Share

Kusingkap Topeng Busuk Suamiku
Kusingkap Topeng Busuk Suamiku
Penulis: Viki_aulia

Bab 1 ketahuan

"Yah, tolong antar Rio sekolah, ya!" pintaku pagi ini.

"Kamu nggak lihat aku sedang mandiin burung? Kamu mau ngapain emang nggak bisa ngantar Rio?" sahut Mas Toro, suamiku itu nampak kesal karena kesenangannya terganggu.

Mau nguji kamu, Mas, dan ternyata kamu lebih peduli dengan burung-burungmu itu daripada anakmu sendiri. Ingin rasanya kulontarkan perkataan ini, namun nyatanya hanya mampu kusuarakan dalam hati.

Aku masuk, memanggil Rio yang sudah selesai sarapan. "Adek, ayo, hari ini Mama antar kamu, ya!"

"Iya, Ma, emang Mbak Dian nggak dateng, Ma?" tanya Rio mengikuti langkahku ke depan.

Dian adalah sepupuku yang biasa bertugas mengantar-jemput Rio sekolah.

"Bude Rahmi sakit, Dek. Makanya Mbak Dian nggak bisa dateng, kalau Adek pengen ketemu Mbak Dian nanti siang kita mampir ke rumah Bude Rahmi, sekalian jenguk, gimana?" jelasku sekalian memberinya tawaran.

"Boleh, Ma. Nanti bawa oleh-oleh yang banyak buat Bude Rahmi, ya, Ma!" usul anakku yang masih berumur sepuluh tahun itu.

Aku mengacungkan jempol tanda setuju. Aku masuk ke garasi, Rio menunggu di halaman. Kukeluarkan salah satu motor matic besar dari lima motor yang berjejer rapi di garasi.

"Mah, sekalian mampir ke rumah Vina, ya! Barusan dia telpon nyuruh Ayah nganterin Bunga, Mama aja sekalian nganter Rio!" suruh suamiku tanpa menatapku, pandangannya hanya lurus pada burung.

Kulirik sinis lelakiku itu, "Emang Vina mau ngapain sampai nganter anaknya sekolah aja nggak bisa?'

Kubalikkan sekalian kata-katanya tadi, yakin seratus persen dia bakal membela adik kesayangannya itu.

"Maklum lah, Ma. Vina itu wanita karir, jadi dia sibuk." Tuh kan, apa kubilang? Vina dia bilang wanita karir, iya sih dia punya karir, joget-joget nggak jelas di tiktak sepanjang hari sampai lupa ngurus anak dan suami.

"Iya, ya, Yah. Kalau Mama kan pengangguran, kerjaannya ongkang-ongkang kaki doang di rumah, uang tinggal minta butuh berapa aja pasti Ayah kasih ...." Belum selesai aku bicara, udah dipotong aja.

"Nah itu Mama tahu," sahut lelaki itu dengan santainya, tanpa merasa sedikitpun kalau aku baru saja habis-habisan menyindirnya.

Dasar lelaki sableng, aku yang tiap hari bantuin kerja dibilang nganggur, adiknya yang kerjaannya joget-joget nggak jelas dibilang wanita karir. Awas aja, aku nggak bakal mampir ke rumah adik kesayanganmu itu.

Daripada tambah dongkol mending nyuruh Rio segera naik ke jok belakang, setelah siap aku segera memacu kuda besi keluaran terbaru itu dengan kecepatan sedang. Demi keselamatan anak di belakang, kuurungkan niat untuk balapan.

***

Kuantar Rio hanya sampai di gerbang sekolahnya saja, selanjutnya biar dia masuk sendiri. Kayak baru kelas satu saja kudu diantar sampai depan kelas, dia kan sudah kelas empat. Sekolahan sudah ramai, Rio tak lupa salim dulu sebelum dia berlari bersama temannya menuju kelasnya.

Niatku langsung tancap gas pulang ke rumah, rupanya ada gerombolan ibu-ibu yang nongkrong di warung depan, entah apa yang sedang mereka lakukan, menunggu anaknya sampai pulang sekolah? Emang anak mereka masih TK apa, yang kutahu mereka semua itu wali murid teman-temannya Rio.

"Mau kemana, Mbak Hasna?" sapa salah satunya padaku, "buru-buru amat,kumpul-kumpul dulu sini, gaul sama kita-kita."

Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka. Daripada waktuku habis buat gibahin orang, mending pulang nyari cuan.

Masih kudengar mereka mengataiku sombong sebelum motorku melaju kencang, bodo amatlah. Sampai di rumah, aku sudah disambut perempuan berdandan menor dan berpakaian ngepas body sambil berkacak pinggang.

"Mbak Hasna, gimana sih, disuruh jemput Bunga malah nggak datang-datang? Aku samperin kesini udah ditinggal," cerocosnya dengan nada tinggi.

"Maaf, aku bukan sopirmu, ya. Jadi jangan sembarangan kamu nyuruh-nyuruh aku buat jemput anak kamu," sahutku sambil turun dari motor.

"Yang bilang Mbak Hasna sopir siapa? Aku kan cuma minta tolong, Mbak?"

"Kamu mikir, dong! Rumah kamu itu berlawanan arah dengan sekolah Rio, kalau ke rumahmu dulu aku jadi harus muter, kejauhan, bisa-bisa anakku telat masuknya. Lagian apa susahnya sih nganter anak sendiri?" balasku panjang lebar.

"Aku kan si--, "

"Sibuk joget depan kamera? Nggak mungkin kamu sibuk beberes rumahkan? Semua yang mengurus pekerjaan rumah, bahkan sampai kebutuhan anak dan suamimu itu pembantu, wanita karir sepertimu itu sibuk apa?" Kukeluarkan unek-unekku selama ini, dan asal kalian tahu aja kalau yang menggaji pembantu di rumah Vina adalah suamiku.

"Bang Toro, Mbak Hasna nih, Bang...," adunya pada suamiku yang belum selesai dengan ritual burung-burungnya yang berjumlah belasan itu.

"Udahlah, Ma. Tadinya kalau Mama nggak mau jemput Bunga, bilang! Biar Ayah aja yang jemput, nggak usah marah-marah, sih" kata suamiku menghentikan aktifitasnya.

"Ya udah sana Ayah anterin, tapi ingat, balikin motor PC* yang minggu kemarin Ayah beliin Vina dengan alasan buat nganter Bunga sekolah, Vina udah nggak butuh dong, dia kan kan udah nggak perlu nganter Bunga lagi."

Kuputuskan sudah tidak mau meladeni adik Mas Toro yang manja itu lagi. Aku bergegas masuk, tak kuperdulikan Vina yang masih merengek pada abangnya itu, pekerjaan yang menumpuk sudah menungguku di gudang belakang.

Jangan dibayangkan yang menungguku adalah seabrek pekerjaan rumah, karena kalau itu sudah ada tiga pembantu dengan tugasnya masing-masing.

Kuteruskan langkah kaki melewati koridor panjang yang memisahkan rumah dan pabrik konveksi celana jeans milik kami. Masih pukul setengah delapan pagi, jadi masih sepi, nanti kalau sudah waktunya jam kerja sebelah ruangan besar sebelah rumah itu akan ramai oleh para pekerja yang berjumlah puluhan.

Sampai di gudang belakang, pintu masih tertutup rapat, aku mengeluarkan anak kunci dari saku gamis yang kupakai. Setelah terbuka lebar, nampaklah sebuah ruangan luas dan bersih. Rak-rak kayu setinggi dua meter mengitari keempat sisi tembok. Tiga buah komputer berjejer dan sebuah kuluas. Inilah tempatku menganggur, bermain komputer sembari menunggu orderan masuk berkali-kali.

Aku adalah penjual onlen,meski suamiku sudah kaya dan memberi nafkah yang cukup untukku, tapi aku tidak mau berpangku tangan begitu saja.

Yang aku jual tentu saja berbagai model celana yang diproduksi konveksi suamiku. Setiap hari selalu banjir orderan, aku selalu kewalahan mesti sudah dibantu sepuluh karyawan yang akan datang sebentar lagi. Sementara rak-rak banyak yang kosong tidak ada isinya.

Kucek satu persatu stock apa yang kurang, setelah selesai mencatat aku berniat keluar mengambil barang di gudang sebelah. Namun, saat akan membuka pintu, kulihat suamiku sedang menelpon sambil membelakangi.

"Memangnya uangnya kurang berapa, hem?" Kudengar suara suami bicara sambil menempelkan ponsel di telinga.

Aku tidak berniat menguping, tapi suara selanjutnya membuatku naik darah.

"Wulan, halo, Wulan...," jadi dia sedang menelpon mantan istrinya.

Aku keluar dari persembunyian, menatap tajam wajah suamiku yang terlihat pucat pasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status