Tiga kepala itu menoleh pada ambang pintu, Bu Rt berdiri di sana.“Mas Anto, ini ada undangan. Besok malam datang ke balai desa ya buat diskusi acara tujuh belasan. Itu pun kalau nggak keberatan.”Anto menghampiri. “Oh iya, terima kasih, Bu. Saya pasti datang.”Bu Rt mengangguk. “Des, ayo pulang. Kamu di sini ganggu aja,” celetuknya tanpa perasaan.Desi menahan diri untuk tidak membalas perkataan Bu Rt yang sekarang sudah tidak terlihat. “Beda Rt juga ngapain sengaja nganterin kesini. Nyebelin, pengen masukin cabe ke mulutnya itu,” geram Desi. Tidak ada yang mendengar selain dirinya sendiri.“Mungkin karena udah lumayan lama tinggal disini, Mas. Jadi mereka mau Mas juga berpartisipasi,” ujar Laras.“Iya kayaknya. Tapi Bu Rt tadi 'kan beda Rt sama di sini.”“Mungkin bagi-bagi tugas kali, Mas. Loma tujuh belasan biasanya 'kan nggak cuman se-Rt doang.”Anto manggut-manggut. “Iya juga sih.”Keduanya mengobrol diperhatikan oleh Desi.Laras baru menyadari kondisinya yang berantakan ia pun u
“Kenapa tegang gitu sih, Des?” Laras menepuk pelan pundak Desi sambil terkekeh, wanita itu bergurau tapi Desi menganggap serius.Meski sebuah gurauan itu memang fakta, Desi hanya seorang madu yang kehadirannya bahkan sangat tidak disangka-sangka. Anto saja tidak berniat membawa Desi ke dalam kehidupan pernikahan namun takdir yang tertulis memang sudah harus seperti ini.Menjadi istri Anto berat tidak hanya untuk Desi tapi Laras pun merasakan hal yang sama tapi tidak pernah sekalipun mengeluh dan mencoba mencari perhatian karena tanpa melakukan itu Anto pun tetap memperhatikan.“Nggak kok, Mbak. Perasaan Mbak aja kali, aku cuman lagi capek belakangan ini.” Desi langsung mengalihkan pembicaraan karena tidak mau kepergok dirinya benar-benar marah karena ucapan Laras.“Kalau mau titip Haidar di sini jangan sungkan, Des.” Laras duduk di kursi samping Desi. “Kamu juga pasti butuh banyak istirahat 'kan sedangkan urus bayi itu pasti capek.”Desi memaksakan senyumnya. “Nggak papa kok, Mbak. Na
Andai saja tidak sedang bersama Aslan, Launa akan mengeluarkan semua sumpah serapahnya pada Bu Mae. Wanita paruh baya itu seperti ada dendam saja pada setiap orang, rasanya gatal jika satu hari saja tidak menggunjing orang.“Permisi!” Launa menggendong Aslan dan berlalu meninggalkan Bu Mae yang mencebik.“Pantes aja dapet anak cacat, sombong amat jadi orang mentang-mentang kaya,” cibirnya.Launa bahkan masih bisa mendengar itu tapi ia masih bisa mengendalikan emosinya agar tidak meledak.Ia tidak tahan lagi tinggal di sini jika mendapat hinaan seperti ini. Tinggal di kampung halaman karena ingin mengajarkan Aslan hidup bersosialisasi dengan orang lain juga agar Alesha bisa tinggal di lingkungan yang udaranya masih sejuk jauh dari polusi seperti di kota.Tapi sayang sekali tidak akan bisa tenang karena banyak mulut yang akan menghina apalagi Bu Mae sudah tahu, akan dipastikan ibu-ibu lain juga akan mendengar. Jadi daripada Alesha sakit hati lebih baik ia pulang saja ke rumahnya di kota
Desi tersentak mendengar itu, jelas saja ia tidak mau jika berpisah lagi dari Anto. Jujur dirinya memang sudah sangat mencintai lelaki yang pernah ditolak dan direndahkannya itu.“Nggak, Mas. Aku nggak mau, aku nggak mau pisah.” Desi menggeleng.Anto menarik nafas dalam-dalam. “Tolonglah, Des. Jangan bersikap kekanakan, kalau emang ada sesuatu yang nggak adil menurut kamu, ngomong ke aku. Jangan cuman dipendam sendiri dan menyimpulkan sendiri. Selama ini aku mencoba buat adil ke kamu sama Laras.”“Kenapa kamu … nggak pernah sentuh aku?” tanya Desi dengan suara lirih. “Apa aku nggak cantik di mata kamu? Aku nggak menarik lagi?”Raut wajah Anto yang sebelumnya merah padam kini berubah seketika, tawanya pecah membuat Desi terheran-heran.“Kenapa malah ketawa? Emang ada yang lucu?” ketusnya.Anto sampai memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertawa lepas.
Damar tidak berniat menanyakan apapun pada Launa perihal wanita itu yang tiba-tiba ingin pulang. Ia tahu ada sesuatu yang membuat sang istri tidak nyaman, daripada membuat Launa semakin sedih lebih baik Damar diam atau menunggu Launa sendiri yang cerita.“Kalau kayak gini 'kan aku jadi nggak khawatir sama kamu, Mas.”Kening Damar berkerut. “Khawatir kenapa?”“Kamu itu kalau nggak diingetin, nggak diawasi pasti bakalan lupa segala hal kalau udah kerja.” Launa bergelayut manja di lengan suaminya."Bukan karena khawatir Mas digoda cewek lain?" Damar menarik tangannya dan beralih mendekap tubuh sang istri, menghirup dalam-dalam aroma tubuh wanita itu. Aroma tubuh yang membuatnya menjadi candu.“Kalau kamu kuat iman pasti nggak bakalan kegoda. Nggak usah aku awasin juga kalau emang setia nggak akan mungkin mendua.”Damar terbahak mendengar kata-kata istrin
“Siapa?”“Aku nggak tahu.”“Orang yang nggak kamu kenal?”Anto menggeleng. “Mungkin temen kamu.”Desi tidak pernah lagi memiliki urusan dengan siapapun semenjak menikah apalagi laki-laki.Setelah Anto pergi lagi, Desi masih memikirkan siapa lelaki yang mencarinya dan kenapa tidak masuk jika memang penting.“Semoga aja bukan orang yang bikin rusuh, rasanya capek aku kalau terus direcokin. Si Lela aja tadi udah bikin kepala cenat-cenut.”Tidak lama Bu Siti pulang dan dibuat heran karena tamu yang belum sempat dibuatkan minum itu sudah tidak ada.“Loh, mereka pada kemana, Des?”“Mereka orang-orang sibuk, Bu. Jadi nggak bisa lama.” Desi menjawab asal. “Tapi tadi mereka nggak ngomong macem-macem ke Ibu 'kan?” Desi hanya ingin memastikan.“Macem-macem gimana?”“Udah, lupain aja. Aku mau bawa dulu Haidar ke kamar.” Wanita itu melangkah meninggalkan Bu Siti yang terheran-heran.Tadi memang diantara tiga teman Desi itu tidak ada yang mengatakan hal-hal yang ditakutkan oleh Desi.Desi yang baru
“Sinting! Mau kamu apa sih? Anggap aja perjanjian konyol itu nggak ada. Aku aja nggak serius kok nanggepinnya.”“Tapi aku serius, Des.”“Ya itu urusanmu bukan urusan aku.”“Daripada kamu jadi istri kedua mending kamu jadi istri aku aja, aku bakalan jadikan kamu wanita satu-satunya. Emang kamu nggak sakit hati apa dijadikan madu?”Desi tertegun. “Nggak usah ikut campur urusan aku ya, Dit.”Kaget juga karena Radit yang bertahun-tahun pergi merantau tahu juga soal apa yang terjadi pada Desi. Tujuh tahun lalu Radit pamit untuk pergi merantau agar bisa memperbaiki ekonomi keluarganya, lelaki itu juga sudah ada niatan untuk menikahi Desi yang ia renggut mahkotanya saat itu.Radit memang sudah sangat yakin ingin menepati janjinya tapi yang dilakukan Desi malah sebaliknya, ia sama sekali tidak peduli akan hal itu karena Radit yang tak kunjung pulang. Dan saat lelaki itu kembali semuanya sudah tidak sama lagi.“Aku cuman nggak mau kamu menyiksa diri kamu kayak gini, Des. Kamu juga menyakiti or
Laras tersentak saat sebuah tangan tiba-tiba melingkar di perutnya.“Mas!” Ia buru-buru mengusap pipinya yang basah tidak lupa memutuskan sambungan telepon.“Mas akan melepaskan Desi.” Anto semakin erat mendekap sang istri.Merasa menjadi lelaki paling brengsek karena terus-menerus menyakiti sang istri. Wanita yang selalu berada disampingnya itu amat terluka karena keserakahan Anto."Mas, kenapa kamu ngomong kayak gitu sih?" Laras mencoba melepaskan diri dari dekapan sang suami."Daripada kamu terus tersakiti lebih baik Mas melepaskan Desi.""Nggak, Mas. Cuman Desi yang bisa memberikan kebahagiaan buat kamu, aku nggak bisa memberikan itu."Anto menggeleng. "Meski cuman ada kita berdua, Mas bahagia, sayang. Jangan pernah bicara soal anak lagi, semua kehendak Allah. Punya Haidar sudah cukup, Mas akan tetap tanggung jawab tapi dengan mence-""Mas!" Suara Laras meninggi. "Aku bilang aku menerima. Kalau aku nggak nerima, dari dulu aku pilih mundur. Jadi jangan tolong ungkit hal ini lagi. L