Share

Pamit

Nadia harus pergi meninggalkan orang tua dan kakaknya secepat mungkin jika tidak ingin mengecewakan mereka. Nadia seperti berlomba dengan waktu. Bila dia terlambat bertindak, terlambat mengasingkan diri, bukan tidak mungkin Nadia akan ketahuan. Meskipun hingga saat ini belum ada tanda-tanda ada nyawa lain ditubuh Nadia. Bukankah lebih baik Nadia menyimpan itu semua sendiri.

Nadia tak bisa membayangkan, bagaimana hancurnya kedua orang tua mereka bila mengetahui anak gadisnya sudah tak gadis lagi. Bahwa ia sedang mengandung sebelum menikah. Sungguh kedua orang tua Nadia pasti akan sangat bersedih dan marah, tak bisa mendidik anak gadisnya dengan baik dan benar. Sebuah kegagalan yang teramat menyakitkan bagi orang tua bukan.

Lamunan Nadia terhenti oleh dering handphonennya.

"Nadiaaaa, kok Lo balik ke Solo gak kabar-kabar si Nad. gue cariin Lo di kos katanya Lo udah pergi semingguan ini. Jahat Lo Nad. Gue sahabat Lo bukan si? Jadi persahabatan kita yang hampir sewindu ini gak ada artinya buat Lo Nad, sampe-sampe Lo pergi gak kasih tau gue." Terdengar Icha begitu marah meski hanya dari sambungan telfon.

"Kalo telfon tu salam dulu Cha, langsung marah aja." Nadia malah menanggapi kemarahan Icha, sahabatnya itu dengan santai.

"Gimana gue gak marah Nad, Lo pergi gak pamit. tiba-tiba ngilang gitu aja. Lo baik-baik aja kan Nad?" Kan,,, Icha masih melanjutkan marah-marahnya.

"Hemmm...gue baik-baik aja Cha."

"Beneran baik-baik aja kan Nad? Soalnya gue......" Icha terdiam, Nadia masih menanti kalimat yang akan sahabatnya katakan. "Soalnya gue liat video Lo tengkar sama cowok di kampus." Lanjutnya lagi dengan suara yang lebih terkontrol.

Nadia terdiam, terpaku. Seolah dia dipaksa kembali ke masa itu. Masa disaat dia dengan beraninya mendatangi Ega dan...ahhhh....gak ada gunanya dikenang lagi kan. "Heemmmm..." Bukannya tanggapan, Nadia hanya berdehem, membuat Icha semakin gemas.

"Nadiaaaaa......." Teriak Icha terlampau nyaring. Hingga reflek Nadia menjauhkan handphonenya dari telinga kanannya untuk sesaat.

"Gue besok balik ke Solo setelah ngumpulin revisian skripsi, langsung kerumah Lo. Lo gak boleh kemana-mana. Pokoknya Lo harus cerita semuanya ke gue. titik.

"Tut Tut Tut"

Sambungan telfon diputus sepihak oleh Icha, tanpa menunggu respon dari Nadia. Nadia tersenyum getir sambil menggelengkan kepalanya pelan. Ternyata keputusannya kali ini juga melukai sahabatnya yang telah ia kenal sejak masa SMA dulu. Sahabat yang dalam suka dan duka selalu ada disamping Nadia selama ini.

Ingatan Nadia kembali pada masa-masa SMA dulu yang penuh keceriaan dan diselipi romansa percintaan manis. Icha yang tomboy, anak taekwondo sedang Nadia yang periang, girly banget namun galak sama cowok-cowok itu jadi sepasang sahabat yang klop, dan melengkapi satu dengan yang lain.

Tuhanpun masih menyatukan mereka di kampus yang sama dengan tanpa mereka duga. Walaupun mereka berada di Fakultas yang berbeda, Nadia di jurusan Akuntansi sedang Icha di fakultas ilmu keolahragaan sesuai dengan hobbinya, namun mereka berdua seperti sejoli yang tak terpisahkan. Persahabatan mereka seolah tak lekang oleh waktu.

Nadia

(Sahabat gue yang paling cantik dan baik hati, semoga skripsi Lo segera kelar, biar cepet wisuda ya)

(Maaf....)

(Gue udah di dalam kereta ke Jogja, gue dapet kerja di sana. Makasih udah jadi sahabat gue selama ini. hug hug hug)

Nadia meneteskan airmata setelah menyelesaikan ketikannya. Nadia rasa cukup untuk sekarang hanya mengabari sahabatnya sekedar pesan Whats*pp itu saja. Nadia tak ingin sahabatnya ikut terbebani dengan masalahnya ini.

Nadia tertunduk menyembunyikan wajahnya. Air matanya masih menetes membasahi pipi. Dengan cepat-cepat, Nadia menghapus air mata itu. Dia tidak mau menjadi pusat perhatian di dalam kereta yang penuh dengan penumpang ini.

Setelah Nadia mampu mengatasi kesedihannya, ia malah teringat dengan kedua orangtuanya. Ayah dan ibu begitu legowo dengan keputusan Nadia kali ini, meskipun berat tentunya. Bahkan saat mengantar Nadia di stasiun ibu tak henti memegangi tangan Nadia. Ibu seperti ingin memberikan tambahan kekuatan yang ia miliki melalui genggaman tangannya yang lembut itu.

"Nduk, kamu di sana jaga diri baik-baik ya. Inget kamu anak perempuan, harus bisa jaga diri, jaga kehormatanmu." Kata Ibu sambil memeluk Nadia yang terisak diperlukan ibunya. Ibu yang selalu menjadi pendengar setia Nadia selama ini, dengan curhatan Nadia yang kadang lebay itu. Ibu yang selalu menjadi tempat Nadia keluh kesah selama ini harus merelakan anak gadisnya pergi mengejar cita-citanya.

"Oohh iya, kamu sudah pamit sama kak Nayla to nduk?" Tanya ibu yang dijawab anggukan oleh Nadia.

"Anak kesayangan ayah, kebanggaan ayah. jaga kesehatanmu ya, jangan sampai telat makan seberat, sesulit apapun pekerjaanmu nanti. " Kini giliran Ayah yang memeluk Nadia yang tentu saja semakin terisak di dalam dekapan laki-laki yang selama ini menjadi panutan baginya. laki-laki yang selalu menjadi yang terdepan untuk Nadia.

Setalah pelukan terlepas, Nadia mencium punggung tangan ayahnya kemudian ibunya bergantian. "Ayah, Ibu, Nadia pamit." ucap Nadia dengan sangat berat yang dibalas anggukan kedua orang tuannya. Kemudian Nadia melangkah menjauh, dan semakin jauh meninggalkan ayah dan ibunya yang masih terpaku, berdiri ditempat yang sama saat Nadia berpamitan tadi.

"Maafkan Nadia Ayah, ibu" Ucap Nadia yang tak mungkin dapat didengar oleh kedua orang tuannya. Kemudian Nadia melangkah semakin cepat dan mantab, tanpa menoleh lagi kebelakang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status