Share

Bab 4 Semakin Pelik

"Siapa dia, Lian?" Tanyaku tak sabar.

"Waktu itu, Pak Bos menyuruh saya memberikan kartunya pada Dian, Bu," jawab Lian membuatku mengernyitkan dahi.

"Dian? Dian yang biasa nganter Rio?" ulangku memastikan.

"Iyalah, Bu, Dian sepupu Bu Hasna, emang siapa lagi," sahut mandor muda itu cepat.

"Kamu nggak bohong 'kan, Yan?" Aku menyipitkan mata.

"Sumpah Demi Allah, saya ngomong apa adanya, Bu," ujarnya begitu meyakinkan.

"Ya sudah, terima kasih infonya," ucapku mengakhiri interogasi.

Semakin berdenyut saja kepalaku memikirkan masalah ATM ini, dapat keterangan dari Lian bukannya semakin terang malah tambah suram.

Kenapa pula Mas Toro memberikan kartu pada Dian? Apakah berarti orang yang dikirimi uang oleh Mas Toro adalah Dian? Tapi untuk apa? Bukannya gaji Dian aku yang membayarkannnya?

Daripada tambah pelik, mending aku tanya langsung saja pada orangnya, semoga saja Dian mau jujur.

"Halo Di, kamu bisa datang ke kamar Mbak nggak?" tanyaku pada Dian lewat telpon, daripada capek nyari di rumah sebesar ini.

"Sekarang, Mbak?" balas Dian di sebrang sana.

"Iya, Mbak tunggu, ya!" Aku mengakhiri panggilan.

Sengaja kusuruh Dian datang ke kamar, karena aku perlu bicara pribadi dengannya, jangan sampai orang lain tahu, dan tempat paling aman adalah kamarku dan Mas Toro. Untung saja suamiku sudah pergi, malas sekali jika harus bertemu saat ini.

Lima menit menunggu, pintu kamarku diketuk.

"Masuk aja, Di!" perintahku pada orang di luar yang kuyakini adalah Dian.

Benar saja, kepala Dian melongok duluan sebelum memasukkan badannya dan kembali menutup pintu. Ini bukan kali pertama dia masuk ke kamarku, jadi sikapnya biasa saja meski melihat ruangan yang luas dan dipenuhi barang mewah ini.

"Ada apa, Mbak?" tanya Dian penasaran.

Aku menyuruhnya duduk di sampingku yang duduk di ranjang, perempuan berparas manis itu menurut.

"Maaf ya, Di, kalau yang mau aku tanyakan ini mungkin menyinggung perasaanmu," ucapku pelan.

Aku menarik napas sebelum kembali bicara, "Apa benar kamu ... dikasih kartu ATM oleh Mas Toro?"

Dian nampak terperanjat mendengar pertanyaanku, "Dari mana Mbak Hasna tahu?"

"Jadi benar kamu dikasih ATM oleh suamiku?" ulangku dengan mata membola.

"I—iya, Mbak. Tapi Mbak Hasna jangan salah paham dulu!" cegahnya buru-buru.

"Kalau kamu bisa menjelaskan alasan yang masuk akal, Mbak nggak akan salah paham." Aku percaya Dian orang yang baik, dan semoga kepercayaanku ini tidak sia-sia.

"Udah setengah tahun yang lalu, Mbak—"

"Jadi sejak setengah tahun yang lalu kamu pegang kartu ATM suamiku, Di?" potongku sebelum Dian menyelesaikan kalimatnya.

"Tidak, bukan seperti itu!" sangkal Dian cepat, "dengerin penjelasan aku dulu Mbak!"

Bagaimana aku bisa sabar, nasib rumah tanggaku bergantung dengan keterangan Dian. Tapi, baiklah aku akan sabar,kutunggu Dian sampai selesai menjelaskan. Semoga saja tidak ada apa-apa antara suami dan sepupuku ini.

"Jadi, setengah tahun yang lalu, Lian tiba-tiba datang menyerahkan sebuah kartu ATM padaku. Katanya, sih, disuruh Pak Bos, aku nggak tahu apa-apa. Jadi, kuterima saja. "

Dian mengambil napas sebentar sebelum melanjutkan, sementara aku masih setia mendengarkan.

"Hari berikutnya, Pak Bos nemuin aku Mbak. Aku tanya, untuk apa ATM itu? Dan dia bilang .... "

"Dia bilang apa, Di?" tanyaku tak sabar karena Dian menggantungkan kalimatnya.

Dian menatapku lekat, "tapi Mbak Hasna janji, jangan marah sama aku, ya, Mbak!"

Aku mengangguk cepat, "Mbak janji nggak bakal marah."

Dian menarik napas panjang, dia nampak ragu untuk mengatakan. Namun, akhirnya keluar juga pengakuannya setelah kubujuk. "Pak Bos bilang, aku boleh memakai isi ATM itu sesukaku. Asal ... aku mau jadi ... simpenannya, Mbak."

Jder. Bagaikan petir di siang bolong, aku memegangi dadaku yang sesak setelah mendengar pengakuan Dian. Benarkah Mas Toro melakukan itu?

"Kamu sedang nggak ngarang cerita kan, Di?"

"Sumpah, Mbak! Aku nggak bohong, " sangkal Dian cepat.

"Terus kamu mau?" tanyaku mengorek lebih dalam.

Dian menggeleng, "Aku nggak mau lah, Mbak. Mbak Hasna kan sepupuku, masak aku tega selingkuh dengan suami Mbak, lagian Mbak Hasna udah baik banget sama aku, sama ibuku, masak aku balas dengan air tuba, sih, Mbak. Aku juga nggak mau lah jadi pelakor, kayak nggak ada cowok single aja."

"Terus kenapa kamu nggak pernah ngomong sama Mbak?"

"Aku malu, Mbak. Juga nggak ingin rumah tangga Mbak Hasna bermasalah," jawab Dian lirih.

Aku menghela napas mendengar jawaban Dian. "Tapi dengan kamu nggak bilang, rumah tanggaku justru bermasalah yang mana aku sendiri tidak tahu."

"Maaf, Mbak." Dian menundukkan kepalanya.

"Kamu nggak ngarang cerita ini kan, Di? "

"Tanya saja sama anak-anak admin, Mbak. Semuanya pernah dirayu Pak Bos," ujar Dian mengungkap satu fakta lagi yang selama ini aku buta pada suamiku.

Benarkah semua ini? Benarkah Mas Toro tega mengkhianatiku? Wanita yang telah menemaninya dari nol hingga menjadi milyader seperti sekarang. Tapi, kenapa selama ini tidak sedikitpun ada sikapnya yang mencurigakan? Apakah aku terlalu naif karena begitu mempercayainya sebagai lelaki setia?

"Apa sekarang kamu masih memegang kartu itu, Di?" tanyaku lagi kemudian.

"Nggak lah, Mbak. Langsung aku balikin begitu tahu apa tujuan Pak Bos," jawab Dian cepat.

Lalu siapa pemegang kartu ATM itu sekarang? Apa salah satu anak admin? Bisa dipastikan dia adalah selingkuhan Mas Toro. Ya Allah, ada yang berdenyut di hatiku, sakit sekali. Kuatkan hamba mengetahui kebusukan suami hamba yang selama ini hamba tidak tahu, Ya Allah. Kan kusingkap topeng busuknya sampai dia memperlihatkan wajah aslinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status