"Sorry guys, mending bubar aja ya, okey... okey...sorry, sorry banget..." Berkali-kali Faris memohon maaf kepada teman temanya, yang dengan terpaksa harus menghentikan obrolan dan mengusir mereka untuk pergi dari lokasi.
Situasi semakin menegang antara Ega dan Nadia. Untung mereka mengerti dan segera pergi dari tempat itu.
Tapi tidak dengan Faris, dia hanya sedikit menjauh dari dua remaja yang saat ini masih saling menatap penuh kemarahan. Memberi ruang untuk mereka berdua berbicara lebih jauh, namun tetap memantau dari jarak aman yang masih memungkinkan untuk mendengar obrolan Ega dan Nadia.
Bukan karena Faris terlalu kepo, tapi dialah orang yang paling paham situasi saat ini. Faris tau apa yang telah terjadi antara Nadia dengan Ega, sahabatnya. Faris adalah orang yang paling tau apa penyebab ketegangan itu terjadi. Bahkan, Faris menjadi saksi hidup kejadian malam itu. "Gue gak akan ngabulin permintaan Lo." Ega yang memulai bicara kembali sambil memegangi pipinya yang kemerahan akibat tamparan Nadia. "Trus...Lo mau apa?" Imbuhnya lagi. Detik, menit berlalu, namun Nadia tak kunjung menjawab pertanyaan Ega. Dia tertunduk, terisak, dengan linangan airmata yang terus membasahi pipi mulusnya. "Ngomong, jangan cuma nangis doang, Lo mau playing victim...huuhhh..." Ega kembali berucap, terdengar sangat ketus dan menyakitkan untuk didengar. Nadia masih tertunduk, namun isakannya sudah terhenti. Sedetik kemudian dia mulai mengangkat kepala, memberanikan diri menatap laki-laki dihadapannya. Tubuhnya bergetar, tangannya terulur lurus dengan badannya, meremat-remat celana jeansnya seolah mencari kekuatan disana. "Kenapa gue harus ketemu cowok brengsek kayak lo? Kenapa gue harus kenal lo?" Nadia mulai berbicara dengan suara lemah. "Lo udah renggut semuanya, Ga, trus.... Lo ngomong seolah gak terjadi apa-apa? Malah sekarang Lo bilang gue murahan?" Tambah Nadia masih dengan suara yang lemah. "Perlu gue ulangin lagi apa yang gue ucapin semalem?" Ucap Ega penuh amarah yang dibalas dengan tatapan tajam Nadia.Dia tak mampu menjawab pertanyaan Ega. Bibirnya seolah kelu, tak mampu berkata-kata lagi. Tubuhnya semakin bergetar menahan amarah dan luapan emosi yang tertahan. Dari tatapan mata Nadia tersirat rasa penyesalan yang teramat mendalam.
"Kenapa Lo ngelakuin semua ini ke gue, kenapa Ega? Kenapa Lo jahat banget?" Nadia meraung sambil memukul mukul dada bidang Ega berulang kali. Namun Ega malah tersenyum sinis, lalu berucap "Gue jahat kata lo?" Sambil menatap Nadia lekat dan memegangi salah satu tangan Nadia dengan sangat erat. "Semalem kita ngelakuin tanpa paksaan, suka sama suka, Lo juga mengizinkan semuanya terjadi, lupa?" imbuhnya lagi. "Dan gue harus ngorbanin masa depan gue gitu? Demi Lo yang bukan siapa siapa buat gue?" Perkataan Ega begitu melukai Nadia yang hanya mampu menggelengkan kepala lemah berkali kali tanpa bisa menimpali. "Lupain kejadian semalem, kita lanjutin hidup masing-masing, itu yang terbaik gue pikir." Ucap Ega kembali dengan sambil melepas cekalan di tangan Nadia dan menyunggingkan senyum membuat Nadia semakin muak."Brengsek Lo Ega, benar-benar gak punya hati. Bajingan lo." Teriak Nadia sambil memukul-mukul Ega semampunya dengan sisa tenaga yang ia punya. Namun Ega tak tinggal diam. Dia bergerak mendorong Nadia hingga gadis itu terjatuh ketanah.
"Ga, cukup, Lo sudah keterlaluan." Dengan langkah cepat Faris mendekati Nadia dan membantu dia berdiri. "Bicarain baik-baik kan bisa Ga" "Gak kayak gini memperlakukan perempuan." ucap Faris tenang, dengan memandang Nadia yang masih menangis dan kemudian menatap Ega bergantian. "Huhhh....sok bijak Lo Ris." Ucap Ega sinis. "Lo gak usah ngebelain cewek murahan ini." Imbuh Ega kembali. Faris mematung mendengar ucapan kejam Ega. Sungguh kali ini dia tak mengenali sahabatnya ini. Sedangkan Nadia hanya menangis, dan kemudian mengambil beberapa langkah menjauh dari Faris. Karena Nadia tau posisi Faris yang merupakan teman baik Ega tak kan bisa membantu Nadia saat ini. Atau bisa saja pertolongan Faris hanya akan menimbulkan masalah untuk Faris nantinya. "Okey Ga, kalau itu mau Lo, itu keinginan lo gue bakal berhenti sekarang. Gue nyerah, gue gak bakal ganggu Lo lagi." Ucap Nadia dengan suara bergetar menahan tangis dan menatap Ega lekat. "Bagus, itu yang gue harepin dari tadi, harusnya Lo ngerti." Ega berkata dengan melipat tangannya di dada penuh kesombongan membuat Nadia semakin hancur dan hanya bisa menutup matanya meratapi semuanya. "Gue akan tanggung semuanya sendiri Ga, tapi...." Nadia menggantung kalimatnya, memberikan jeda, mengambil nafas dalam untuk memenuhi rongga dadanya yang kian sesak."Tapi Lo gak akan bisa lepas dari semua ini, Lo gak akan bisa hidup tenang, Lo gak akan bisa berhubungan dengan perempuan manapun, Lo gak akan dapat kenikmatan dari perempuan manapun, Lo akan kehilangan semua kebahagiaan itu Hanega Eka Pratama." ucap Nadia begitu mantap sambil menatap lekat pada kedua mata Ega tanpa rasa takut.
"Jadi Lo nyumpahin gue?" Tawa Ega menggema setelah menyelesaikan kalimatnya. "Duaaarrrr..." suara petir begitu keras terdengar, padahal sore itu tidak ada angin ataupun hujan. "Lihat Ega, Tuhan yang menjawab pertanyaan lo."Hari sudah gelap saat Nadia sampai di kos miliknya. Namun Nadia enggan menyalakan lampu. Dia ingin sejenak berada di dalam kegelapan. Dia ingin meratapi nasib buruk yang sedang ia terima saat ini. Rasanya tubuh Nadia begitu lelah seperti baru saja di timpa beban beratus-ratus ton beratnya. Begitu banyak energi yang Nadia habiskan sore tadi. Berdebat dengan Ega yang tak membuahkan hasil sangatlah melelahkan ternyata. Hal itu semakin membuat Nadia merutuki dirinya sendiri akan kebodohannya. Nadia tak tahan lagi, direbahkan tubuhnya diatas kasur lantai miliknya. Mencoba meletakan seluruh masalah yang sedang ia hadapi. Dan sesaat kemudian handphonenya berbunyi. Notifikasi pesan wa yang terdengar nyaring di heningnya kamar mampu menyita konsentrasi Nadia yang sedang berbaring. 'Selamat siang Nadia Hangesti Kami dari Bank ***** ingin menginformasikan bahwasanya Nadia lolos seleksi seleksi wawancara. Maka dari itu Nadia dimohon untuk segera menghubungi HRD kami guna menindaklanjuti inf
Nadia harus pergi meninggalkan orang tua dan kakaknya secepat mungkin jika tidak ingin mengecewakan mereka. Nadia seperti berlomba dengan waktu. Bila dia terlambat bertindak, terlambat mengasingkan diri, bukan tidak mungkin Nadia akan ketahuan. Meskipun hingga saat ini belum ada tanda-tanda ada nyawa lain ditubuh Nadia. Bukankah lebih baik Nadia menyimpan itu semua sendiri. Nadia tak bisa membayangkan, bagaimana hancurnya kedua orang tua mereka bila mengetahui anak gadisnya sudah tak gadis lagi. Bahwa ia sedang mengandung sebelum menikah. Sungguh kedua orang tua Nadia pasti akan sangat bersedih dan marah, tak bisa mendidik anak gadisnya dengan baik dan benar. Sebuah kegagalan yang teramat menyakitkan bagi orang tua bukan. Lamunan Nadia terhenti oleh dering handphonennya. "Nadiaaaa, kok Lo balik ke Solo gak kabar-kabar si Nad. gue cariin Lo di kos katanya Lo udah pergi semingguan ini. Jahat Lo Nad. Gue sahabat Lo bukan si? Jadi persahabatan kita yang hampir sewindu ini gak ada a
Lima tahun kemudian.----- "Halo ibuk, ada apa telfon?" Tanya Nadia kepada ibu dengan suara lirih. "Ayahmu nduk, ayahmu....hiks hiks hiks." Bukannya menjawab dengan jelas, ibu malah menangis keras-keras. Membuat Nadia panik seketika. "Ayah kenapa buk.....?" "Ayah dilarikan kerumah sakit, kena serangan jantung. " Seketika tubuh Nadia lemas, membuat ia tak mampu memegangi handphonenya yang masih menyala. Hingga benda pipih hitam itu terjatuh ke lantai menimbulkan bunyi yang keras dan mengagetkan teman-teman Nadia yang saat ini sedang menikmati makan siang mereka di sebuah restoran. "Nadia lo kenapa?" "Nadia Lo baik-baik aja kan?" Suara-suara teman-teman Nadia itu saling bersahutan. Menimbulkan keributan di lokasi mereka menyantap makan siang. Namun Nadia masih terpaku. Telinganya berdenging nyaring. Otaknya pun seolah kehilangan fungsi untuk sesaat hingga tak mampu merespon pertanyaan teman-temannya. "Gue harus balik ke Solo segera, Ayah gue masuk rumah sakit." Bul
Kepala Nadia seketika terasa pening melihat dua orang sahabat yang semakin intens membicarakan perjodohan dirinya. 'Kenapa gak tanya pendapat Nadia dulu si yah.' Batin Nadia dalam hati yang kelabakkan menerima kode 'persetujuan' yang diminta ayahnya. Ingin sekali Nadia mengirimkan kode penolakan pada sang ayah, namun seolah ayah selalu menghindar dari tatapan Nadia. 'Perjodohan jadi jalan yang terbaik untuk anak kesayanganku' Mungkin itu yang tergambar dari raut wajah Ayah yang saat ini terlihat lebih sehat dan bugar. Senyum dan tawa tak henti-hentinya menghiasai wajah ayah saat berbincang dengan teman lamanya itu. Topik pembicaraan tentang perjodohan Nadia dengan anak sahabatnya serasa jadi obat yang mujarab ketimbang obat yang selama ini diberikan dokter. Nadia tersenyum tipis, ada rasa bahagia dihatinya melihat ayah yang beberapa hari terakhir terkulai lemas karena sakitnya, kini terlihat begitu bersemangat dan sehat. 'Mungkinkan perjodohan ini harus Nadia terima demi kebah
"Ayah, Om Firman, Nadia minta waktu sebentar untuk ngobrol berdua sama Ega, boleh." "Oohh...tentu, boleh." Tanpa menoleh, Nadia melangkahkan kakinya cepat-cepat keluar dari bangsal dimana Ayahnya dirawat. Diikuti oleh Ega dengan langkah yang lebar mengimbangi Nadia yang sudah menghilang dibalik pintu. "Liat mereka Pras...Cocok kan?" Kedua sahabat itu kompak tersenyum. Membayangkan dimasa depan nanti bisa berbesanan. ----- Nadia sudah duduk di sebuah bangku panjang taman dibawah pohon besar yang rindang itu. Bukannya menyusul, Ega malah seketika menghentikan langkahnya. Ia terus melihat ke arah punggung Nadia yang terlihat jelas karena rambut panjang yang Nadia miliki dulu telah ia pangkas sepundak. Membuat Nadia terlihat lebih segar dan dewasa. Setelah puas memandangi punggung Nadia, Ega melangkah kembali mendekat ke arah dimana Nadia berada. Kemudian Ega duduk disamping Nadia yang memandang lurus kedepan. Ega engan untuk memulai pembicaraan. Bukankah Nadia yang be
Nadia mengambil sebuah kertas yang terselip di dalam dompetnya. Lalu ia serahkan kertas hasil USG yang mulai usang itu kepada Ega yang termangu melihat ke arahnya. "Ini......." Tangan Ega bergetar menerima kertas itu. Hatinya bergemuruh, menimbulkan rasa sakit nan sesak di dadanya. "Iya....anakmu. Usianya baru sembilan Minggu. Dia gak bisa bertahan karena ibunya yang lemah dan bodoh ini." Nadia berucap dengan menahan tangisnya. Mengenang kembali kejadian dimana dia harus merelakan janin itu karena pendarahan hebat yang dialaminya sungguh sangatlah menyakitkan. Mendengar itu, dunia Ega terasa berhenti. Ia masih terus memandangi kertas itu dengan mata yang mulai memanas. Lehernya terasa dicekik, hingga tak mampu berkata apapun. Sedetik kemudian Ega tertunduk. Tubuhnya seperti tak memiliki tenaga lagi. Kemudian, airmatanya mulai menetes, membasahi pipinya. Baru kali ini Ega merasa teramat terluka. Baru kali ini Ega menangis menyesali kesalahan dan kebodohannya. ----- "Eg
"Ting tong... Ting tong..." 'Masih sepagi ini, tapi udah ada aja yang bertamu.' Gerutu Nadia dalam hati. Namun ia tetap melangkah ke arah pintu utama rumah orang tuannya demi membukakan pintu tamu yang dengan lancang mengganggu rencana bermalas-malasan Nadia. Nadia memang berencana istirahat total hari ini. Tidur sepanjang hari menjadi pilihannya mengembalikan tenaga setelah tiga hari berturut-turut harus tidur dirumah sakit menunggu sang Ayah. Apalagi semalam Nadia pulang dari rumah sakit saat sudah larut malam. Membuat Nadia diserang rasa ngantuk. "Haiii....Nadia..." Wajah cerah dengan senyum manis menyapa Nadia setelah membuka pintu. Ega dengan setelan kaos putih oversize dan celana jeans navi itu terlihat segar dan semakin tampan adalah tamu Nadia pagi ini. Nadia hanya terpaku dan memasang muka masam melihat Ega di depannya yang masih saja menampilkan senyum termanisnya. Ega sudah membuka mulutnya untuk menjelaskan kehadiran dirinya dirumah Nadia pagi ini, namun dering h
"Assalamualaikum tante, om."Setelah mengetuk pintu dan membukanya perlahan, Ega melangkah memasuki ruangan dimana Ayah Nadia dirawat sambil memberi salam. "Waalaikumsalam." Prasetyo dan Diana serentak menjawab salam dari Ega yang baru saja membuka pintu ruang inap ayah Nadia itu. "Maaf, mas siapa ya?" Tanya Diana, ibu Nadia penasaran. "Ini Ega Bu, anaknya Firman. Teman semasa kuliah ayah dulu." Jelas Prasetiyo. "Oohh...ini calon mantu ibu. Ganteng banget kamu nak Ega. Nadia mana nak? Harusnya kamu kesini sama Nadia kan?" Diana clingukan mencari sosok anak perempuannya yang belum nampak. "Ini Nadia Bu." Belum Ega menjawab, Nadia sudah lebih dulu muncul dibelakang Ega. "Dari mana kamu Nad, kok gak bareng datangnya." "Ada telfon dari kantor Bu." Jawab Nadia malas. "Oohhh....kerjaan terus yang kamu pikir Nadia, Nadia. Trus kapan kencannya?" Nadia manyun mendengar perkataan ibunya yang menyudutkannya itu. Heran, itu terus yang dibahas tiap ibu bertemu Nadia. Diana