Share

Bab 3 Awal Mula Misteri ATM

Hari sudah larut, sudah kupastikan Rio tidur dengan nyenyak di kamarnya. Dian sudah pulang dari tadi, karena dia hanya bekerja dari pagi sampai sore.

Waktunya me time. Kugunakan waktu me time setiap malam untuk merawat wajahku. Jangan sampai skip perawatan wajah saat sebelum tidur, kalau ingin skincare-mu bekerja maksimal.

Lihat nih hasil dari tidak pernah lupa pakai skincare sebelum tidur, kulit putih, mulus, glowing, licin kayak marmer hehe ... yang terakhir canda ya gaes, selain rajin perawatan tentu saja karena skincare yang kupakai harganya di atas lima juta. Buat apa uang banyak kalau nggak dinikmatin.

Mas Toro masuk saat aku sedang mengoleskan krim di pipi.

"Tamunya udah pulang, Yah?" tanyaku memulai obrolan.

"Udah, Mah. Kayaknya besok Ayah harus keluar kota, deh, Ma," ujar suamiku yang sudah berbaring di ranjang besar kami.

"Ke mana, Yah? Bukannya jadwal ke Solo masih dua hari lagi?" tanyaku heran.

"Ada customer baru, Ma. Ayah takut ketipu, partai besar, tapi orangnya nggak mau transfer duluan, sayang kalau mau dilepas. Satu-satunya solusi ya, aku harus bawa barangnya sendiri, Ma, " jelas lelaki yang telah membersamaiku selama lima belas tahun itu.

"Terserah Ayah, aja. Tapi Mama nggak bisa ikut, loh, Yah. Orderan lagi banyak-banyaknya, sayang kalau ditinggal." Aku merapikan alat-alat skincare-ku yang telah selesai kupakai.

"Oh, ya, Ma, Ayah boleh pinjem duit nggak?"

"Buat apa, Yah?" tanyaku heran, beranjak mendekati ranjang.

"Kayaknya aku butuh suntikan modal, Ma. Nggak banyak kok, lima puluh juta aja."

"Modal buat apa? Oh ya, Yah, tadi Mama lihat di depan ada paket isinya merk LO*S, Ayah mau nembak merk* itu?"

"Iya, Ma, ada temen yang ngajakin kerja sama."

"Ayah tahu kan itu merk panas? Sangat panas malah."

"Tenang aja, Ma. Temen Ayah ini udah biasa main aman, kalau ini berjalan, untungnya akan berlipat ganda daripada merk kita, Ma."

"Tapi resikonya juga besar, Yah. Kalau ketahuan polisi bisa ludes semua harta yang sudah susah payah kita kumpulkan selama ini." Aku masih mencoba menasihati Suami supaya mengurungkan niatnya.

"Udah terlanjur, Ma. Merk udah datang, bahannya juga udah dipesan, tinggal nunggu datang aja besok," sahut suamiku tanpa rasa takut sedikitpun.

Benar saja apa yang dikatakan Mas Toro. Keesokan harinya, lima truck besar datang membawa bahan jeans kwalitas premium. Aku hanya menyaksikan dari dalam, tidak mau ikut campur urusan berat ini.

Akan tetapi, tiba-tiba Mas Toro datang menghampiri dan meminta uang lima puluh juta sekarang juga, guna membayar bahan-bahan itu. Untung saja aku selalu menyimpan uang cash di rumah.

"Terima kasih ya, Ma. Ayah janji bakal ganti dua kali lipat," janji suamiku begitu meyakinkan saat aku menyodorkan segepok uang padanya.

Sebenernya heran juga, hanya lima puluh juta kenapa dia sampai pinjam padaku, kemana perginya uangnya yang bermilyar-milyar itu.

***

Klunting.

Ada pesan masuk, kuraih ponselku, aktifitasku menyiapkan pakaian Mas Toro otomatis terhenti. Setelah di-check tak ada pesan apapun. Kukembalikan ponsel ke atas nakas, kuraih ponsel yang satunya lagi, ponsel Mas Toro.

Ponselnya tidak dikunci, jadi mudah saja bagiku untuk membukanya. Pesan pertama yang kulihat langsung membuatku melotot.

(Makasih, Bang, transferannya) begitulah bunyi pesan yang dikirim Vina.

Aku menge-check notifikasi M-Banking di ponsel Mas Toro, benar ada bukti transfer yang membuatku menggeram sebesar dua puluh lima juta rupiah. Buat apa Vina minta uang sebanyak ini? Apakah kehidupan sehari-harinya ditanggung oleh Mas Toro, katanya suaminya pekerja kantoran, masak masih minta uang suami orang. Huh, aku harus minta kejelasan sama suamiku.

Masih kutelusuri riwayat transaksi M-Banking itu, kutemukan berkali-kali transferan untuk Vina dengan nominal paling sedikit sepuluh juta, kenapa Mas Toro mau sih? Iya sih,Vina itu adiknya, tapi kan nggak sebanyak ini juga kalau cuma sekedar ngasih, lha ini kayak diperas aja.

Kutemukan lagi beberapa kali transferan pada nomer rekening atas nama Toro Sudiro, itukan kartu suamiku sendiri. Aku memicingkan mata, berpikir keras siapa ya yang megang kartu ATM atas nama suamiku yang ini, masalahnya kartu ATM atas nama dia bukan cuma satu aja, aku juga pegang satu kartu atas nama dia, namun bukan nomer rekening yang ini.

Pintu kamar mandi terbuka, Mas Toro keluar hanya mengenakan handuk sepinggang. Rambutnya masih basah, fresh sekali wajahnya.

"Ngapain, Dek?" tanyanya saat melihatku mengutak-atik ponselnya.

Aku tidak gugup sama sekali, toh aku bukan maling.

"Kenapa kamu transfer uang Vina banyak sekali, Mas?" tanyaku menginterogasi, panggilanku otomatis akan ganti 'Mas' kalau aku sedang emosi.

"Apaan sih, Ma? Siapa yang ngijinin Mama buka-buka ponsel Ayah?" Bukannya menjawab, Mas Toro malah marah dan merebut ponsel dari tanganku.

Sejak kapan ponsel jadi barang privasi bagi kami? Dulu aja ponsel satu dipakai berdua, nggak papa.

"Oh, sekarang kamu mau main kucing-kucingan sama aku, Mas?" seruku jengkel.

"Bisa nggak sih, kamu tuh nggak usah suka besar-besarin masalah, Ma! Cuma transfer Vina doang, apa salahnya? Dia kan adikku satu-satunya, jadi wajarlah kalau ikut nikmati sedikit yang kupunya," dalih Mas Toro fasih sekali.

"Dua puluh lima juta kamu bilang sedikit, Mas? Jatahku aja sebulan cuma lima belas juta, itupun untuk memenuhi semua kebutuhan di rumah ini, juga membiayai anak-anakmu yang di pesantren sana, lha ini dua puluh lima juta kamu berikan cuma-cuma pada Vina, bahkan seminggu yang lalu kamu juga sudah ngasih lima juta, motor kamu beliin, gaji pembantu kamu yang bayarin, nggak sekalian semua uangmu berikan saja padanya?" balasku dengan dada terbakar panas.

"Terus maumu gimana? Mau minta tambah jatah bulanan? Kamu kan juga dapat penghasilan dari jualan onlen, apa masih kurang?"

"Ini bukan masalah kurang atau nggak, ya. Tapi sikap kamu yang terlalu loyal kepada orang lain daripada kepada istri sendiri, Mas," ujarku dengan nada naik satu oktaf.

"Vina bukan orang lain, dia adikku, dia juga berhak menikmati apa yang aku punya," kekeh Mas Toro tidak mau kalah.

"Terserah kamu lah, Mas, aku capek debat sama kamu. O ya, jangan lupa utangmu segera kembalikan! Daripada untuk foya-foya adik tersayangmu itu, lebih baik buat modal usaha!" sindirku penuh penekanan, kutinggalkan kamar tanpa melanjutkan kegiatanku yang belum selesai, yaitu menyiapkan baju untuk Mas Toro. Bodo amat, biar dia cari sendiri.

Kulangkahkan kaki menuju tempat konveksi, tujuanku adalah menemui orang kepercayaan suamiku atau mandor yang mengawasi para pekerja. Karena aku harus memastikan sesuatu.

"Lian!" panggilku pada pemuda yang sedang duduk di depan meja yang ada di pojok ruangan.

Meski konveksi sangat bising karena suara puluhan mesin jahit yang berjalan bersamaan, namun suaraku tidak kalah nyaring sehingga pemuda yang kupanggil itu langsung menoleh.

"Bu Hasna, ada apa, Bu?" tanya Lian setelah berada di depanku.

"Aku mau bicara sebentar!" pintaku yang menyerupai perintah.

Lian mengikutiku melangkah menjauhi kebisingan konveksi.

"Mau ngomong apa, Bu?" tanya Lian setelah aku berhenti.

"Kamu ada megang kartu ATM Pak Bos?" tanyaku to the point. Meski aku marah sama Vina, tapi justru ATM inilah yang mengganggu pikiranku.

"Nggak, Bu. Dulu pernah, tapi setelah saya bikin , kartu ATM Pak Bos saya kembalikan," jawab Lian menjelaskan.

"Kartu yang pernah kamu pegang itu nomer rekeningnya ini?" tanyaku lagi sambil menunjukkan layar HP.

"Iya, Bu, bener nomer rekening yang itu."

"Kamu tahu siapa yang pakai kartu ini sekarang?" tanyaku lagi menyelidik.

Lian terlihat ragu,namun meluncur juga pengakuan dari mulutnya, "Tahu, Bu, karena saya sendiri yang menyerahkannya atas perintah Pak Bos."

"Kamu serahkan kartu itu pada siapa, Lian?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status