Damar tidak berniat menanyakan apapun pada Launa perihal wanita itu yang tiba-tiba ingin pulang. Ia tahu ada sesuatu yang membuat sang istri tidak nyaman, daripada membuat Launa semakin sedih lebih baik Damar diam atau menunggu Launa sendiri yang cerita.
“Kalau kayak gini 'kan aku jadi nggak khawatir sama kamu, Mas.”Kening Damar berkerut. “Khawatir kenapa?”“Kamu itu kalau nggak diingetin, nggak diawasi pasti bakalan lupa segala hal kalau udah kerja.” Launa bergelayut manja di lengan suaminya."Bukan karena khawatir Mas digoda cewek lain?" Damar menarik tangannya dan beralih mendekap tubuh sang istri, menghirup dalam-dalam aroma tubuh wanita itu. Aroma tubuh yang membuatnya menjadi candu.“Kalau kamu kuat iman pasti nggak bakalan kegoda. Nggak usah aku awasin juga kalau emang setia nggak akan mungkin mendua.”Damar terbahak mendengar kata-kata istrin“Siapa?”“Aku nggak tahu.”“Orang yang nggak kamu kenal?”Anto menggeleng. “Mungkin temen kamu.”Desi tidak pernah lagi memiliki urusan dengan siapapun semenjak menikah apalagi laki-laki.Setelah Anto pergi lagi, Desi masih memikirkan siapa lelaki yang mencarinya dan kenapa tidak masuk jika memang penting.“Semoga aja bukan orang yang bikin rusuh, rasanya capek aku kalau terus direcokin. Si Lela aja tadi udah bikin kepala cenat-cenut.”Tidak lama Bu Siti pulang dan dibuat heran karena tamu yang belum sempat dibuatkan minum itu sudah tidak ada.“Loh, mereka pada kemana, Des?”“Mereka orang-orang sibuk, Bu. Jadi nggak bisa lama.” Desi menjawab asal. “Tapi tadi mereka nggak ngomong macem-macem ke Ibu 'kan?” Desi hanya ingin memastikan.“Macem-macem gimana?”“Udah, lupain aja. Aku mau bawa dulu Haidar ke kamar.” Wanita itu melangkah meninggalkan Bu Siti yang terheran-heran.Tadi memang diantara tiga teman Desi itu tidak ada yang mengatakan hal-hal yang ditakutkan oleh Desi.Desi yang baru
“Sinting! Mau kamu apa sih? Anggap aja perjanjian konyol itu nggak ada. Aku aja nggak serius kok nanggepinnya.”“Tapi aku serius, Des.”“Ya itu urusanmu bukan urusan aku.”“Daripada kamu jadi istri kedua mending kamu jadi istri aku aja, aku bakalan jadikan kamu wanita satu-satunya. Emang kamu nggak sakit hati apa dijadikan madu?”Desi tertegun. “Nggak usah ikut campur urusan aku ya, Dit.”Kaget juga karena Radit yang bertahun-tahun pergi merantau tahu juga soal apa yang terjadi pada Desi. Tujuh tahun lalu Radit pamit untuk pergi merantau agar bisa memperbaiki ekonomi keluarganya, lelaki itu juga sudah ada niatan untuk menikahi Desi yang ia renggut mahkotanya saat itu.Radit memang sudah sangat yakin ingin menepati janjinya tapi yang dilakukan Desi malah sebaliknya, ia sama sekali tidak peduli akan hal itu karena Radit yang tak kunjung pulang. Dan saat lelaki itu kembali semuanya sudah tidak sama lagi.“Aku cuman nggak mau kamu menyiksa diri kamu kayak gini, Des. Kamu juga menyakiti or
Laras tersentak saat sebuah tangan tiba-tiba melingkar di perutnya.“Mas!” Ia buru-buru mengusap pipinya yang basah tidak lupa memutuskan sambungan telepon.“Mas akan melepaskan Desi.” Anto semakin erat mendekap sang istri.Merasa menjadi lelaki paling brengsek karena terus-menerus menyakiti sang istri. Wanita yang selalu berada disampingnya itu amat terluka karena keserakahan Anto."Mas, kenapa kamu ngomong kayak gitu sih?" Laras mencoba melepaskan diri dari dekapan sang suami."Daripada kamu terus tersakiti lebih baik Mas melepaskan Desi.""Nggak, Mas. Cuman Desi yang bisa memberikan kebahagiaan buat kamu, aku nggak bisa memberikan itu."Anto menggeleng. "Meski cuman ada kita berdua, Mas bahagia, sayang. Jangan pernah bicara soal anak lagi, semua kehendak Allah. Punya Haidar sudah cukup, Mas akan tetap tanggung jawab tapi dengan mence-""Mas!" Suara Laras meninggi. "Aku bilang aku menerima. Kalau aku nggak nerima, dari dulu aku pilih mundur. Jadi jangan tolong ungkit hal ini lagi. L
“Gimana, Nak? Kalau mau nanti Papi bicara ke Ustadz Harun.” Damar menunggu jawaban putrinya itu.Alesha, gadis manis yang memiliki keistimewaan itu sebenarnya berat dilepaskan oleh Launa dan Damar tapi mereka juga tidak akan mungkin menahan putri mereka seperti ini terus. Usia Alesha sudah menginjak angka dua puluh dua dan minggu lalu Ustadz Harun beserta istrinya datang mengutarakan niatnya untuk meminang Alesha sebagai menantu, istri dari anak bungsu mereka.Tidak langsung menjawab, Alesha malah berpaling menatap sang ibu.“Mami akan mendukung, sayang. Kalau memang keberatan nggak usah.”Foto calonnya memang sudah diperlihatkan sekaligus informasi soal lelaki yang sekarang masih melanjutkan pendidikan sarjananya.[Kalau Mami dan Papi merestui, aku bersedia. Tapi apa dia menerima aku yang-]Launa yang melihat ketikan Alesha di ponsel langsung mengambil benda pipih itu, tahu jika putrinya akan mengatakan soal keistimewaannya itu. Mengajari Alesha bukan hal yang mudah, penuh dengan per
“Eh, udah lama disitu?”“Baru saja, Mas. Saya mau bersihkan taman, permisi.” Haidar melangkah melewati Revan.Revan mengelus dadanya merasa lega, bisa bahaya jika Haidar tadi mendengar apa yang Revan katakan. Bisa-bisa pernikahannya dan Alesha batal.Orang tua Revan mengatakan jika Alesha adalah sosok yang baik, patut dijadikan istri dan jangan fokus pada apa yang menjadi kekurangan wanita itu. Mereka tahu betul seperti apa anak mereka yang sangat susah diatur, suatu kebahagiaan saat Revan menerima saran untuk menikahi Alesha.Tanpa pikir panjang langsung mengatur tanggal pernikahan keduanya apalagi Alesha sudah memberikan lampu hijau.Tidak ingin dicurigai karena terlalu lama, ia memutuskan untuk segera kembali. Ia berharap Haidar tidak mengatakan apa-apa karena melihat Revan yang tiba-tiba berada di taman padahal niatnya untuk ke toilet.Saat pamit ke toilet tadi Haidar memang ada di ruang tamu, lebih tepatnya lewat setelah ia selesai mengantarkan mobil untuk diservis.Pernikahan me
“Apa yang terjadi itu nggak sengaja, jadi lo jangan terus ngejar gue kayak gini. Gue 'kan udah bilang bakalan tanggung biaya anak itu tapi nggak usah lo sampai datengin rumah gue kayak gini!” Revan dibuat geram oleh Nara.“Kalau mau tanggung jawab ya nikahin aku, aku nggak cuman butuh uang, Van.”Revan menghela nafas panjang, “lo jangan bikin gue makin marah deh, Ra. Apa yang terjadi kecelakaan dan lo harus bersyukur gue mau tanggung biaya lo sama anak itu jadi sekarang mending lo pulang. Nanti kita bicara lagi, gue buru-buru.” Ia melangkah masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil cincin.Bukannya pulang seperti perintah Revan, Nara mengekori lelaki itu yang hanya menutup pintu rumah tanpa menguncinya.“Astaga!” Revan terperanjat saat keluar dari kamarnya, “lo ngapain masih disini. Sana pulang, gue janji nggak bakalan kabur. Selama ini gue tanggung 'kan semua biaya lo.”“Van ….”“Kalua sampai lo hancurin acara gue hari ini, bukan cuman gue yang sengsara tapi elo juga. Gue nggak bakalan
Haidar menyipitkan matanya seperti mengenali sosok yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, penasaran Haidar langsung menyebrang jalan dan mendekati bangunan cafe itu.“Itu 'kan Mas Revan.” Ia terbelalak melihat Revan bersama dengan seorang wanita yang membawa bayi.Langkah kaki Haidar masuk ke dalam cafe, ia bukan orang yang suka mencampuri masalah orang lain tapi entah kenapa ia begitu ingin tahu karena ini bersangkutan dengan Alesha.“Ayo gendong. Masa nggak mau gendong anak sendiri.”Deg!Haidar merasa jantungnya berhenti berdetak. Kini ia duduk di meja seberang Revan dengan membelakangi. Revan jelas tidak akan mengenali Haidar yang memakai masker dan topi. Ia sama sekali tidak ada niat untuk mengikuti Revan tapi takdir memang membawa Haidar ke tempat ini.“Nggak usah keras-keras juga ngomongnya, kalau ada yang kenal gue gimana!” Revan nampak kesal.“Ya ampun, nggak usah bentak gitu juga, Van. Lihat Alisa kaget.” Namira menimang tubuh bayi itu yang tersentak karena suara Rev
“Kok tadi gue belain dia segitunya ya?” Revan menggaruk tengkuknya lalu masuk ke dalam mobil menyusul Alesha yang sudah ada di dalam.Revan menjadi bingung dengan dirinya sendiri, semenjak pindah ke apartemen, Revan bersikap seperti biasa. Tidak memperdulikan Alesha sama sekali bahkan ia tidak tidur dalam satu ranjang, Revan memilih tidur di sofa meski di kamar yang sama.Alesha tidak pernah berpikir buruk pada Revan, ia hanya mengira jika Revan sama seperti dirinya. Butuh waktu untuk melanjutkan lagi ke hal yang lebih intim. Saat itu mereka hanya satu minggu tinggal di rumah orang tua Alesha, selebihnya langsung menempati apartemen yang disediakan oleh Ustadz Harun. Sebagai hadiah pernikahan untuk anak dan menantunya.Sampai di apartemen, Alesha langsung bergegas untuk mandi agar bisa segera menyiapkan makan malam. Ia juga akan menanyakan soal Revan yang tadi terlihat marah-marah pada kedua teman Alesha.Sedangkan Revan menghempaskan tubuhnya di sofa, ia merasa sangat lelah. Lelah be