"Nadiaaaa.....kenapa Lo dateng sama diaa.." Semua orang yang ada di ruangan itu kompak membelalakkan mata setelah mendengar suara Icha yang melengking. "Aaauuuu...." Icha mengaduh. Merasakan perih yang seketika menjalar di perutnya. Rupanya ia lupa untuk sesaat, bia ia baru saja beres operasi Caesar. Luka sayatan di perutnya yang tertutup perban itu pastinya masih basah. Sedikit gerakan saja pasti akan memberikan efek nyeri yang luar biasa. "Sayang..,kok teriak gitu. Jadi sakit kan perutnya." Suami Icha sigap mengelus-elus perut Icha dengan sangat lembut. "Haiii Cha." Ega mencoba menyapa Icha dengan ekspresi garing sambil meringis menampilkan barisan gigi putihnya yang rapi. "Haii haii....gak usah sok deket Lo." Jawab Icha masih ketus. Ia tak memperdulikan lagi pandangan orang tua dan mertuanya yang juga sedang berada di dalam ruangan itu. Ia juga tak mendengarkan perkataan suaminya. Sungguh sifat buruk Icha yang gampang emosian serasa bertambah beberapa kali lipat dari biasa
Ega benar-benar seperti ditelan bumi. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Nadia di depan rumah orang tua Nadia saat itu Ega tak pernah lagi mengirim kabar. Padahal sebelumnya, Ega sering menghubungi Nadia dengan begitu semangat. Dia yang menerima perjodohan, dan terang-terangan mendekati Nadia bahkan sampai memutuskan untuk menetap di Jogja agar bisa dekat dengan Nadia, tapi dia juga yang menghilang begitu saja. 'Kenapa dengan Ega? Apa dia baik-baik saja?' Batin Nadia yang selalu menghantuinya akhir-akhir ini. Seharusnya Nadia lega dengan keadaan ini, karena tak perlu lagi repot-repot menjauh dari Ega. Bukankah Nadia menolak perjodohan itu? Bukankan Nadia sangat membenci Ega dan menghindari pertemuan dengan laki-laki itu? Namun kenapa Nadia malah menghawatirkan Ega? Kenapa Nadia malah penasaran dengan keberadaan dan keadaan Ega? "Woy..Neng cantik...ngelamun aja? Udah malem ni, kamu gak mau pulang? Mo nginep sini?" Tepukan yang cukup keras pada pundak Nadia dari rekan sekantorny
"Makasih udah anter aku sampai kos." Ucap Nadia datar setelah Ega selesai memarkirkan mobil Nadia di area parkir kos dan mematikan mesinnya. "Tunggu." Ega meraih tangan Nadia yang hendak membuka pintu mobil dan keluar dari sana. "Aku anter sampai dalem. Kamu gak boleh naik tangga dengan kaki seperti itu." Pinta Ega pada Nadia. Membuat mereka saling pandang untuk sejenak. Tanpa menunggu lama, Ega turun dari mobil. Melangkah mengitari mobil dan membuka pintu untuk Nadia. "Ayok." Ega sudah mengulurkan kedua tangannya. Sedang Nadia masih mematung. Menerima sikap manis dan perhatian dari Ega seperti ini sungguh membuat hati Nadia gentar untuk terus membencinya. "Aku bisa jalan sendiri Ga." Nadia menepis uluran tangan Ega dengan lembut. Mencoba menolak segala bentuk sikap Ega yang membuat hatinya tak karuan itu. Ega menggeleng tegas mendengar perkataan Nadia itu. Ia seperti tak mau dibantah. Dan sejurus kemudian, tanpa menunggu persetujuan Nadia, Ega sudah menggendong tubuh Nadia
"Mau sampai kapan kita kayak gini Nad? Kamu gak capek berdiri terus? Gak mau duduk aja? Nanti aku peluk lagi." Sudah lebih dari sepuluh menit Ega dan Nadia berada di posisi yang sama, berpelukan. Dan entah sudah berapa kali Ega dengan leluasa mencium pucuk kepala Nadia. Sungguh ini kemajuan pesat bagi hubungan mereka. "Aku malu." Jawab Nadia dengan suara yang sangat lirih. "Malu? Sama siapa?" Tanya Ega gemas melihat tingkah Nadia yang menjadi sangat manja kepadanya. Bahkan, Ega belum pernah menemui Nadia yang manja seperti ini lima tahun yang lalu. "Kamu." Dengan wajah yang terbenam di dada Ega, suara Nadia masih bisa terdengar jelas oleh Ega meski sangat lirih. "Kenapa malu?" Tanya Ega kembali. Masih dengan menciumi rambut Nadia yang beraroma mawar. Sepertinya wangi itu akan menjadi favorit Ega nantinya. "Segalak dan sejuteknya aku ke kamu, kenapa tiba-tiba minta peluk kamu kayak gini. Bikin aku malau Ga." Nadia sedikit merenggangkan dekapannya. Membuat suaranya lebih je
Sungguh diluar dugaan, Nadia begitu lancar mengutarakan keresahan hatinya di depan Ega. Ia bahkan tak menolak saat dipeluk oleh laki-laki itu. Semudah itukah hatinya luluh? Semudah itukan ia menerima kehadiran Ega? Semudah itukah ia melupakan rasa sakit yang selalu menghantuinya selama ini? "Kenapa pelukan Ega senyaman itu?" Nadia berdialog dengan dirinya sendiri di dalam hati. Rasa nyaman berada dalam dekapan Ega seolah masih tertinggal ditubuhnya yang saat ini telah terbungkus selimut. Hingga membuat ia sesekali tersenyum mengenang adegan yang benar-benar tak pernah terfikir olehnya. Tak henti-hentinya ia terus memutar memori kebersamaan yang baru saja ia lalui dengan Ega beberapa saat yang lalu itu. "Tingggg..." Sebuah bunyi notifikasi di handphonenya menghentikan lamunannya. Menginterupsi konsentrasi yang sedari tadi tertuju pada ingatan-ingatan tentang Ega. Cepat-cepat Nadia meraih handphone yang tergeletak di atas meja kecil itu. Segera mengecek adakah hal penting yang mem
Entah siapa yang lebih dulu memulai hingga bisa sampai pada sebuah kesepakatan untuk bertemu diwaktu yang cukup pagi ini. Baik Ega maupun Nadia begitu bersemangat untuk bangun lebih awal padahal keduanya tak bisa tidur nyenyak semalam. Namun hasrat untuk segera bertemu kembali seperti menggelorakan jiwa mereka. Mengalahkan rasa kantuk yang mendera keduanya. "Kita sarapan dulu ya Nad?" Tanpa menunggu persetujuan dari Nadia, Ega melajukan mobil untuk berbelok di hamparan halaman luas sebuah rumah makan yang menyediakan menu-menu masakan Jawa. Juru parkir pun dengan sigap memandu Ega untuk mensejajarkan mobil miliknya dengan mobil-mobil pengunjung lain. "Kenapa?" Ega menatap Nadia yang masih duduk manis tanpa pergerakan. Padahal mesin mobil sudah mati, seharusnya mereka segera turun bukan. Nadia tak menjawab, ia tersenyum tipis dan menunjukkan raut keraguan. "Satu, yang harus aku ingat sekarang." Ega menjeda kalimatnya. Ia melepaskan sabuk pengaman. Lalu tersenyum kepada Nadia y
Perasaan yang kacau menuntun Nadia melakukan apa saja demi bisa terhubung dengan Ega. Mulai dari mengirim pesan, sampai menelfon laki-laki itu berkali-kali. Namun usahanya seperti tak menunjukkan hasil. Seakan semua yang ia lakukan sia-sia. Hingga Nadia sampai pada ujung kesabarannya, mengambil kunci motor yang tergeletak diatas meja belajar dengan tergesa dan melangkah penuh rasa emosi yang ingin segera dia ungkapkan pada Ega. Nadia berkendara dengan begitu ugal-ugalan, memutar gas motornya kesetanan, seakan dia tak sabar ingin segera memangkas jarak kos-annya dengan lokasi dimana Ega berada. "Taman belakang kampus Fakultas Bahasa dan Seni," gumam Nadia berkali-kali di sepanjang perjalanannya. Informasi yang kemungkinan besar valid itu didapat Nadia dari sahabat Ega, Faris. Dan benar saja, sesaat setalah Nadia sampai diparkiran belakang kampus dekat dengan taman yang dipenuhi bunga warna warni, rumput segar kehijauan. Di sana juga terdapat pohon-pohon besar menjulang memberi ke
"Sorry guys, mending bubar aja ya, okey... okey...sorry, sorry banget..." Berkali-kali Faris memohon maaf kepada teman temanya, yang dengan terpaksa harus menghentikan obrolan dan mengusir mereka untuk pergi dari lokasi.Situasi semakin menegang antara Ega dan Nadia. Untung mereka mengerti dan segera pergi dari tempat itu.Tapi tidak dengan Faris, dia hanya sedikit menjauh dari dua remaja yang saat ini masih saling menatap penuh kemarahan. Memberi ruang untuk mereka berdua berbicara lebih jauh, namun tetap memantau dari jarak aman yang masih memungkinkan untuk mendengar obrolan Ega dan Nadia.Bukan karena Faris terlalu kepo, tapi dialah orang yang paling paham situasi saat ini. Faris tau apa yang telah terjadi antara Nadia dengan Ega, sahabatnya. Faris adalah orang yang paling tau apa penyebab ketegangan itu terjadi. Bahkan, Faris menjadi saksi hidup kejadian malam itu."Gue gak akan ngabulin permintaan Lo." Ega yang memulai bicara kembali sambil memegangi pipinya yang kemerahan akiba