Bagai petir datang di siang bolong, tubuhnya gemetar seiring kata-kata yang selalu keluar dan terucap di bibir pria ini. Dadanya terasa sesak, sakitnya bukan main sampai ia merengkuh. Perlahan turun, duduk di lantai.
“Arum.”
"Bagaimana bisa dia mengatakannya semudah itu? Mengawetkan itu sama saja membunuh. Sebenarnya apa yang dia pikirkan?" Dalam benak, Arum bertanya-tanya bingung.
Ia lantas mendongakkan kepala, menatap lekat ekspresi Julvri yang memandangnya dari atas sana. Semakin lama Arum melihat, semakin Arum tidak memahami sifat ataupun tingkah laku pria yang telah menjadi suaminya itu.
"Ini bahaya," pikirnya membatin.
“Bohong!” seru Arum meninggikan nada suaranya. “Nggak mungkin aku hamil, sedangkan kamu sama sekali nggak ada rencana untuk membuat anak,” lanjut Arum.
“Iya. Aku memang tidak mer
“Julvri, sepertinya aku tidak akan bisa melepas rindu secepat ini. Kamu dan aku seperti sudah ditakdirkan sejak lama untuk bersama.”Wanita berambut panjang gelombang mengelus dada bidangnya dengan mesra. Mereka berpelukan tanpa arti, sedang Julvri menikmati permainannya.“Takdir 'kan memang tidak ada yang tahu. Lagi pula apa kamu ingin berdiri di sini saja?”Wanita itu mendongakkan kepalanya, menatap wajah lelaki tampan itu. Sejenak terdiam lantaran terpana padanya.“Kita lebih baik masuk saja,” ucap wanita tersebut.Julvri mengangguk sembari berkata, “Iya, sudah mulai dingin.”Langit malam dengan sinar rembulan, di balik tirai terdapat pemandangan berupa gedung-gedung pencakar langit. Meski tidak sebanding dengan pemandangan alam namun ini sudah cukup bagus.T
“Dengarkan aku bercerita teman-teman.”“Ada apa?”“Aku berencana untuk mengincar seorang pria tajir di sini. Tentu saja agar hidupku jauh lebih mudah dari yang sekarang,” tutur Arum lantas tersenyum.“Lalu siapa yang kamu incar? Sepertinya kamu sangat bersemangat sekali ya.”“Tentu saja tapi ... aku belum memutuskan siapa.”Para perempuan berkumpul dan bergosip adalah hal biasa, Arum masih belum bisa melepaskan kebiasaan buruk satu ini terutama jika berhubungan dengan pernikahan atau semacamnya. Ia tidak mau merugi dan terus berusaha mendapatkan yang terbaik.Secara kebetulan Julvri melintas di belakang mereka, sejenak ia terdiam begitu mendengar ucapan Arum. Perlahan ia melangkah ke belakang dan bersembunyi di balik dinding agar dapat menguping pembicaraan mereka lebih jauh.Ser
Sungguh sebuah kebetulan bertemu dengannya di sini. Terlebih dari semua tempat, mereka berjumpa saat Julvri sedang kencan. Awalnya ia cukup khawatir bila Arum mengenali dirinya tapi kekhawatiran itu berujung sia-sia karena rupanya Arum sama sekali tidak mengenalnya.Arum hanya datang sebagai pelayan yang mengantar pesanan mereka sembari mengumbar senyum, tanda keramahan pada setiap pelanggan. Julvri lantas ikut tersenyum dan terus memandanginya dengan tatapan berharap.“Pelayan sepertimu dilihat-lihat cukup cantik juga ya.” Julvri menggodanya sedikit.Hal itu sontak membuat Arum sangat terkejut, tapi ia bisa mengendalikan ekspresinya sehingga tidak terlihat memalukan. Memasang wajah seperti biasa pun tidak lupa dengan tersenyum seolah sedang senang.Dua gelas minuman yang serasi sudah berada di hadapan mereka, Arum yang kini memeluk nampan berukir kayu itu sejenak terdiam dan
Seumur hidupnya tidak pernah sekalipun Julvri merasakan cinta yang sesungguhnya. Di kehidupan yang monoton ini, Julvri memang terlihat begitu sempurna dari segala aspek. Fisik dan juga otak bagai tiada tanding.Bruk!Julvri menjatuhkan diri di lantai, seketika ia tersadar adanya darah di bagian punggung tangannya.“Lecet ... pantas saja terasa perih.”Sembari memandang arah luar di balik jendela, dengan tatapan kebosanan itu ia menjilat darahnya sendiri. Menikmati apa yang bisa dinikmati tapi tetap saja perasaan bosan terus saja melanda dirinya.Pesan singkat mengambang di notifikasi layar ponselnya. Tidak tertera nama melainkan hanya nomor.Pesan itu terbaca, [Sepertinya kau melakukannya lagi. Tidak ada bosan-bosannya ya?]Julvri tersenyum tanpa membalas pesan singkat itu. Ia lantas bersandar di
Hiruk-pikuk di dalam maupun luar kafe membuat suasana hidup namun tidak tenang. Kebisingan dari segala jenis macam suara dari luar, meski hanya samar-samar tetap tidak terasa nyaman. Arum hanya duduk manis sambil memeluk dirinya sendiri dengan pandangan mengarah ke lain dan tidak pada kencan triple ini.“Arum, kenapa kamu malah buang muka begitu?” tanya salah satu temannya yang berkuncir kuda. Ia tampak cemas karena Arum tidak terlihat senang sama sekali.“Apa? Oh, aku? Ya ampun, maafkan aku. Aku nggak terbiasa dengan hal semacam ini,” jelas Arum sedikit kaku dan gugup.“Dasar kamu ini. Pasti perutmu sakit lagi.”“Kenapa sampai harus sakit perutku?”“Ya, jelas saja. Setiap kali gugup pasti semua orang akan sakit perut tahu,” tutur temannya itu dengan kesal.Ia menyodorkan air putih
Masa lalu tidak terhitung banyaknya aib di sana, masing-masing dari mereka yakni Arum dan Julvri tentu saja memiliki aib terbesar dan terburuk mereka. Cepat atau lambat pasti akan terbongkar dan sekarang sudah semuanya dibongkar habis-habisan.Setelah Julvri menceritakan masa lalunya sendiri, saat itu Arum hanya bisa tertunduk dengan hati gundah hingga membuat tubuhnya gemetaran. Ia takut itu benar tapi sulit mengekspresikan itu sekarang di sini.***Sebuah pagar hitam dibuka oleh bibi selebar mungkin agar kendaraan kuda besi milik Tuan Julvri dapat masuk ke dalam. Kedua orang tua Julvri yang berada di dalam pun sontak terkejut, mereka bergegas keluar kamar dan menghampiri putra sekaligus menantu mereka yang tengah hamil itu.“Julvri! Arum!” seru Ibu mertua yang memanggil, berlari pelan menghampiri mereka yang baru saja keluar dari mobil.Terlihat ada sebu
Sebagai seorang istri, Arum seharusnya sangat senang dengan mengetahui bahwa dirinya sedang hamil akan tetapi mengingat siapa itu Julvri, Arum tidak bisa berekspresi bahagia sedikit pun. Hanya ada kata-kata yang berkaitan dengan "kematian."Terlintas dalam benak bahwa dirinya yang lemah akan segera hancur dalam genggaman tangan sang suami. Ekspresi, tindakan dan cara bicara itu sungguh berbeda dan berbanding terbalik dengan sifat yang dulu pernah Arum ketahui.“Kamu sudah berubah. Sebenarnya sejak kapan?”“Lucu sekali. Kamu pikir aku berubah setelah menikah denganmu? Itu tidak mungkin karena sejak awal aku pun seperti ini. Seharusnya kamu tidak melupakan ceritaku saat itu.”Arum tercengang diam, begitu kagetnya mendengar Julvri mengatakan itu dengan mudah. Sejenak situasi di antara mereka hening tak bersuara, selang beberapa saat Arum kembali membuka mulut.
Siang hari yang begitu panas namun Arum merasakannya dingin. Hal tidak wajar selalu berada di sekelilingnya.“Arum,” ucap Julvri memanggilnya dengan suara pelan seraya ia mengulurkan tangannya.Bersamaan dengan pintu terbuka, Ibu mertua muncul di sana. Arum terkejut dengan mata terbelalak, lantas beranjak dari kasur dan berlari kecil tuk menghampirinya.“Ibu mertua!” seru Arum memanggilnya, suaranya sedikit sumbang. Kemudian memeluk mertuanya itu dengan erat seakan-akan ada seseorang yang mengejar.“Hei, hei, ada apa ini?” Ibu mertua bertanya lantaran ia bingung karena begitu masuk Arum sudah bermanja seperti ini.“Ibu, aku ingin memelukmu. Sekali ini saja,” pinta Arum.Pelukannya semakin erat, Arum terlihat sangat ketakutan tapi Ibu berpikir itu hanya asumsi berlebihan saja. Julvri