Share

Bab 6 Suamiku Ketipu, Aku Bahagia

Bab 6 Ketipu

"Dian ...."

Dian kah orangnya? Aku melirik Dian yang nampak terkesiap.

"... tetangga kamu yang pernah kerja di sini hanya sebulan itu siapa, Di?" lanjut Airin membuatku bernapas lega, fyuh kirain.

"Maksudmu Sita?" balas Dian balik bertanya.

"Iya, si Sita itu, dia keluar dari sini karena mau jadi simpanannya Pak Bos," ujar Airin memberitahu.

Aku tahu siapa Sita, orang dia tetangganya Dian otomatis dulu dia juga tetanggaku sebelum Ayah pindah ke perumahan. Dulu Dian lah yang mengajaknya bekerja padaku, baru sebulan yang lalu dia keluar. Jadi ini sebabnya dia keluar, dia telah terjebak dalam rayuan maut suamiku.

Tidak heran sih, Sita memang agak centil dan suka berdandan menor, gaya hidupnya juga lumayan hedon, jadi dia lebih memilih jalan pintas daripada bekerja keras. Bisa jadi Sita lah pemegang ATM itu saat ini.

"Kamu tahu dari mana, Rin?"

"Pernah lihat Sita sama Pak Bos gandengan tangan di mall, Bu," jawab Airin tanpa sungkan lagi.

Nggak perlu lah mencari bukti kebenaran perkataan Airin barusan, aku percaya kalau itu benar suamiku. Terima saja kenyataan ini, sudah lebih dari cukup bukti-bukti dari Dian dkk.

"Sampai sekarang apakah mereka masih berhubungan?" tanyaku lagi untuk yang terakhir kali.

"Tidak tahu, Bu."

"Oke, terima kasih infonya, sekarang cek rekening kalian masing-masing, udah masuk belum bonus dari saya." Aku pergi diiringi sorak kecil beberapa karyawan yang melihat saldo di rekeningnya bertambah.

Aku ikut tersenyum, semoga saja kebahagian kecil yang ku berikan pada mereka dapat menghapus kesedihan yang sedang membelenggu hatiku.

***

Menjelang senja, Mas Toro pulang. Tak ada rasa senang atau rindu yang menggebu melihat kedatangannya, yang ada aku ingin memukul wajahnya sekuat tenaga. Namun, aku harus tahan, jangan sampai bersikap bar-bar. Belum kuapa-apakan saja dia sudah terliha tak karuan, wajahnya kusut masai. Ada apa gerangan? Apakah dia tahu aku sudah mengetahui kebusukannya?

"Mah, aku ketipu, Mah," ujarnya lemas.

Hm, rupanya tebakanku salah. Bukan karena takut kehilanganku, tapi karena kehilangan uang dia sampai frustasi.

"Berapa, Yah?" tanyaku pura-pura ikut prihatin, padahal dalam hati bilang 'sukurin'.

"Lima ratus juta, Ma," jawabnya sambil nangis kejer, ah nggak ding, lebay amat.

Hm, jumlah yang fantastis. Tapi, lebih baik uang itu hilang daripada dihambur-hamburkan para wanita simpanannya.

Tak ada sedikitpun belas kasihan atau peduli padanya yang sedang kesusahan itu, hatiku seolah beku. Aku memang masih bersikap biasa saja di depannya, seolah-olah tidak tahu kalau dia telah mendua atau mentiga atau justru mengempat. Hah, rasanya aku yang ingin mengumpat.

Bukti-bukti dari para karyawanku belum cukup kuat, buaya sepertinya pasti akan mudah sekali membantah. Aku harus menemukan bukti yang lebih kuat dan dia tidak akan bisa mengelak.

"Ya udah si, Yah. Sudah hilang, nggak mungkin balik lagi 'kan? Anggap aja itu pengganti sedekah Ayah yang selama ini masih kurang, kalau ikhlas pasti Allah ganti lebih banyak lagi," nasihatku sok bijak, coba kalau belum tahu sua— ah, malas rasanya menyebut dia sebagai suamiku lagi, coba kalau aku belum tahu kelakuan bejatnya, pasti aku akan ikut histeris kehilangan uang sebanyak itu.

"Ya udah, untuk sementara ganti uang Mama dulu, ya!" pintanya kemudian tanpa beban.

Enak aja lo Bambang. Lo yang ngilangin duit, kenapa gue yang harus ganti? Nggak akan kuberikan sesen-pun uangku untuk menyenangkan gundik-gundikmu itu. Uangku hasil murni kerjaku, aku mengambil stock celana dari konveksi suami tapi tetep bayar, meski modal pertama dari uang belanja yang kusisihkan, itu kan memang sudah hakku mendapat nafkah dari suami, jadi hasil jualan onlen itu sepenuhnya milikku.

"Aduh, gimana ya, Yah? Uang Mama kan udah buat lunasin stock barang, uangnya juga di Ayah kan? Lagian, yang kemarin lima puluh juta juga belum Ayah balikin," alasanku menolak permintaannya.

Tiba-tiba ponselku bergetar, aku merogohnya dari saku gamis. Ternyata panggilan dari Dita di pondok.

"Halo, assalamu'alaikum, Ma." Begitu kuangkat, terdengar sapaan dari anak yang selalu kurindukan itu.

"Wa'alaikum salam, Nak," balasku lembut, tanyaku kemudian, "gimana kabar Dita di pondok, sehat?"

"Alhamdulillah Dita baik-baik aja, Ma. Mama gimana?"

"Syukurlah, Mama juga baik sayang, alhamdulillah," jawabku supaya Dita tidak khawatir.

"Ma, tadi kenapa nggak ikut Ayah ke pondok? Dita kan juga kangen pengen ketemu Mama," rajuk Dita kemudian, membuatku kaget.

Aku segera menyingkir agar Mas Toro tidak bisa mendengarku berbicara.

"Emang tadi Ayah ke pondok, Nak?" tanyaku dengan suara lirih.

"Aku nggak lihat si, Ma. Tapi, kata temenku lihat Ayah datang sama ibunya Kak Ana, terus mereka pergi bareng." Jawaban Dita benar-benar membuatku terkejut.

"Terus Ayah nggak nengokin kamu sama sekali?"

"Nggak, Ma. Orang aku tahunya aja dari temenku."

"Temen kamu yakin kalau yang datang itu Ayah sama ibunya Kak Ana?"

"Yakin, Ma. Yang diajak pergi aja Kak Ana, pasti mereka lah. Jangan-jangan Mama nggak tahu, ya, kalau Ayah pergi ke pondok?" tanya Dita curiga.

"Mama tahu, kok, Nak. Ya udah, kamu nggak usah sedih, besok Mama jengukin, deh!" rayuku demi mengalihkan kecurigaan Dita.

"Janji ya, Ma! Soalnya Dita udah kangen banget sama Mama sama Rio," ujar Dita kegirangan, "dah dulu ya, Ma. Banyak yang antri HP-nya, nih."

"Iya, Sayang. Belajar yang rajin, ya!" Tak lupa kuberikan pesan sebelum panggilan ditutup.

Keterlaluan kamu, Mas. Jadi, kau sudah mulai berani menipuku. Bilangnya mau kirim barang, ternyata pergi sama yang bukan mahram. Hm, jangan-jangan selama ini Mas Toro kembali berhubungan dengan mantan istrinya itu?

Bodoh atau gimana sih? Apa tidak ingat apa yang dulu sudah dilakukan wanita itu dulu?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
for you
segera aman kan harta mu setelah nya baru cari bukti kebejatan laki mu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status