"Ting tong... Ting tong..."
'Masih sepagi ini, tapi udah ada aja yang bertamu.' Gerutu Nadia dalam hati. Namun ia tetap melangkah ke arah pintu utama rumah orang tuannya demi membukakan pintu tamu yang dengan lancang mengganggu rencana bermalas-malasan Nadia. Nadia memang berencana istirahat total hari ini. Tidur sepanjang hari menjadi pilihannya mengembalikan tenaga setelah tiga hari berturut-turut harus tidur dirumah sakit menunggu sang Ayah. Apalagi semalam Nadia pulang dari rumah sakit saat sudah larut malam. Membuat Nadia diserang rasa ngantuk. "Haiii....Nadia..." Wajah cerah dengan senyum manis menyapa Nadia setelah membuka pintu. Ega dengan setelan kaos putih oversize dan celana jeans navi itu terlihat segar dan semakin tampan adalah tamu Nadia pagi ini. Nadia hanya terpaku dan memasang muka masam melihat Ega di depannya yang masih saja menampilkan senyum termanisnya. Ega sudah membuka mulutnya untuk menjelaskan kehadiran dirinya dirumah Nadia pagi ini, namun dering handphone Nadia lebih dulu mengambil fokus keduanya. "Assala......" "Nad, pak dokter sudah visit tadi, dan membolehkan ayah pulang hari ini. Ini ibu lagi ngurus administrasi. Nanti kalau semua sudah selesai ibu kabari ya Nad." "Salam dulu kenapa si Bu." Gerutu Nadia yang heran dengan sikap ibunya. "Iya, Waalaikumsalam Nad. ibu lagi antri ini soalnya. Kamu nanti siap-siap jemput ya bareng nak Ega ya Nad. Kak Nayla gak bisa ke rumah sakit hari ini soalnya kerjaannya lagi banyak. Ayah sudah menghubungi nak Ega kok tadi." Mata Nadia langsung menatap Ega yang masih berdiri di depan pintu dengan senyum yang mulai canggung itu. "Ya udah Nad, nanti ibu kabari lagi ya." "Tut..Tut..Tut.." Panggilan terputus tanpa Nadia memberikan sepatah katapun untuk menimpali ucapan ibunya. 'Sebenarnya bisa aja kan Nadia sendiri yang jemput ayah dan ibunya di rumah sakit. Dia juga gak ada kerjaan, bisa nyetir sendiri. Lalu apa gunanya Ega disini. Lagian kenapa ibu sudah menggunakan panggilan 'nak Ega' coba, kayak udah deket banget aja. Atau memang ayah dan ibunya sengaja membuat situasi seperti ini. Sengaja mendekatkan Nadia dengan Ega?.' Nadia terus saja menggerutu dalam hati sambil mempersilahkan Ega masuk ke dalam rumah dan mempersilahkannya duduk. "Om Pras tadi telfon aku Nad, buat jemput kamu sebelum ke rumah sakit. " "Trus datengnya kenapa pagi-pagi sekali si." Gerutu Nadia sambil manyun, tak perduli seberapa jelek wajahnya. Dan yang membuat Nadia makin kesal, kenapa panggilan mereka yang dulunya 'lo, gue' berubah menjadi 'aku, kamu'. Padahal mereka tak sedekat itu kan untuk menggunakan panggilan itu. "Sorry kalau kepagian. Kata om Pras kamu mandi sama dandanya lama jadi..." Ega tak meneruskan kalimatnya setelah Nadia menatapnya dengan tajam. "Mau minum apa?" Tanya Nadia ketus. "Gak usah Nad, aku tadi sudah ngopi dirumah." "Ya udah tungguin. Sabar. Aku dandanya lama." Mendengar ucapan Nadia yang semakin ketus itu membuat Ega reflek mengulum bibirnya sendiri. Menyadari kalau dia melakukan kesalahan besar. ----- Pantaslah bila Nadia membutuhkan waktu yang lama untuk mandi dan berdandan, bila hasilnya secantik ini tentu sepadan bukan. Paras Nadia yang semakin cantik dengan polesan natural itu mmampu memukau mata Ega yang dengan gagap berdiri dari duduknya saat melihat Nadia berjalan mendekatinya. "Yuk.." Perintah singkat Nadia yang di jawab anggukan oleh Ega. Kini keduanya sudah di dalam mobil. Ega yang memegang kemudi, sedang Nadia duduk disampingnya sambil sesekali memainkan handphone miliknya. Suasana canggung sangat teras untuk beberapa saat. Hingga Ega memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. "Nadia,,, maafin aku udah membawamu kedalam situasi sulit seperti ini. Aku tau, gak semestinya kita bertemu lagi. Aku seperti orang yang tak tau diri kan?" Ega menghentikan kalimatnya dan sesekali melihat kearah Nadia yang masih mengacuhkannya. "Dulu aku udah kejam banget nyakitin kamu. Gak peduli sama perasaanmu waktu itu. Kamu pasti benci banget sama aku kan? Tapi sekarang dengan PDnya aku..." "Udah Ga, kamu gak usah berbelit-belit. Penjelasanmu gak aku butuhin. Fokus nyetir aja. Aku ingin segera sampai ke rumah sakit dengan selamat." "Kamu gak mau kasih aku kesempatan Nad?" Tanya Ega memelas. "Sekeras apapun kamu berusaha, gak akan merubah keputusanku Ga. please sudahi aja." "Aku gak bisa Nad. Kamu gak ngerasa kalau ini sangat ajaib. Semesta memberikan keajaibannya untuk kita bisa bertemu lagi seperti sekarang yang bahkan gak pernah aku bayangin bisa ketemu sama kamu lagi dengan cara seperti ini" Ega membagi fokusnya menyetir dan terus berbicara. Meski lawan bicaranya masih acuh. "Dan aku gak mau nyia-nyiain kesempatan yang diberikan semesta itu Nad. Aku mau ngusahain segala cara yang aku bisa." "Ega...cukup... Kamu udah nyakitin aku waktu itu, dan sekarang kamu mau... ahhh..sudahlah." Nadia mulai tidak nyaman berada di tempat duduknya. Rasanya ia ingin lompat saja dari mobil demi menghindar dari Ega. Nadia meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Mencoba menetralkan fikirannya yang mulai kacau karena harus berurusan kembali dengan laki-laki yang sangat ia benci. "Intinya,..aku gak mau, kita gak mungkin bersama. Apalagi untuk menikah. Itu gak akan mungkin." Kalimat pamungkas dari Nadia itu sukses membuat situasi semakin canggung. Kemudian Nadia terdiam. Begitu juga dengan Ega. Dia tak bisa berkata-kata lagi. Mendengar penolakan demi penolakan yang sangat lancar keluar dari mulut Nadia membuat Ega ciut nyali. Dia baru mulai mendekati Nadia saja sudah sesulit ini. Lalu kedepannya akan seperti apa?"Assalamualaikum tante, om."Setelah mengetuk pintu dan membukanya perlahan, Ega melangkah memasuki ruangan dimana Ayah Nadia dirawat sambil memberi salam. "Waalaikumsalam." Prasetyo dan Diana serentak menjawab salam dari Ega yang baru saja membuka pintu ruang inap ayah Nadia itu. "Maaf, mas siapa ya?" Tanya Diana, ibu Nadia penasaran. "Ini Ega Bu, anaknya Firman. Teman semasa kuliah ayah dulu." Jelas Prasetiyo. "Oohh...ini calon mantu ibu. Ganteng banget kamu nak Ega. Nadia mana nak? Harusnya kamu kesini sama Nadia kan?" Diana clingukan mencari sosok anak perempuannya yang belum nampak. "Ini Nadia Bu." Belum Ega menjawab, Nadia sudah lebih dulu muncul dibelakang Ega. "Dari mana kamu Nad, kok gak bareng datangnya." "Ada telfon dari kantor Bu." Jawab Nadia malas. "Oohhh....kerjaan terus yang kamu pikir Nadia, Nadia. Trus kapan kencannya?" Nadia manyun mendengar perkataan ibunya yang menyudutkannya itu. Heran, itu terus yang dibahas tiap ibu bertemu Nadia. Diana
Setelah semua urusan administrasi selesai, akhirnya Prasetyo sudah diperbolehkan pulang. Semua barang-barang sudah di tata kedalam tas dan koper. Obat-obatan untuk Prasetyo juga sudah diberikan oleh perawat beberapa saat yang lalu. Tak mau menunggu lagi, segera mereka meninggalkan bangsal yang selama lima hari ini Prasetyo tempati. Tak butuh waktu lama untuk sampai kerumah Nadia yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah sakit. Apalagi sudah melewati jam makan siang. Tentu kondisi lalu lintas tidak begitu macet. Sangat mempermudah perjalanan mereka siang itu. "Semua sudah turun ya nak Ega?" Tanya ibu sambil mengecek barang-barangnya yang sudah Ega keluarkan dari mobilnya. "Sudah Tante." "Ya udah, kamu lanjut kencan sana sama Nadia sekalian cari makan siang. Tante kan belum masak, bisa kelaparan nanti kamu nunggu Tante selesai masak." "Tapi Tante,.saya belum pamit om..." "Ahh...nanti Tante bilang sama om Pras, kamu jajan sana sama Nadia." Perintah Diana kepada Ega ter
"Gak...aku gak mau kamu anter ke Jogja. Aku bisa nyetir sendiri. Ngapain pakai anter-anter segala." "Om Prasetyo yang minta Nad. Aku gak bisa nolak lah." "Tolak tinggal tolak aja. Kan bisa kamu alesan apa gitu, sibuk lah, ada acara lah. Atau apapun yang penting kamu gak usah anter aku. Pokoknya aku gak mau kamu anter. Titik. "Tut..Tut..Tut ..." Sambungan telfon diputus sepihak oleh Nadia yang marah maksimal. Marah kepada Ega dan juga marah kepada ayahnya yang sudah bertindak seenaknya itu. ---- Nadia melangkah keluar kamarnya. Mencari-cari dimana sang Ayah berada. Dia ingin sekali meluapkan emosinya kepada Prasetyo. Namun keinginannya itu urung Nadia lakukan setelah melihat laki-laki yang paling dia cintai itu sedang terduduk lemah di sofa ruang keluarga dan siap meminum obat yang Ibu sodorkan. Benar-benar simalakama. Bila Nadia menerima, dia akan bersama laki-laki yang paling ia benci yaitu Ega di sepanjang perjalananya dari solo ke Jogja. Tapi bila menolak, Nadia t
Kata orang, 'hidup adalah pilihan'. Namun itu tidak berlaku untuk Nadia. Bila diizinkan memilih, Nadia tak ingin berurusan sedikitpun dengan Ega. Laki-laki yang sedang berada di sampingnya saat ini. Masa lalu yang sangat melukai Nadia dulu itu, sudah susah payah ia atasi hingga mampu bertahan lima tahun ini. Nadia berjuang sendiri, menghadapi pahit kehidupan yang tak mampu ia bagi beban beratnya kepada orang-orang terdekatnya. Ia memilih terasing, menikmati segala luka dan derita. Namun sekali lagi, takdir yang tidak bisa Nadia tentukan, tidak bisa Nadia pilih itu seolah mempermainkan dengan begitu bercandanya. Membuat luka yang sudah mengering terasa perih kembali saat ia harus dipertemukan lagi dengan Hanega Eka Pratama. Dan yang lebih menyakitkan, orang-orang terkasihnya begitu bersemangat mendorongnya untuk bisa bersama dan berjodoh dengan Ega. Takdir macam apa ini? Ayah, Ibu, Kak Nay, Mas Wisnu dan si kecil ganteng Zian kompak melambaikan tangan. Sambil tersenyum mereka m
'Melihatmu tertawa lepas seperti saat ini, mengapa membuat hatiku berbunga-bunga Nad. ' Ega membatin sambil mengulum kedua bibirnya, menahan senyum dengan susah payah. Ia sesekali mencuri pandang kearah Nadia yang masih asik ngobrol dengan Icha lewat sambungan video call. "Awas ya, kalau sampai Lo terima si Ega. Pokoknya gue gak restuin." "Ya gak mungkinlah Cha. Gila apa gue nerima dia. Gue gak mau ya terluka untuk yang kedua kalinya. " Nadia seperti sengaja meninggikan suaranya. Ingin memanas-manasi Ega pastinya. Dua orang sahabat ini tak ada sungkan-sungkannya membahas Ega. Padahal orangnya ada disamping Nadia. Ega juga bisa dengan jelas mendengar umpatan-umpatan yang di lontarkan Icha untuknya meski dari sepeaker handphone Nadia. Namun entah mengapa hal itu tak mengusik Ega sama sekali. Malah sebaliknya, Nadia dan Icha yang mengomelinya, namun Ega merasa lega. Sungguh perasaan yang aneh kan. 'Aku gak perduli, kamu maki-maki aku kayak gimana Nad. Yang jelas, aku bahagia sa
Flashback on "Jadi bener rumornya, Lo pacaran sama Ega?" Nadia tersentak, hampir saja dia tersedak es teh manis yang sedang ia minum. Faris tak menghiraukan itu. Ia hanya terlihat sangat penasaran dan tak sabaran menunggu jawaban dari Nadia. "Pacaran.... ngak, kita cuma temenan aja." Nadia meletakan sendok dan garpunya. Menyudahi sesi makan malam yang baru habis setengah itu. Dia merasa tak nyaman dengan pertanyaan Faris yang tiba-tiba. "Kalian semesra ini, lo masih gak ngakuin." Faris menyodorkan handphonenya yang menampilkan sebuah foto seorang gadis dengan seorang laki-laki sedang duduk berdampingan di sebuah ruangan penuh buku. Foto Ega dengan Nadia ternyata. Nadia hanya melirik sekilas kearah handphone tanpa ekspresi yang berlebihan. "Rame banget jadi pembahasan di group anak-anak sipil angkatan kita." Kata Faris menambahi. "Beneran Ris, gue sama Ega gak pacaran. Kita cuma temenan. Lagian mesra dari mana coba. Orang itu kita lagi ngerjain skripsi bareng. Tu lia
"Aku nginep disini ya Nad." Ega berucap dengan santai. Namun mampu membuat Nadia tersentak dan menghentikan kegiatannya memasukkan barang-barang kedalam almari. "Apaaaaa..... Nginep?" Nadia melotot, matanya membulat sempurna. ia menatap tajam kearah Ega yang sedang duduk manis di atas sofa. Satu-satunya tempat duduk yang Nadia miliki di kosnya. "Ya, aku nginep disini aja dari pada cari hotel." Ega berkata sambil memejamkan mata dan membaringkan tubuhnya diatas sofa. Seolah tak menghiraukan tanggapan Nadia yang tidak setuju. Memang, tidak ada aturan lisan maupun tertulis dari sang induk semang yang menyatakan larangan untuk membawa pasangan menginap di kos atau hanya sekedar singgah sebentar. Lagi pula, kos yang Nadia tempati saat ini tak memiliki label gender 'Kos Putri' atau 'Kos Putra', yang mengartikan bahwa kos ini adalah 'Kos Bebas'. Bahkan ada pasangan suami istri yang tinggal di samping kamar nadia. Ada juga beberapa pasangan yang belum menikah bahkan menempati k
Ega berusaha sekuat tenaga membuka mata. Setalah entah berapa lama ia tertidur lelap berkat obat yang Nadia paksa untuk dia minum semalam. Suhu tubuh Ega sudah menurun. Badannya juga mulai terasa lebih enteng. Dan semua itu berkat Nadia yang mengurusnya bukan. Mata Ega mencoba memindai seluruh sudut kamar Nadia. Walaupun hanya dengan cahaya temaram dari balik tirai jendela, Ega mampu dengan jelas melihat Nadia yang duduk bersimpuh dan sedikit mencondongkan tubuhnya di pinggir kasur tidur yang sama dengan Ega. Kepala Nadia bersandar di dekat lengan Ega. Dan yang membuat mata Ega membelalak sempurna, jari-jari tangannya terkait kuat dengan jari-jari milik Nadia. Ega mencoba mengingat kembali kejadian semalam. Memaksa memori di dalam otaknya untuk berputar kembali. Namun sayang, usahanya sia-sia. 'Ini nyata kan? Apakah ini pertanda jika kita memang ditakdirkan untuk bersama Nad?' Ega bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri sambil terus tersenyum tipis dan memandangi tangan yang ma