Share

Kenangan

Nadia mengambil sebuah kertas yang terselip di dalam dompetnya. Lalu ia serahkan kertas hasil USG yang mulai usang itu kepada Ega yang termangu melihat ke arahnya.

"Ini......." Tangan Ega bergetar menerima kertas itu. Hatinya bergemuruh, menimbulkan rasa sakit nan sesak di dadanya.

"Iya....anakmu. Usianya baru sembilan Minggu. Dia gak bisa bertahan karena ibunya yang lemah dan bodoh ini." Nadia berucap dengan menahan tangisnya. Mengenang kembali kejadian dimana dia harus merelakan janin itu karena pendarahan hebat yang dialaminya sungguh sangatlah menyakitkan.

Mendengar itu, dunia Ega terasa berhenti. Ia masih terus memandangi kertas itu dengan mata yang mulai memanas. Lehernya terasa dicekik, hingga tak mampu berkata apapun. Sedetik kemudian Ega tertunduk. Tubuhnya seperti tak memiliki tenaga lagi.

Kemudian, airmatanya mulai menetes, membasahi pipinya. Baru kali ini Ega merasa teramat terluka. Baru kali ini Ega menangis menyesali kesalahan dan kebodohannya.

-----

"Ega, gimana menurutmu si Nadia, anak sahabat papa tadi? Cantik kan? Manteb kalau dijadiin istri kan Ga?" Tanya Firman kepada anaknya yang sedang menyetir mulai meninggalkan area rumah sakit.

Mendengar pertanyaan itu, Ega hanya tersenyum kecut. Sebuah tanggapan ngambang yang membuat Firman mengerutkan kedua alisnya.

"Kok cuma senyum si Ga? Apa kalian gak cocok setelah kalian ngobrol berdua tadi?" Firman menarik nafas sejenak. "Padahal papa udah cocok lho kalau Nadia jadi mantunya papa. Mama pasti juga cocok Ga. Tau sendiri kan mama udah ngebet banget pingin kamu segera menikah. Pingin segera gendong cucu mama Ga. Tau sendiri kan teman-teman mama sudah pada punya cucu."

'Cucu' Bisik Ega dalam hati. Kata yang begitu simpel namun sukses membuat hati Ega nyeri setengah mati. Apalagi papanya mengulang-ulang kata itu beberapa kali. Membuat ingatan Ega kembali saat ia memandangi foto hasil USG janin yang merupakan darah dagingnya itu.

"Pa, please deh. Jangan bahas cucu lagi. Jangan bahas Nadia lagi. Ega gak bisa denger lagi pa." Ega meninggikan suaranya, jengah dengan papanya yang terus saja berceramah.

"Lhoo...kok kamu malah marah sama papa. kenapa ini? Nadia bener-bener nolak kamu?"

"Iya pa, jadi gak usah ngarepin Ega bisa sama Nadia ya pa." Terlihat Ega begitu frustasi kali ini.

"Halahh....Remeh kamu Hanega. Baru gitu aja udah nyerah. Ditolak Nadia baru sekali aja kamu udah menyedihkan kek gini Ga Ga. Kamu tadi udah setuju kan kita jodohin sama Nadia?" Terlihat Ega mengangguk dan memperhatikan setiap kalimat yang papanya ucapkan sambil terus berkonsentrasi menyetir.

"Menurut papa, kalau kamu udah setuju sama perjodohan itu, berarti kan kamu ada rasa tertarik, suka atau sejenisnya lah." Ega mengangguk lagi, menyetujui ucapan papanya.

"Trus...sebagai laki-laki apa yang harus kamu lakukan Ega?" Ega menggeleng pelan. Membuat Firman menepuk jidatnya dengan tangannya sendiri. Sontak, Ega menepikan mobil dan menghentikan mesinnya. Memberikan fokusnya seratus persen pada sang papa.

"Ya ampun Ega, kamu tu udah dewasa. Udah umur 28 tahun, bentar lagi mo kepala tiga, tapi kamu gak tau harus berbuat apa pada situasi seperti ini?" Terlihat Firman sangat frustasi menghadapi anak laki-laki satu-satunya yang ia miliki ini.

"Modal kamu tu udah sangat cukup buat ngrayu perempuan Ga. Tampan, iya. Sukses, iya. Kurang apa lagi coba anak papa ini." Ega memanyunkan bibirnya, mendengar sang papa sedang memujinya.

"Udah deh pa, bilang aja apa yang harus Ega lakuin. Ega udah pusing pa."

"Kamu tu udah dapat backingan dari orangtuanya , Prasetyo kan udah setuju. Kamu udah punya nilai plus Ga dibanding sainganmu diluar sana. Harusnya kamu lebih percaya diri, tunjukan ke Nadia kalau kamu gak main-main, kalau kamu serius mau nikahin dia. Pepet terus Ga, jangan kasih ruang orang lain yang mo deketin Nadia. Buat dia suka sama kamu. Buat Nadia percaya sama kamu kalau kamu itu satu-satunya laki-laki di dunia ini yang pantas mendampinginya" Ega manggut-manggut memperhatikan penjabaran bagaiman cara meluluhkan hati Nadia. Sang papa begitu terdengar serius dan berpengalaman bukan. Jadi tak ada salahnya untuk Ega mencoba cara yang disarankan papanya itu.

"Kamu gak tau Hanega, betapa susahnya papa meluluhkan mamamu dulu." Mata Ega terbelalak mendengar ucapan papanya yang kini sendang memandang lurus kedepan. Seolah sedang merangkai kepingan-kepingan kenangan bersama mama dulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status