"Makasih udah anter aku sampai kos." Ucap Nadia datar setelah Ega selesai memarkirkan mobil Nadia di area parkir kos dan mematikan mesinnya. "Tunggu." Ega meraih tangan Nadia yang hendak membuka pintu mobil dan keluar dari sana. "Aku anter sampai dalem. Kamu gak boleh naik tangga dengan kaki seperti itu." Pinta Ega pada Nadia. Membuat mereka saling pandang untuk sejenak. Tanpa menunggu lama, Ega turun dari mobil. Melangkah mengitari mobil dan membuka pintu untuk Nadia. "Ayok." Ega sudah mengulurkan kedua tangannya. Sedang Nadia masih mematung. Menerima sikap manis dan perhatian dari Ega seperti ini sungguh membuat hati Nadia gentar untuk terus membencinya. "Aku bisa jalan sendiri Ga." Nadia menepis uluran tangan Ega dengan lembut. Mencoba menolak segala bentuk sikap Ega yang membuat hatinya tak karuan itu. Ega menggeleng tegas mendengar perkataan Nadia itu. Ia seperti tak mau dibantah. Dan sejurus kemudian, tanpa menunggu persetujuan Nadia, Ega sudah menggendong tubuh Nadia
"Mau sampai kapan kita kayak gini Nad? Kamu gak capek berdiri terus? Gak mau duduk aja? Nanti aku peluk lagi." Sudah lebih dari sepuluh menit Ega dan Nadia berada di posisi yang sama, berpelukan. Dan entah sudah berapa kali Ega dengan leluasa mencium pucuk kepala Nadia. Sungguh ini kemajuan pesat bagi hubungan mereka. "Aku malu." Jawab Nadia dengan suara yang sangat lirih. "Malu? Sama siapa?" Tanya Ega gemas melihat tingkah Nadia yang menjadi sangat manja kepadanya. Bahkan, Ega belum pernah menemui Nadia yang manja seperti ini lima tahun yang lalu. "Kamu." Dengan wajah yang terbenam di dada Ega, suara Nadia masih bisa terdengar jelas oleh Ega meski sangat lirih. "Kenapa malu?" Tanya Ega kembali. Masih dengan menciumi rambut Nadia yang beraroma mawar. Sepertinya wangi itu akan menjadi favorit Ega nantinya. "Segalak dan sejuteknya aku ke kamu, kenapa tiba-tiba minta peluk kamu kayak gini. Bikin aku malau Ga." Nadia sedikit merenggangkan dekapannya. Membuat suaranya lebih je
Sungguh diluar dugaan, Nadia begitu lancar mengutarakan keresahan hatinya di depan Ega. Ia bahkan tak menolak saat dipeluk oleh laki-laki itu. Semudah itukah hatinya luluh? Semudah itukan ia menerima kehadiran Ega? Semudah itukah ia melupakan rasa sakit yang selalu menghantuinya selama ini? "Kenapa pelukan Ega senyaman itu?" Nadia berdialog dengan dirinya sendiri di dalam hati. Rasa nyaman berada dalam dekapan Ega seolah masih tertinggal ditubuhnya yang saat ini telah terbungkus selimut. Hingga membuat ia sesekali tersenyum mengenang adegan yang benar-benar tak pernah terfikir olehnya. Tak henti-hentinya ia terus memutar memori kebersamaan yang baru saja ia lalui dengan Ega beberapa saat yang lalu itu. "Tingggg..." Sebuah bunyi notifikasi di handphonenya menghentikan lamunannya. Menginterupsi konsentrasi yang sedari tadi tertuju pada ingatan-ingatan tentang Ega. Cepat-cepat Nadia meraih handphone yang tergeletak di atas meja kecil itu. Segera mengecek adakah hal penting yang mem
Entah siapa yang lebih dulu memulai hingga bisa sampai pada sebuah kesepakatan untuk bertemu diwaktu yang cukup pagi ini. Baik Ega maupun Nadia begitu bersemangat untuk bangun lebih awal padahal keduanya tak bisa tidur nyenyak semalam. Namun hasrat untuk segera bertemu kembali seperti menggelorakan jiwa mereka. Mengalahkan rasa kantuk yang mendera keduanya. "Kita sarapan dulu ya Nad?" Tanpa menunggu persetujuan dari Nadia, Ega melajukan mobil untuk berbelok di hamparan halaman luas sebuah rumah makan yang menyediakan menu-menu masakan Jawa. Juru parkir pun dengan sigap memandu Ega untuk mensejajarkan mobil miliknya dengan mobil-mobil pengunjung lain. "Kenapa?" Ega menatap Nadia yang masih duduk manis tanpa pergerakan. Padahal mesin mobil sudah mati, seharusnya mereka segera turun bukan. Nadia tak menjawab, ia tersenyum tipis dan menunjukkan raut keraguan. "Satu, yang harus aku ingat sekarang." Ega menjeda kalimatnya. Ia melepaskan sabuk pengaman. Lalu tersenyum kepada Nadia y
Perasaan yang kacau menuntun Nadia melakukan apa saja demi bisa terhubung dengan Ega. Mulai dari mengirim pesan, sampai menelfon laki-laki itu berkali-kali. Namun usahanya seperti tak menunjukkan hasil. Seakan semua yang ia lakukan sia-sia. Hingga Nadia sampai pada ujung kesabarannya, mengambil kunci motor yang tergeletak diatas meja belajar dengan tergesa dan melangkah penuh rasa emosi yang ingin segera dia ungkapkan pada Ega. Nadia berkendara dengan begitu ugal-ugalan, memutar gas motornya kesetanan, seakan dia tak sabar ingin segera memangkas jarak kos-annya dengan lokasi dimana Ega berada. "Taman belakang kampus Fakultas Bahasa dan Seni," gumam Nadia berkali-kali di sepanjang perjalanannya. Informasi yang kemungkinan besar valid itu didapat Nadia dari sahabat Ega, Faris. Dan benar saja, sesaat setalah Nadia sampai diparkiran belakang kampus dekat dengan taman yang dipenuhi bunga warna warni, rumput segar kehijauan. Di sana juga terdapat pohon-pohon besar menjulang memberi ke
"Sorry guys, mending bubar aja ya, okey... okey...sorry, sorry banget..." Berkali-kali Faris memohon maaf kepada teman temanya, yang dengan terpaksa harus menghentikan obrolan dan mengusir mereka untuk pergi dari lokasi.Situasi semakin menegang antara Ega dan Nadia. Untung mereka mengerti dan segera pergi dari tempat itu.Tapi tidak dengan Faris, dia hanya sedikit menjauh dari dua remaja yang saat ini masih saling menatap penuh kemarahan. Memberi ruang untuk mereka berdua berbicara lebih jauh, namun tetap memantau dari jarak aman yang masih memungkinkan untuk mendengar obrolan Ega dan Nadia.Bukan karena Faris terlalu kepo, tapi dialah orang yang paling paham situasi saat ini. Faris tau apa yang telah terjadi antara Nadia dengan Ega, sahabatnya. Faris adalah orang yang paling tau apa penyebab ketegangan itu terjadi. Bahkan, Faris menjadi saksi hidup kejadian malam itu."Gue gak akan ngabulin permintaan Lo." Ega yang memulai bicara kembali sambil memegangi pipinya yang kemerahan akiba
Hari sudah gelap saat Nadia sampai di kos miliknya. Namun Nadia enggan menyalakan lampu. Dia ingin sejenak berada di dalam kegelapan. Dia ingin meratapi nasib buruk yang sedang ia terima saat ini. Rasanya tubuh Nadia begitu lelah seperti baru saja di timpa beban beratus-ratus ton beratnya. Begitu banyak energi yang Nadia habiskan sore tadi. Berdebat dengan Ega yang tak membuahkan hasil sangatlah melelahkan ternyata. Hal itu semakin membuat Nadia merutuki dirinya sendiri akan kebodohannya. Nadia tak tahan lagi, direbahkan tubuhnya diatas kasur lantai miliknya. Mencoba meletakan seluruh masalah yang sedang ia hadapi. Dan sesaat kemudian handphonenya berbunyi. Notifikasi pesan wa yang terdengar nyaring di heningnya kamar mampu menyita konsentrasi Nadia yang sedang berbaring. 'Selamat siang Nadia Hangesti Kami dari Bank ***** ingin menginformasikan bahwasanya Nadia lolos seleksi seleksi wawancara. Maka dari itu Nadia dimohon untuk segera menghubungi HRD kami guna menindaklanjuti inf
Nadia harus pergi meninggalkan orang tua dan kakaknya secepat mungkin jika tidak ingin mengecewakan mereka. Nadia seperti berlomba dengan waktu. Bila dia terlambat bertindak, terlambat mengasingkan diri, bukan tidak mungkin Nadia akan ketahuan. Meskipun hingga saat ini belum ada tanda-tanda ada nyawa lain ditubuh Nadia. Bukankah lebih baik Nadia menyimpan itu semua sendiri. Nadia tak bisa membayangkan, bagaimana hancurnya kedua orang tua mereka bila mengetahui anak gadisnya sudah tak gadis lagi. Bahwa ia sedang mengandung sebelum menikah. Sungguh kedua orang tua Nadia pasti akan sangat bersedih dan marah, tak bisa mendidik anak gadisnya dengan baik dan benar. Sebuah kegagalan yang teramat menyakitkan bagi orang tua bukan. Lamunan Nadia terhenti oleh dering handphonennya. "Nadiaaaa, kok Lo balik ke Solo gak kabar-kabar si Nad. gue cariin Lo di kos katanya Lo udah pergi semingguan ini. Jahat Lo Nad. Gue sahabat Lo bukan si? Jadi persahabatan kita yang hampir sewindu ini gak ada a