Share

Bab 5 Suamiku Ternyata Buaya Darat

Baiklah, aku akan mencari tahu kebenarannya sekarang juga, apakah benar suamiku tukang main perempuan seperti yang dituturkan Dian.

Ya Allah, entahlah bagaimana hatiku jika ini benar. Tapi, kalau Dian berbohong, berani sekali dia mempermainkan nasib rumah tanggaku, rasanya nggak mungkin Dian setega itu padaku. Ah, sudahlah, lebih baik aku membuktikan langsung dengan menanyai para karyawanku itu.

"Lagi pada sibuk, ya?" tanyaku setenang mungkin, meski dalam hatiku tak karuan.

"Iya, nih Bu Bos, kita sibuk banget, dari tadi pesenan masuk terus," jawab Anita, salah satu karyawan packing.

"Pesanan membludak, Bu Bos," kata Dara sang admin yang bekerja di depan komputer.

"Stock pada abis, nih Bos," giliran Raya tukang catat stock bersuara.

"Alhamdulillah, tapi saya mau ngomong sebentar, tolong tinggalin kesibukan kalian dulu, ya!" pintaku pada mereka.

Semuanya nampak saling pandang, bertanya-tanya kira-kira ada apa?.

"Semuanya ada di sini, kan? Hari ini ada yang ijin, nggak?" tanyaku lagi sebelum mulai bicara.

"Berangkat semua kok, Bu," jawab beberapa orang serempak.

Aku memindai satu persatu, kuhitung genap sepuluh orang, termasuk Dian yang duduk bersandar di rak, berarti memang masuk semua.

"Oke, mungkin kalian bertanya-tanya, apa yang mau saya bicarakan? Kelihatannya serius sekali. Memang ini sangat serius, menyangkut masa depan keluarga saya, saya harap kalian dapat menolong saya! Tolong jawab jujur!"

Tambah penasaran saja mereka mendengar bicaraku yang sangat ambigu, baiklah aku akan bertanya secara blak-blakan sekalian, "Apakah di antara kalian ada yang pernah diajak suami saya bermain serong? "

Wajah-wajah terperanjat nampak sekali di depanku, kemudian saling pandang dan akhirnya menunduk. Pasti mereka semua paham 'kan dengan maksud pertanyaanku?

"Kalian ngomong aja, saya tidak akan marah!" bujukku penuh penekanan, rasa was-was menyelusup saat kunanti jawaban mereka.

"Nggak pernah, Bu," celetuk Aini mengawali teman-temannya menjawab.

"Kamu Anita?" tanyaku pada gadis yang paling duduk di depan.

Yang ditanya menggeleng, jawabnya sambil menunduk, "nggak pernah, Bu."

"Dara?" Aku berganti tanya pada gadis lainnya.

"Nggak, Bu," jawab Dara lirih, kepalanya juga menunduk.

"Sarah?"

"Nggak, Bu. " Lagi-lagi gadis yang kutanya tidak berani menatapku.

Kutanyai mereka satu persatu, dan jawaban semuanya sama. Ada sedikit lega di sudut hatiku, masih berharap kalau mereka semua jujur dan Mas Toro benar bukan lelaki brengsek pemain wanita. Namun, melihat mereka yang menjawab dengan menunduk, aku merasa ada yang mereka sembunyikan, ah sepertinya harapanku setipis tisu.

"Beneran nih, nggak ada yang dirayu suami saya?" tanyaku penuh penekanan.

Mereka hanya menunduk, tidak ada yang berani menatapku. Kutatap Dian yang nampak gelagapan, sepertinya dia merasa tersudut.

"Udah deh, guys, kalian jujur aja, Bu Bos juga udah tahu, kok!" teriak Dian tiba-tiba bangkit berdiri.

"Duduk, kamu, Di!" gertakku padanya.

"Tapi mereka semua itu bohong, Bu!" protes Dian kesal, kalau di depan karyawan dia memang memanggilku 'Bu' meski nanti jika berdua saja dia akan kembali memanggilku 'Mbak'.

"Benarkah apa yang dikatakan Dian, kalau kalian semua itu berbohong?" tanyaku kembali pada para perempuan itu.

"Saya nggak bohong, Bu," ujar Aini sambil mengangkat tangannya.

Kulihat sikapnya berani sekali, wajahnya juga nampak tenang dan datar saja. Sepertinya dia jujur.

"Wajarlah Bu, Aini kan masih baru, Pak Bos belum terlalu mengenalnya, coba itu Dara suruh jujur!" serobot Dian.

Masuk akal juga kata Dian, kulirik Dara yang masih menunduk aja sedari tadi. Apalagi Dara itu paling cantik di antara mereka semua.

" Dara," panggilku.

" I—ya, Bu," jawabnya takut-takut.

"Tolong kamu jujur sama saya, saya mohon dengan rendah hati, tolong katakan yang sebenarnya, Dara. Saya mohon!" pintaku memelas, apa pula yang membuat mereka tidak berani jujur padaku?

Saat Dara tak kunjung memberi jawaban, tiba-tiba Dian merebut ponsel teman yang ada di dekatnya, mengutak-atik sebentar, lalu berjalan mendekatiku.

"Kalau Bu Hasna nggak percaya, nih lihat sendiri!"

Kuraih ponsel yang ada disodorkan Dian. Nampak chat WA panjang terpampang, setelah kuteliti ternyata pengirimnya nomer suamiku. Isi chat itu sungguh meruntuhkan duniaku, dengan kata-kata dan janji manis suamiku merayu wanita lain. Terbukti sudah apa yang Dian katakan, ternyata suamiku beneran biaya darat.

"Apakah kalian semua juga menerima chat seperti ini?" tanyaku kemudian dengan suara bergetar.

"Iya, Bu," aku mereka serempak.

Astaghfirullah, berapa kira-kira wanita yang telah dirayu suamiku? Masih di sini aja sudah ada sepuluh orang, aku yakin di luar pasti lebih banyak wanita yang dirayunya.

"Kenapa tidak ada satupun dari kalian yang melapor pada saya?" Aku bertanya sambil menatap tajam wajah-wajah mereka yang ketakutan.

Semuanya diam, tidak ada yang berani menjawah. Suasana hening sesaat.

"Adakah yang tergiur dengan ajakan suami saya ini?" tanyaku lagi memecah kebisuan.

Semuanya menggeleng, dan ada yang menjawab lirih, " nggak, Bu."

"Kenapa? Bukankah tawaran suami saya sangat menggiurkan? Kalian bisa menggunakan ATM-nya dengan sesuka hati, yang pasti isinya nggak mungkin hanya sejuta dua juta, kalian bahkan tidak perlu capek-capek kerja sama saya, cukup jadi simpanan suami saya saja sudah bisa hidup enak," cecarku melampiaskan sesak di dada.

"Tapi itu nggak berkah, Bu," jawab Airin, lanjutnya lagi, "lagian masak kami tega sama Bu Hasna, Ibu sudah baik banget ngasih kerjaan kami yang nggak punya ijazah ini, juga sering membantu kalau kami kesusahan, kami bukan kacang lupa kulitnya, Bu."

Setetes air mata jatuh membasahi pipi, entah karena luka di hati ini atau karena terharu mendengar jawaban Airin yang juga sambil meneteskan air mata.

Kuusap pelan pipiku dengan ujung kerudung yang kupakai, "Syukurlah kalau kalian menganggap saya begitu, saya berterima kasih."

"Maaf Bu Hasna, tapi ...." kata Airin menggantung.

"Kenapa, Rin?"

"Ada satu dari kami yang mau menerima tawaran Pak Bos itu."

Pernyataan Airin yang terakhir berhasil membuat semua yang ada di ruangan itu saling memandang satu sama lain, bertanya-tanya siapa yang dimaksud gadis berjilbab merah itu.

"Dia siap, Rin?" tanyaku yang juga sangat penasaran dengan orang yang telah tega menghianatiku itu.

"Dian ...."

Hah? Ternyata Dian ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status