"Lho...Hanega, kok kamu di sini. Bukan kah seharusnya kamu di Solo. Katanya mau mulai bisnis disana kan?" Kakek Ega begitu terkejut mendapati cucu kesayangannya turun dari sebuah taksi bandara. Berjalan menuju kearahnya, dan mencium punggung tangan laki-laki tua itu penuh rasa hormat. Kemudian Ega berjalan gontai melewati kakek yang mematung di teras rumah mewahnya. "Gak jadi Kek, berubah pikiran aku." Ega menjawab dengan tanpa melihat kearah Kakek. Entah mengapa ia merasa lelah sekali. Padahal hanya melakukan perjalanan dari Jogja ke Jakarta dengan menggunakan pesawat yang memakan waktu tak lebih dari satu setengah jam itu. Ega menjatuhkan tubuhnya di sebuah sofa hitam panjang di ruang keluarga. Berbaring tengkurap dan menenggelamkan wajahnya pada satu bantal empuk yang ia ambil dari barisan bantal persegi yang tertata rapi pada salah satu sisi sofa. Ega tak menghiraukan kakeknya yang ternyata mengikutinya dari belakang. Ia hanya ingin segera beristirahat. Melepaskan semua pe
Makan tak enak, tidur tak nyenyak, fokus tak bisa maksimal, tiba-tiba meras gelisah, menjadi penyakit Nadia akhir-akhir ini. Tak bisa dipungkiri fisiknya tak ada masalah, namun batinnya seperti terusik setelah kedatangan Ega beberapa waktu yang lalu. Nadia pikir, setelah Ega pamit di parkiran tempatnya bekerja hari itu, semuanya akan baik-baik saja. Kehidupannya akan kembali seperti semula sebelum kehadiran Ega yang tak terduga. Nyatanya tidak demikian. Nadia salah memprediksi. Nyatanya, Nadia tak bisa menghilangkan bayang-bayang Ega dengan mudah. Bahkan fikirannya selalu dipenuhi oleh laki-laki yang selama ini Nadia hindari itu. Bahkan, meskipun Nadia sedang berada di tengah-tengah makan malam bersama teman-teman sekantornya seperti saat ini pun, ia masih terus memikirkan Ega. Tiba-tiba handphone Nadia berdering. Ada panggilan masuk dari Prasetyo, sang ayah. Menginterupsi lamunan Nadia yang masih berputar-putar tentang Ega. "Sorry...Gue keluar dulu ya, ada telfon." Izin Nadi
Hari semakin larut. Dan berlama-lama dengan Ega dalam satu ruang yang sama tidaklah hal yang baik untuk Nadia. Apalagi Nadia sedang mengalami gejala nervous bila berdekatan dengan laki-laki yang paling ia benci itu. Bila tak segera diakhiri sesi ini, Nadia bisa saja tak terkendali. "Jadi....Kamu kesini mau apa? Ada yang penting? Sebenarnya kan kamu bisa telfon, jadi gak harus kesini dan nunggu aku sampai selarut ini." Tanya Nadia sambil memainkan handphone miliknya. Menghindari bertatapan langsung dengan mata Ega yang sedari tadi memandangnya tanpa henti. "Aku gak bisa Nad kalau cuma telfon. Aku ingin ketemu kamu langsung. Tapi aku juga gak mau ganggu acaramu. Menunggu kamu pulang kerja seperti saat ini bukan hal yang buruk aku pikir." Ega tersenyum mengakhiri kalimatnya. Melihat sikap Nadia yang salah tingkah seperti ini seolah membawanya kembali kemasa-masa beberapa tahun yang lalu. *Flashback on* "Nadia...." "Hemmm...." "Lo udah lama kenal sama Faris? Gue liat kal
Hari sudah melewati tengah malam. Namun Nadia masih terjaga. Fikirannya tak terkontrol. Membayangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi setalah keputusan Ega untuk menetap di Jogja. Hati Nadia terusik. Kekacauan hidup yang sempat tertata harus kembali menghadapi dilema rasa. "Please Nad, tidur. Gak usah mikirin Ega terus." Nadia berdialog dengan dirinya sendiri dalam gelap. Tubuhnya sudah tertutup selimut untuk menghalau dinginnya suhu ruangan kamar yang ber AC itu. Beberapa kali dia menarik selimut untuk menutupi kepalanya kemudian dibuka kembali. Gemas dengan kisah hidup yang harus ia jalani ini. ----- "Nadia bangun. Ini sudah siang. Kamu gak kerja?" "Nadiaaaa.... Buka pintunya!" "Nadia, sudah siang lho ini." Ega mengetuk pintu kamar kos Nadia sambil terus memangilnya berulang kali. Dia sudah tak perduli lagi dengan penghuni kos lain yang mungkin saja terganggu oleh perbuatannya. Bagi Ega, yang terpenting sekarang adalah membuat Nadia terbangun agar tidak telat be
Dari kejauhan, Ega bisa melihat Nadia berlari kearahnya sambil sesekali mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Nadia masih terlihat cantik, selalu cantik, meskipun dijam pulang kerja seperti sekarang. Hanya saja kecantikan itu sedikit terinterupsi oleh kecemasan hatinya saat ini. "Langsung jalan?" Tanya Ega pada Nadia yang telah berada tepat didepannya. Nadia berusaha terlihat biasa saja meski dengan gampang Ega tau betapa risaunya hati Nadia saat ini. "Iya" Nadia menjawab singkat. Ia segera naik kedalam mobil milik Ega. Pun Ega yang sedikit berlari memutar ke sisi lain mobil dan bergegas masuk kedalamnya. "Kamu gak mau ambil baju atau barang dulu di kos?" Tanya Ega kembali sambil menyalakan mesin mobil siap untuk melaju. "Gak usah, langsung jalan aja!" Titah Nadia pada Ega yang siap melajukan mobilnya. Nadia terlihat tak sabaran dan gelisah. Kedua tangannya bertautan cukup erat. Seolah menahan emosi yang siap meluap. "Okey." Ega menurut saja. Ia membagi fokusnya me
"Cantik." Nadia berbisik lirih kepada dirinya sendiri. Matanya berbinar-binar melihat bayi mungil yang tertidur pulas di box bayi itu. "Kapan tante bisa gendong kamu sayang." Nadia terlihat gemas dan tak sabar. Bagaimana tidak, dia hanya bisa melihat bayi itu dari balik kaca tinggi yang menyekat ruang bayi dan ruang rawat inap untuk ibu melahirkan. "Sabar Nad, dia baru lahir satu jam yang lalu. ibunya juga belum gendong." Nadia melirik ke arah Ega yang berkata sambil mengulas senyum itu. Mereka saling menatap untuk sesaat. Ada perasaan lega dihati Nadia yang terpancar dari wajahnya. Begitupun Ega merasa hal yang sama. Meskipun Icha belum keluar dari ruang pemulihan, namun masa kritis saat operasi Caesar sudah terlampaui. Bayinya pun lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apapun. Menurut informasi yang didapat dari suami Icha, bahwa operasi Caesar tak bisa dihindarkan karena Icha mengalami pendarahan yang cukup hebat setelah terpeleset di kamar mandi dirumah orang tuanya sore
Flashback on Malam sudah larut. Bahkan jarum jam menunjukkan beberapa menit lagi lewat tengah malam. Namun Ega masih terjaga. Dia sengaja begadang demi menyelesaikan revisi skripsinya yang harus ia bawa menghadap dosen pembimbing besok pagi. Di sela-sela rasa kantuk yang mendera, tiba-tiba saja Ega teringat Nadia. Fokus yang ia tujukan pada layar laptop di depannya sedari tadi teralihkan begitu saja oleh ingatannya akan senyuman manis Nadia sore tadi. Saat mereka menghabiskan waktu bercanda dan tertawa bersama di salah satu cafe yang tak terlalu jauh dengan kampus mereka. Diliriknya handphone yang tergeletak di atas kasur. Ada dorongan di hati Ega untuk menghubungi gadis yang mengganggu pikirannya itu. Diraihnya handphone itu, kemudian Ega membuka aplikasi ruang obrolan yang ternyata Nadia berada di baris paling atas. Menandakan Nadia adalah orang terakhir yang berkomunikasi dengannya. Dan hal itu membuat Ega senyum-senyum sendiri. (Ega) 'Nadia' Tangan Ega mendadak kak
"Nadiaaaa.....kenapa Lo dateng sama diaa.." Semua orang yang ada di ruangan itu kompak membelalakkan mata setelah mendengar suara Icha yang melengking. "Aaauuuu...." Icha mengaduh. Merasakan perih yang seketika menjalar di perutnya. Rupanya ia lupa untuk sesaat, bia ia baru saja beres operasi Caesar. Luka sayatan di perutnya yang tertutup perban itu pastinya masih basah. Sedikit gerakan saja pasti akan memberikan efek nyeri yang luar biasa. "Sayang..,kok teriak gitu. Jadi sakit kan perutnya." Suami Icha sigap mengelus-elus perut Icha dengan sangat lembut. "Haiii Cha." Ega mencoba menyapa Icha dengan ekspresi garing sambil meringis menampilkan barisan gigi putihnya yang rapi. "Haii haii....gak usah sok deket Lo." Jawab Icha masih ketus. Ia tak memperdulikan lagi pandangan orang tua dan mertuanya yang juga sedang berada di dalam ruangan itu. Ia juga tak mendengarkan perkataan suaminya. Sungguh sifat buruk Icha yang gampang emosian serasa bertambah beberapa kali lipat dari biasa