa kering saat petugas administrasi mengatakan jika ibu sudah pulang ke rumah.Saat itu juga aku tancap gas menuju rumah ibu, tak terasa air mataku menitik dengan sendirinya, teringat kenangan-kenangan manis bersama ibu di masa kecil.Aku menekan klakson dengan keras saat mobil di depan sana tak juga melaju, rasanya ingin berteriak sekencang mungkin agar mereka tahu apa yang menimpaku.Jemariku merogoh saku celana kiri dan kanan, ah aku lupa, jika sejak semalam ponselku sedang diisi daya dan belum sempat mencabutnya.Aku mengacak rambut lalu mengusap wajah sambil menangis bagaikan anak kecil, hampir saja aku menyerempet pedagang kaki lima karena kedua tan
Sejahat apapun manusia tetap akan merasa hancur dikala melihat ibunya tak bernyawa, sekarang saja ibunya masih ada, Susan masih bisa berkata begitu.Setiap hari Yuli, ibunya dan ketiga putriku datang menemui Hana, memberikan banyak makanan dan uang untuk disedekahkan atas nama ibu Tetapi tak pernah satu kata pun terucap dari mulutku untuk menyapa mereka, alhasil ketiga putriku pun menjadi acuh kepadaku."Berhenti caper dan sadar dirilah, Mbak.""Hei, apa Mbak budek? Ini rumah mertuaku dan aku menantunya lalu Mbak Siapa Hem?"Saat akan ke kamar mandi kudengar Susan bicara di dapur, sudah pasti dengan Yuli."Aku anaknya Ibu, sejak dulu dia tak pernah menganggapku menantu, dia selalu menganggap aku seperti putri kandungnya sendiri, apa kamu paham?" balas Yuli.Setelah itu Susan tak lagi bicara dan saat akan melangkah ternyata kami berpapasan di lorong yang menghubungkan ruang tengah dan kamar mandi, jelas sekali wajahnya terlihat emosi.Yuli memang selalu memiliki jawaban telak saat a
"Hahahaha.""Sejak dulu kamu selalu memiliki rencana yang tak terduga, Yul," ucap David"Kamu juga, ga sia-sia kuliah tinggi-tinggi, bisa jadi pengacara hebat dan membela semua kalangan," balasku lalu tergelak."Kalangan yang benar dan salah, hahahaha," timpal Budi.Lalu kami tergelak bersama, tiba-tiba saja ada yang menarik kasar sebelah pundakku dari belakang."Jelaskan sama aku, Yul!" tegas Mas Ferdi.Aku langsung memalingkan wajah dengan sinis, tanganku sedikit bergetar, tapi aku harus memperlihatkan raut wajah setenang mungkin."Apa yang harus kujelaskan hem?" tanyaku dengan tatapan menantang."Budi, ada hubungan apa diantara kalian? Dan apa yang kalian tertawakan?"Aku melirik ke sekeliling, saat ini kami menjadi pusat perhatian pengunjung lain akibat keributan yang diciptakan Mas Ferdi."Tidak ada hubungan apa-apa, kita saling kenal cukup lama, memangnya kamu ada masalah apa sih?" Mas Ferdi menyeringai sinis, mungkin sudah muak dengan sandiwara yang kulakukan, tapi bukankah a
"Mbak, apakah benar restoran itu kini menjadi milik Desti?" tanya Hana.Seperti biasa aku selalu datang ke rumah ibu membawa banyak makanan, kini Hana tinggal sendiri di sini karena anaknya tinggal dengan mantan mertuanya."Iya, Han, Mas Ferdi cerita ya?" "Iya dia menceritakan semuanya, kok bisa ya Mbak gerak cepat gitu, laki selingkuh masih aja bisa berpikir panjang, kalau aku mungkin udah ...." Ia tak lagi melanjutkan perkataannya.."Sudah apa, Han?""Tahulah, Mbak, pokoknya pasti sakit 'kan?""Sakit tapi tak berdarah, Han." Kami pun tergelak bersama."Mbak, bolehkah aku kerja di restomu, tempat kerjaku sekarang jaraknya jauh, kalau ke resto Mbak 'kan deket jadi bisa ketemu anakku kalau pulang kerja," pintanya dengan wajah memelas.Aku menatap wajahnya mencari keseriusan di sana."Baiklah, datang saja besok pagi ke restoran ya, masuk ke ruang staf dan temui Caca, dia yang akan memberi arahan pekerjaan apa yang harus kamu lakukan."Mata Hana mendadak berbinar, ia merangkul kedua pu