Hari sudah gelap saat Nadia sampai di kos miliknya. Namun Nadia enggan menyalakan lampu. Dia ingin sejenak berada di dalam kegelapan. Dia ingin meratapi nasib buruk yang sedang ia terima saat ini.
Rasanya tubuh Nadia begitu lelah seperti baru saja di timpa beban beratus-ratus ton beratnya. Begitu banyak energi yang Nadia habiskan sore tadi. Berdebat dengan Ega yang tak membuahkan hasil sangatlah melelahkan ternyata. Hal itu semakin membuat Nadia merutuki dirinya sendiri akan kebodohannya. Nadia tak tahan lagi, direbahkan tubuhnya diatas kasur lantai miliknya. Mencoba meletakan seluruh masalah yang sedang ia hadapi. Dan sesaat kemudian handphonenya berbunyi. Notifikasi pesan wa yang terdengar nyaring di heningnya kamar mampu menyita konsentrasi Nadia yang sedang berbaring. 'Selamat siang Nadia Hangesti Kami dari Bank ***** ingin menginformasikan bahwasanya Nadia lolos seleksi seleksi wawancara. Maka dari itu Nadia dimohon untuk segera menghubungi HRD kami guna menindaklanjuti informasi tersebut pada jam kerja. Terimakasih.' Seketika Nadia terduduk, dan berulang kali membaca pesan wa itu. "Okey....saatnya gue harus memperbaiki semuanya, bertanggung jawab atas apa yang telah gue perbuat." Nadia berdialog dengan dirinya sendirj. Tanpa berfikir panjang, Nadia segera mengemasi barang-barangnya yang masih tertinggal di kos. Menatanya serapi mungkin agar semua bisa masuk ke dalam tas ransel yang ia miliki. Dia terlihat begitu bersemangat. Rasa lelah beberapa saat yang lalu sempat menghampirinya serasa hilang seketika. 'Gue gak akan balik ke sini lagi' Ucap Nadia dalam Hati. ----- Nadia Hangesti, nama yang ia sandang sejak ia dilahirkan ke dunia oleh ibunya. Nadia terlahir di keluarga yang berkecukupan. Ibunya seorang ibu rumah tangga, sedang ayahnya seorang guru. Nadia tumbuh dalam keluarga yang hangat. Nilai-nilai agama tertanam kuat di kehidupan Nadia hingga ia tumbuh menjadi seorang gadis manis yang santun dan baik hati. Nadia memiliki seorang kakak perempuan yang berbeda 2 tahun darinya. Nayla Anggraini, kakak yang teramat sayang dengan Nadia, yang kurang dari seminggu ini akan mengakhiri masa lajangnya dengan pria idamannya. "Lo Nad, kok kamu dirumah." Kak Nayla begitu terkejut melihat Nadia yang sedang memarkirkan motornya di teras rumah. "Iya, baru aja sampai kak." Jawab Nadia santai. "Bukan gitu maksudnya, kamu ini lho sudah dirumah aja, padahal tadi siang kakak wa masih di Semarang." Selidik sang kakak. Nadia hanya tersenyum. "Aku pingin pulang, kangen Kak Nay, kan bentar lagi aku ditinggal nikah." Rengek manja Nadia sambil memeluk kakaknya. "Iihh...apaan si peluk-peluk, kamu bau keringet ahh Nad." Kak Nayla menggeliat dipeluk Nadia dengan erat. Mencoba melepaskan pelukannya namun gagal. "Kamu tu ya, balik dari Semarang kok malem-malem Nad, siap-siap diomeli ayah kamu nanti." Segera Nadia melepaskan pelukannya, melihat kearah jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Memang jarum jam sudah menunjukkan hampir jam 10 malam. Pas kan bila Kak Nayla berkata seperti itu. "Aku gak betah lama-lama di Semarang kak, pingin cepet-cepet pulang." "lahhh...kan bentar lagi diwisuda to, nanti habis wisuda juga balik ke Solo. Kamu ini aneh." Tak ada balasan dari Nadia atas ucapan kakaknya itu. Nadia hanya tersenyum. "Senyum-senyum,, udah sana ketemu ayah sama ibu, kak Nay mau beli gula di warung." Nadia mengangguk, mematuhi perintah kak Nayla. ----- Setelah Nadia selesai mandi dan ganti baju, Ia bergabung dengan orangtuanya dan kak Nayla yang masih ngobrol di ruang tv. Padahal ini hampir tengah malam, namun obrolan mereka masih berlanjut. Ditambah dengan kedatangan Nadia yang tiba-tiba membuat pembicaraan beralih tentang kesiapan wisuda Nadia dan segala macam urusan perkuliahan. Seolah Nadia sedang diinterogasi kan. Nadia tak mau membuang waktu. setalah sesi tanya jawab soal perkuliahan selesai, Nadia merasa ini waktu yang tepat untuk mengutarakan niatnya. "Ayah, Ibu, Kak Nayla, Nadia mau ngomong sesuatu, yang serius." Obrolan ibu dan kak Nayla tentang persiapan pernikahannya Kak Nayla terhenti seketika. Mereka langsung mengarahkan pandangannya kepada Nadia, begitu juga dengan sang Ayah. "Apa nduk, kamu mau ngomong apa?" Tanya sang Ayah dengan sangat lembut. "Jangan bilang kamu mau minta nikah juga nduk." Canda Ibu dengan tersenyum memandang Nadia. Sedang kak Nayla hanya diam, khikmat mendengarkan. "Eeemm...Nadia minta izin....." "Izin apa?" Tanya ayah kembali, terlihat sangat tak sabaran. "Nadia minta izin mau kerja di Jogja. Nadia sudah keterima kerja di salah satu bank di Jogja. Nadia berangkat Senin depan. " Semuanya terdiam, terkejut dengan keputusan Nadia yang sangat tiba-tiba.Nadia harus pergi meninggalkan orang tua dan kakaknya secepat mungkin jika tidak ingin mengecewakan mereka. Nadia seperti berlomba dengan waktu. Bila dia terlambat bertindak, terlambat mengasingkan diri, bukan tidak mungkin Nadia akan ketahuan. Meskipun hingga saat ini belum ada tanda-tanda ada nyawa lain ditubuh Nadia. Bukankah lebih baik Nadia menyimpan itu semua sendiri. Nadia tak bisa membayangkan, bagaimana hancurnya kedua orang tua mereka bila mengetahui anak gadisnya sudah tak gadis lagi. Bahwa ia sedang mengandung sebelum menikah. Sungguh kedua orang tua Nadia pasti akan sangat bersedih dan marah, tak bisa mendidik anak gadisnya dengan baik dan benar. Sebuah kegagalan yang teramat menyakitkan bagi orang tua bukan. Lamunan Nadia terhenti oleh dering handphonennya. "Nadiaaaa, kok Lo balik ke Solo gak kabar-kabar si Nad. gue cariin Lo di kos katanya Lo udah pergi semingguan ini. Jahat Lo Nad. Gue sahabat Lo bukan si? Jadi persahabatan kita yang hampir sewindu ini gak ada a
Lima tahun kemudian.----- "Halo ibuk, ada apa telfon?" Tanya Nadia kepada ibu dengan suara lirih. "Ayahmu nduk, ayahmu....hiks hiks hiks." Bukannya menjawab dengan jelas, ibu malah menangis keras-keras. Membuat Nadia panik seketika. "Ayah kenapa buk.....?" "Ayah dilarikan kerumah sakit, kena serangan jantung. " Seketika tubuh Nadia lemas, membuat ia tak mampu memegangi handphonenya yang masih menyala. Hingga benda pipih hitam itu terjatuh ke lantai menimbulkan bunyi yang keras dan mengagetkan teman-teman Nadia yang saat ini sedang menikmati makan siang mereka di sebuah restoran. "Nadia lo kenapa?" "Nadia Lo baik-baik aja kan?" Suara-suara teman-teman Nadia itu saling bersahutan. Menimbulkan keributan di lokasi mereka menyantap makan siang. Namun Nadia masih terpaku. Telinganya berdenging nyaring. Otaknya pun seolah kehilangan fungsi untuk sesaat hingga tak mampu merespon pertanyaan teman-temannya. "Gue harus balik ke Solo segera, Ayah gue masuk rumah sakit." Bul
Kepala Nadia seketika terasa pening melihat dua orang sahabat yang semakin intens membicarakan perjodohan dirinya. 'Kenapa gak tanya pendapat Nadia dulu si yah.' Batin Nadia dalam hati yang kelabakkan menerima kode 'persetujuan' yang diminta ayahnya. Ingin sekali Nadia mengirimkan kode penolakan pada sang ayah, namun seolah ayah selalu menghindar dari tatapan Nadia. 'Perjodohan jadi jalan yang terbaik untuk anak kesayanganku' Mungkin itu yang tergambar dari raut wajah Ayah yang saat ini terlihat lebih sehat dan bugar. Senyum dan tawa tak henti-hentinya menghiasai wajah ayah saat berbincang dengan teman lamanya itu. Topik pembicaraan tentang perjodohan Nadia dengan anak sahabatnya serasa jadi obat yang mujarab ketimbang obat yang selama ini diberikan dokter. Nadia tersenyum tipis, ada rasa bahagia dihatinya melihat ayah yang beberapa hari terakhir terkulai lemas karena sakitnya, kini terlihat begitu bersemangat dan sehat. 'Mungkinkan perjodohan ini harus Nadia terima demi kebah
"Ayah, Om Firman, Nadia minta waktu sebentar untuk ngobrol berdua sama Ega, boleh." "Oohh...tentu, boleh." Tanpa menoleh, Nadia melangkahkan kakinya cepat-cepat keluar dari bangsal dimana Ayahnya dirawat. Diikuti oleh Ega dengan langkah yang lebar mengimbangi Nadia yang sudah menghilang dibalik pintu. "Liat mereka Pras...Cocok kan?" Kedua sahabat itu kompak tersenyum. Membayangkan dimasa depan nanti bisa berbesanan. ----- Nadia sudah duduk di sebuah bangku panjang taman dibawah pohon besar yang rindang itu. Bukannya menyusul, Ega malah seketika menghentikan langkahnya. Ia terus melihat ke arah punggung Nadia yang terlihat jelas karena rambut panjang yang Nadia miliki dulu telah ia pangkas sepundak. Membuat Nadia terlihat lebih segar dan dewasa. Setelah puas memandangi punggung Nadia, Ega melangkah kembali mendekat ke arah dimana Nadia berada. Kemudian Ega duduk disamping Nadia yang memandang lurus kedepan. Ega engan untuk memulai pembicaraan. Bukankah Nadia yang be
Nadia mengambil sebuah kertas yang terselip di dalam dompetnya. Lalu ia serahkan kertas hasil USG yang mulai usang itu kepada Ega yang termangu melihat ke arahnya. "Ini......." Tangan Ega bergetar menerima kertas itu. Hatinya bergemuruh, menimbulkan rasa sakit nan sesak di dadanya. "Iya....anakmu. Usianya baru sembilan Minggu. Dia gak bisa bertahan karena ibunya yang lemah dan bodoh ini." Nadia berucap dengan menahan tangisnya. Mengenang kembali kejadian dimana dia harus merelakan janin itu karena pendarahan hebat yang dialaminya sungguh sangatlah menyakitkan. Mendengar itu, dunia Ega terasa berhenti. Ia masih terus memandangi kertas itu dengan mata yang mulai memanas. Lehernya terasa dicekik, hingga tak mampu berkata apapun. Sedetik kemudian Ega tertunduk. Tubuhnya seperti tak memiliki tenaga lagi. Kemudian, airmatanya mulai menetes, membasahi pipinya. Baru kali ini Ega merasa teramat terluka. Baru kali ini Ega menangis menyesali kesalahan dan kebodohannya. ----- "Eg
"Ting tong... Ting tong..." 'Masih sepagi ini, tapi udah ada aja yang bertamu.' Gerutu Nadia dalam hati. Namun ia tetap melangkah ke arah pintu utama rumah orang tuannya demi membukakan pintu tamu yang dengan lancang mengganggu rencana bermalas-malasan Nadia. Nadia memang berencana istirahat total hari ini. Tidur sepanjang hari menjadi pilihannya mengembalikan tenaga setelah tiga hari berturut-turut harus tidur dirumah sakit menunggu sang Ayah. Apalagi semalam Nadia pulang dari rumah sakit saat sudah larut malam. Membuat Nadia diserang rasa ngantuk. "Haiii....Nadia..." Wajah cerah dengan senyum manis menyapa Nadia setelah membuka pintu. Ega dengan setelan kaos putih oversize dan celana jeans navi itu terlihat segar dan semakin tampan adalah tamu Nadia pagi ini. Nadia hanya terpaku dan memasang muka masam melihat Ega di depannya yang masih saja menampilkan senyum termanisnya. Ega sudah membuka mulutnya untuk menjelaskan kehadiran dirinya dirumah Nadia pagi ini, namun dering h
"Assalamualaikum tante, om."Setelah mengetuk pintu dan membukanya perlahan, Ega melangkah memasuki ruangan dimana Ayah Nadia dirawat sambil memberi salam. "Waalaikumsalam." Prasetyo dan Diana serentak menjawab salam dari Ega yang baru saja membuka pintu ruang inap ayah Nadia itu. "Maaf, mas siapa ya?" Tanya Diana, ibu Nadia penasaran. "Ini Ega Bu, anaknya Firman. Teman semasa kuliah ayah dulu." Jelas Prasetiyo. "Oohh...ini calon mantu ibu. Ganteng banget kamu nak Ega. Nadia mana nak? Harusnya kamu kesini sama Nadia kan?" Diana clingukan mencari sosok anak perempuannya yang belum nampak. "Ini Nadia Bu." Belum Ega menjawab, Nadia sudah lebih dulu muncul dibelakang Ega. "Dari mana kamu Nad, kok gak bareng datangnya." "Ada telfon dari kantor Bu." Jawab Nadia malas. "Oohhh....kerjaan terus yang kamu pikir Nadia, Nadia. Trus kapan kencannya?" Nadia manyun mendengar perkataan ibunya yang menyudutkannya itu. Heran, itu terus yang dibahas tiap ibu bertemu Nadia. Diana
Setelah semua urusan administrasi selesai, akhirnya Prasetyo sudah diperbolehkan pulang. Semua barang-barang sudah di tata kedalam tas dan koper. Obat-obatan untuk Prasetyo juga sudah diberikan oleh perawat beberapa saat yang lalu. Tak mau menunggu lagi, segera mereka meninggalkan bangsal yang selama lima hari ini Prasetyo tempati. Tak butuh waktu lama untuk sampai kerumah Nadia yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah sakit. Apalagi sudah melewati jam makan siang. Tentu kondisi lalu lintas tidak begitu macet. Sangat mempermudah perjalanan mereka siang itu. "Semua sudah turun ya nak Ega?" Tanya ibu sambil mengecek barang-barangnya yang sudah Ega keluarkan dari mobilnya. "Sudah Tante." "Ya udah, kamu lanjut kencan sana sama Nadia sekalian cari makan siang. Tante kan belum masak, bisa kelaparan nanti kamu nunggu Tante selesai masak." "Tapi Tante,.saya belum pamit om..." "Ahh...nanti Tante bilang sama om Pras, kamu jajan sana sama Nadia." Perintah Diana kepada Ega ter