Share

Last Flower
Last Flower
Penulis: Vazio Nove Doiz

Permulaan

La Galigo, sebuah karya sastra yang berasal dari tanah Bugis, menceritakan kisah luar biasa La Sawerigading, dituangkan dalam syair aksara Bugis. Perjalanan panjang yang bahkan mengalahkan Mahabharata dari tanah India.

Namun, kisah ini tak akan semegah La Galigo atau Mahabharata,  Ini hanya sepenggal kisah klasik dari pemuda biasa yang berjuang meraih sebuah impian dalam hidup, berjalan seirama dengan pencarian jati diri dan tulang rusuknya.

2004 pertengahan tahun menjadi tempo paling awal perjalanan hidupnya dikisahkan.

Saat terik matahari pagi masih terasa hangat begitu menggelora, seorang pemuda berdiri pada sisi jalan raya, ia tampak gelisah.

Pandangannya terus mengawasi ujung jalan, berharap sebuah angkutan umum segera muncul dari sana.

Ia mengenakan seragam dengan kemeja berwarna putih dan celana pendek biru tua. Persis di atas saku depan kemejanya tertulis sebuah nama, Bayu Sonaf.

Sepatu hitam dengan kaos putih sangat pas di kakinya, membawa ransel yang cukup besar di punggungnya, lengkap dengan topi yang berwarna sama dengan celananya, semuanya terlihat masih baru.

Tangannya yang menggenggam selembar kain biru tua melambai saat sebuah mikrolet hijau melaju pelan ke arahnya.

Bayu bergegas naik saat mobil itu berhenti tepat di hadapan ia berdiri.

Bayu tidak kesulitan mencari tempat duduk, karena kebetulan hanya ada beberapa penumpang wanita yang hendak ke p***r tradisional hari itu, beruntung tidak harus berdesakan.

Bayu duduk di ujung kursi paling belakang, kain biru yang digenggamnya kini mulai ia lingkarkan pada kerah kemejanya, membentuk sebuah simpul tepat di atas kancing teratas.

Laju kendaraan yang begitu lambat membuat Bayu semakin gusar. Namun, tujuan tidak akan pernah lari dan pada akhirnya akan sampai juga.

Tepat di depan sebuah gerbang sekolah sopir menghentikan mikroletnya tanpa ada aba-aba sebelumnya, pria paruh baya itu tahu kalau salah satu penumpangnya adalah murid sekolah tersebut.

Bayu segera meluncur keluar, menyodorkan selembar uang kertas kepada sopir, kemudian berlari masuk ke dalam area sekolahnya. Untung saja uangnya pas jadi tidak harus menunggu kembaliannya.

Gerbang sekolahnya tidak memiliki pagar penghalang seperti sekolah Elite perkotaan, ia bebas masuk meskipun terlambat.

Sekolah negeri itu terletak di lereng gunung, Bayu harus mendaki beberapa anak tangga untuk sampai di lokasi yang datar di mana deretan bangunan sekolah berdiri.

Bintik keringat kecil mulai muncul pada wajahnya, bukan karena ia lelah berlari mendaki anak tangga tapi itu akibat dari rasa paniknya.

Suara seorang pria yang sedang berpidato semakin terdengar jelas saat ia mendekati ujung tangga.

Akhirnya Bayu tiba di sudut lapangan tempat upacara bendera sedang berlangsung hari itu.

Bayu langsung mengambil barisan, berdiri di pojok lapangan bersama tiga orang murid yang sepertinya juga terlambat.

Di seberang lapangan berdiri ratusan murid yang sedang menyimak setiap kata yang diucapkan Kepala Sekolah, Bayu merasa semua pandangan murid sedang tertuju padanya.

Di sisi timur berbaris beberapa orang guru, tak jauh dari tempat Bayu berdiri. 

"Hust, lepaskan tasmu!" Murid wanita yang berdiri di sampingnya melirik dan berbisik tanpa menggerakkan tubuhnya sedikit pun.

Spontan, Bayu melepaskan tasnya lalu meletakkan begitu saja di pinggir lapangan.

Hari itu akan menjadi hari yang sulit Bayu lupakan, ditandai dengan keterlambatan pada hari pertama masuk sekolah barunya, SMPN 3 Mario. Hari yang menjadi pembuka sejuta kisah yang hanya akan dapat dikenangnya pada hari esok.

Setelah berdiri cukup lama, akhirnya terdengar suara lantang pemimpin upacara membubarkan barisan, upacara bendera yang rutin dilaksanakan pada hari Senin itu pun selesai.

Bayu memungut tasnya yang tergeletak, membersihkannya sekilas sebelum kembali menggendongnya.

Bayu sedikit takut saat melihat seorang guru berjalan menghampiri mereka bertiga, bertanya dalam hati tentang hukuman apa yang akan ia terima.

"Lompat kodok 20 kali!" Suaranya begitu tegas.

Serentak mereka melaksanakan perintah guru tanpa ada protes sedikit pun.

Setelah selesai menjalankan hukuman yang dijatuhkan kepada mereka, Bayu mulai kebingungan, ia tidak tahu kelas mana yang akan ia tuju.

Bayu mengawasi setiap murid yang meninggalkan lapangan, mencari seseorang yang ia kenal untuk bertanya, seperti teman sekolahnya dulu, tapi tidak ia temukan.

Disaat kebingungannya mulai memuncak, malaikat penyelamat pun muncul.

"Jadi kau murid baru, udah tau kelompokmu belum?" Seakan cahaya terbias dari wajahnya.

"Belum, Kak." Bayu menatap penuh harap.

"Sini, ikut aku." Murid wanita itu mulai melangkah.

Bayu berjalan mengikuti gadis yang sepertinya adalah kakak kelasnya, tiba-tiba gadis itu berhenti, berbalik lalu meraih tangan Bayu kemudian menariknya.

"Berjalan di sampingku, ok." Alisnya sedikit terangkat.

 Bayu yang takut durhaka dengan senang hati menuruti permintaan seniornya.

"Aku Yuri, kau?" Yuri menawarkan tangannya.

"Bayu, Kak." Bayu meraih tangan itu, mereka berjabat.

Takdir mulai berbicara hari itu, keterlambatan dan perkenalan mereka bukanlah sebuah kebetulan.

 Lagi-lagi Yuri berhenti mendadak, membalikkan badannya dengan gerakan yang kaku, seperti sebuah robot.

"Ini!" Yuri mengangkat lengan kanannya, menunjuk beberapa lembaran kertas yang menempel pada papan pengumuman.

 Bayu mulai mencari namanya di antara barisan-barisan nama, mulai dari kertas pertama yaitu kelompok 1.

"Yu, nama lengkapmu Bayu Sonaf, kan?" Yuri bisa tahu dengan melihat tulisan nama pada kemeja Bayu.

"Biar aku bantuin nyari." Mata Yuri mulai menyusuri tulisan daftar nama-nama.

 Bayu terdiam, sesuatu sedikit mengganggu pikirannya, ia merasa aneh saat dipanggil "Yu."

"Makasih, Kak." Dengan wajah polos dan tetap berusaha menjaga etika.

"Panggil Yu aja, Yu!" Yuri masih sibuk mencari nama Bayu dalam daftar.

"Baik, Kak. Eh, Yu." Bayu semakin merasa aneh karena panggilan mereka sama.

"Ketemu, Yu. Kamu kelompok 3. Tuh di sana tempatnya." Yuri sedikit membungkuk dan menunjuk sebuah kelas.

 Bayu segera berlari, tapi hanya beberapa langkah ia kembali lagi ke arah Yuri.

"Makasih, Kak Yu." Bayu kembali berlari menuju ruangan kempok 3, meninggalkan Yuri dengan wajah sedikit murung.

"Eh_. Padahal kan sudah kuingatkan," protes Yuri dengan suara lirih, sembari berjalan menuju kelasnya.

 Bayu bergegas masuk ke dalam ruangan, mencari tempat duduk yang masih kosong. Saat Bayu menyusuri jalan di antara bangku-bangku, beberapa pandangan murid mengikutinya, kebanyakan adalah murid wanita.

 Bayu duduk di bangku barisan paling belakang, harus ia terima karena hanya tersisa bangku tersebut yang kosong.

 Ruangan itu ribut akibat suara murid yang sedang bercengkerama. Bayu hanya diam menghiraukan mereka, ia mengeluarkan buku dan pensil dari tasnya lalu mulai menggambar sesuatu.

 Sesekali bayu mengangkat wajahnya, menatap lurus ke depan saat membayangkan sesuatu dalam kepalanya. Beberapa murid wanita di depan sana menoleh ke arahnya kemudian berbisik pada gadis lain yang juga ikut menoleh ke arah Bayu.

 Bayu hanya melirik mereka sekilas lalu kembali tenggelam dalam gambarnya.

 Suasana kelas tiba-tiba hening, Bayu mengangkat kepalanya, pandangannya tertuju pada beberapa murid senior yang baru saja masuk ke ruangan mereka.

 Hari itu adalah hari di mana semua siswa baru akan menjalani Masa Orientasi Siswa selama tiga hari ke depan.

 Beberapa senior mulai berjalan di antara siswa yang duduk tenang di bangkunya masing-masing. Para senior itu memasang raut wajah yang menyeramkan, seakan bersiap memangsa siapa pun yang melakukan kesalahan.

 Tapi Bayu, pandangannya hanya tertuju pada seorang senior wanita yang berdiri di depan sana, senior itu sedang sibuk menatap wajah juniornya satu per satu, ia terlihat seperti sedang mencari seseorang.

 Mungkin Bayu yang  sedang dicarinya, karena gadis itu adalah Yuri.

   

                            ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status