Bab 29 "Lala!" sentak lelaki itu membuat kami semua terlonjak kaget. Lelaki itu mendekat, wajahnya terlihat marah, "Sedang apa kamu di sini? Kamu minggat dari pondok?" Lala menatap lelaki itu sebal, tidak ada rasa takut sedikit pun meski lelaki itu memasang mimik garang, "Apa Papa menyuruhku jadi penjaga pondok sementara semua santri lainnya pulang ke rumah untuk liburan?" Lelaki yang ternyata papanya Lala itu nampak terkesiap, eh, tunggu, tunggu ... dia papanya Lala? Berarti lelaki ini adalah Pak Dwingga, dong. Tapi, kok, masih muda gini? Seumuran sama ayahnya Dita paling, kupikir Pak Dwingga itu udah kakek-kakek seperti Bapak, ternyata masih muda. Kok, bisa temen Bapak masih muda gini, mana tampan lagi, eh. "Papa kan udah janji mau jemput Lala kalau sudah liburan, kenapa Papa tadi nggak datang?" tanya Lala merajuk. "Maaf, La, Papa lupa kalau hari ini waktunya kamu pulang," ucap papanya Lala menyesal, suaranya turun satu oktaf dibanding tadi. "Papa jahat! Papa hanya
Bab 30"Jadi... ibumu adalah Zeni?" tanyaku setengah tak percaya. "Bukan, Tan," sanggah Lala cepat, "Tante Zeni itu kembaran mamaku.""Kembar? Aku kok baru tahu kalau Zeni punya saudara kembar," gumamku lirih."Apa, Tan?" tanya Lala, mungkin karena gumamanku tidak terlalu jelas di telinganya. "Ah, bukan apa-apa. Udah, yuk, katanya mau makan!" ajakku kemudian, lebih baik kutanyakan ini pada Bapak saja, pasti Bapak tahu. Sampai di dapur yang luas dengan perabotan yang super lengkap, seorang koki dengan apron di kepalanya menyambut kedatangan kami dengan gembira. "Selamat datang kembali di dapur umami, Non Lala," sambut koki perempuan itu ceria. "Makasih, Bu Denok," balas Lala tersenyum ramah. "No, no, no, Chef Denok!" koreksi koki itu yang tidak mau dipanggil 'Bu'. "Ah iya, Chef Denok, masakannya udah matang belum?" tanya Lala. "Belum, Non, ini kan belum waktunya makan siang," jawab Chef Denok halus. "Kebetulan kalau gitu," ujar Lala girang. Chef Denok nampak bingung mendenga
Bab 31"Andai Lala juga anaknya Tante Hasna," imbuh Lala membuat Pak Dwingga tiba-tiba tersedak. Uhuk! "Nih, minum dulu, Pa!" Lala cepat-cepat menyodorkan gelas yang sudah terisi air putih. Pak Dwingga meraih gelas itu, lalu meneguknya sampai habis. "Udah enakan, Ngga?" tanya Bapak perhatian. Aku pun sebenarnya ikut khawatir melihat keadaan lelaki itu yang masih mengusap-usap dadanya. "Udah lumayan, Om," jawab Pak Dwingga pada Bapak. "Makan nggak usah buru-buru, kayak nggak pernah makan aja kamu," canda Bapak mencairkan suasana. "Emang Papa nggak pernah makan, Kek, kerja teroooos!" ledek Lala tanpa sungkan. Lelaki itu menatap Lala tajam, tapi rupanya anak itu tidak gentar sama sekali dengan tatapan bapaknya. "O ya, ngomong-ngomong kalian belum bercerita bagaimana bisa datang bersamaan ke rumah ini?" Kakek mengalihkan pembicaraan. "Ini semua gara-gara Papa yang tidak peduli pada anaknya, Kek." Lagi-lagi Lala memojokkan Pak Dwingga. Pak Dwingga menghela napas, mimik menyesal
Bab 32"Kenapa dia langsung mau? Apa mereka saling mencintai sampai mau dijodohkan?""Bapak tidak tahu, Nduk. Mungkin karena Dwingga merasa berhutang budi pada Bapak, makanya dia menyanggupi permintaan Bapak. Setelah Dwingga dan Zunay menikah, mereka langsung dikarunia buah hati, tapi rupanya kebahagiaan pasangan muda itu harus ditukar dengan nyawa Zunay saat melahirkan bayinya ke dunia. Sejak saat itulah, Bapak dan Dwingga terputus hubungan karena lelaki itu menarik diri dari pergaulan dan menggunakan seluruh waktu yang dimilikinya hanya untuk bekerja, mungkin itu cara dia melampiaskan kesedihannya karena ditinggal Zunay untuk selamanya." Berakhirlah cerita Bapak yang mampu membuat aku mengusap air yang ada di sudut mata. Bikin terharu juga jalan cerita Pak Dwingga dan almarhumah istrinya itu, "Jadi, Lala sudah ditinggal mati ibunya sejak lahir? Dia tidak mengenal sosok ibunya sama sekali? Dan Pak Dwingga juga tidak begitu peduli dengan Lala karena yang diurusnya hanya pekerjaan saj
"Yah, tolong antar Rio sekolah, ya!" pintaku pagi ini. "Kamu nggak lihat aku sedang mandiin burung? Kamu mau ngapain emang nggak bisa ngantar Rio?" sahut Mas Toro, suamiku itu nampak kesal karena kesenangannya terganggu. Mau nguji kamu, Mas, dan ternyata kamu lebih peduli dengan burung-burungmu itu daripada anakmu sendiri. Ingin rasanya kulontarkan perkataan ini, namun nyatanya hanya mampu kusuarakan dalam hati. Aku masuk, memanggil Rio yang sudah selesai sarapan. "Adek, ayo, hari ini Mama antar kamu, ya!""Iya, Ma, emang Mbak Dian nggak dateng, Ma?" tanya Rio mengikuti langkahku ke depan. Dian adalah sepupuku yang biasa bertugas mengantar-jemput Rio sekolah. "Bude Rahmi sakit, Dek. Makanya Mbak Dian nggak bisa dateng, kalau Adek pengen ketemu Mbak Dian nanti siang kita mampir ke rumah Bude Rahmi, sekalian jenguk, gimana?" jelasku sekalian memberinya tawaran. "Boleh, Ma. Nanti bawa oleh-oleh yang banyak buat Bude Rahmi, ya, Ma!" usul anakku yang masih berumur sepuluh tahun itu.
"Oh jadi gini kelakuanmu, Yah? Di belakangku kamu masih sering menghubungi mantan istrimu yang semok itu." Aku mendelik tajam sambil berkacak pinggang. "Nggak, Ma, kami cuma sedang membahas uang bulanan Ana, wajarkan, Ma? Ana kan anak kandungku juga," cicit lelaki itu ketakutan."Uang bulanan apa, Yah? Semuanya udah Mama urus,uang makan, uang sekolah, uang jajan, semua sudah Mama kasih untuk bulan ini," jelasku berapi-api. Ana adalah anak sulung suamiku dan mantan istrinya, sekarang sedang menempuh pendidikan SMA di sebuah pesantren bersama Dita, anak sulungku dan suami yang masih SMP. Yang membiayai tentu saja suamiku, dulu waktu masih jadi kuli bangunan saja dia tetap tanggung jawab pada anaknya kok, apalagi sekarang sudah jadi sultan, makin menggelontor saja dana untuk anaknya itu. Memang yang membiayai suamiku, tapi dengan syarat aku yang mengatur semuanya. Semua itu kulakukan supaya suamiku dan mantan istrinya tidak ada alasan untuk berhubungan lagi, namun nyatanya aku masih
Hari sudah larut, sudah kupastikan Rio tidur dengan nyenyak di kamarnya. Dian sudah pulang dari tadi, karena dia hanya bekerja dari pagi sampai sore. Waktunya me time. Kugunakan waktu me time setiap malam untuk merawat wajahku. Jangan sampai skip perawatan wajah saat sebelum tidur, kalau ingin skincare-mu bekerja maksimal. Lihat nih hasil dari tidak pernah lupa pakai skincare sebelum tidur, kulit putih, mulus, glowing, licin kayak marmer hehe ... yang terakhir canda ya gaes, selain rajin perawatan tentu saja karena skincare yang kupakai harganya di atas lima juta. Buat apa uang banyak kalau nggak dinikmatin. Mas Toro masuk saat aku sedang mengoleskan krim di pipi. "Tamunya udah pulang, Yah?" tanyaku memulai obrolan. "Udah, Mah. Kayaknya besok Ayah harus keluar kota, deh, Ma," ujar suamiku yang sudah berbaring di ranjang besar kami. "Ke mana, Yah? Bukannya jadwal ke Solo masih dua hari lagi?" tanyaku heran. "Ada customer baru, Ma. Ayah takut ketipu, partai besar, tapi orangnya n
"Siapa dia, Lian?" Tanyaku tak sabar. "Waktu itu, Pak Bos menyuruh saya memberikan kartunya pada Dian, Bu," jawab Lian membuatku mengernyitkan dahi. "Dian? Dian yang biasa nganter Rio?" ulangku memastikan. "Iyalah, Bu, Dian sepupu Bu Hasna, emang siapa lagi," sahut mandor muda itu cepat. "Kamu nggak bohong 'kan, Yan?" Aku menyipitkan mata. "Sumpah Demi Allah, saya ngomong apa adanya, Bu," ujarnya begitu meyakinkan. "Ya sudah, terima kasih infonya," ucapku mengakhiri interogasi. Semakin berdenyut saja kepalaku memikirkan masalah ATM ini, dapat keterangan dari Lian bukannya semakin terang malah tambah suram. Kenapa pula Mas Toro memberikan kartu pada Dian? Apakah berarti orang yang dikirimi uang oleh Mas Toro adalah Dian? Tapi untuk apa? Bukannya gaji Dian aku yang membayarkannnya? Daripada tambah pelik, mending aku tanya langsung saja pada orangnya, semoga saja Dian mau jujur. "Halo Di, kamu bisa datang ke kamar Mbak nggak?" tanyaku pada Dian lewat telpon, daripada capek nya